Maulid Nabi: Syair Pujian Jalaluddin Rumi kepada Rasulullah SAW
Maulana Jalaluddin Rumi kerap kali melantunkan puji-pujian pada Rasulullah SAW . Dalam beberapa puisi bahkan dia persembahkan satu ghazal penuh untuk Nabi—ini biasa disebut na’t di mana karakter Nabi Muhammad SAW diuraikan panjang lebar.
Maulana Jalaluddin Rumi adalah pendiri Tarekat Para Darwis Berputar . Ia dilahirkan di Bactria, dari sebuah keluarga bangsawan pada awal abad ketiga belas. Ia tinggal dan mengajar di Iconum (Rum) di Asia Kecil, sebelum munculnya Kerajaan Utsmani, yang tahtanya menurut seruannya ia tolak.
Idries Shah dalam bukunya berjudul "The Sufis" menyebut karya-karya Rumi ditulis dalam bahasa Persia, dan dipandang tinggi oleh orang Persia karena kandungan puitis, kesusastraan dan mistiknya. Sehingga karya-karya ini disebut sebagai "al-Qur'an dalam bahasa Pehlevi (bahasa Persia)" -- meskipun karya-karya ini bertentangan dengan kepercayaan bangsa Persia, sekte Syi'ah, yang dikritik atas eksklusivismenya.
Di kalangan orang Muslim Arab, India dan Pakistan, Rumi dipandang sebagai salah seorang dari guru mistik tingkat pertama -- meskipun ia menyatakan bahwa ajaran-ajaran al-Qur'an bersifat alegoris, dan ia memiliki tujuh makna yang berbeda.
Jangkauan pengaruh Rumi sulit untuk bisa diperkirakan, meskipun hal ini terkadang bisa dilihat secara sekilas, pada kesusastraan dan pemikiran dari berbagai mazhab.
Rumi sering bicara tentang berbagai hal, lalu tiba-tiba menyebut-nyebut sifat cinta Nabi. Tentang suasana batin tatkala Nabi Muhammad SAW di lahirkan, Rumi mendeskripsikan:
Saat cahaya Muhammad datang, mereka yang ingkar kenakan baju hitam Saat masa kerajaan abadi tiba, mereka yang ingkar menabuh genderang ‘tuk halau kematian. Seluruh muka bumi menghijau. Surga cemburu pada bumi dan mengoyak lengannya. Bulan terbelah. Bumi mendapat kehidupan dan menjadi hidup.
Semalam, terjadi keributan besar di antara bintang karena sebuah bintang terang t’lah turun ke bumi.
Selanjutnya, berikut salah satu puisi Rumi yang bicara tentang cinta Tuhan dan tiba-tiba saja melompat ke cinta dan kenangan akan Nabi SAW.
Setiap waktu kita dengar Suara Cinta Suci itu dari kanan dan kiri
Berkat Suara inilah kita menapak ke surga
Siapa yang mampu mengawsi kita?
Sebelum turun ke dunia ini kita di surga.
Beteman para malaikat.
Di sanalah rumah kita yang sebenarnya, dan kita akan kembali ke sana.
Betapa jauh jarak mutiara murni alam kesucian dengan debu kotor dunia ini.
Tanpa hirau kehormatanmu, kau datang ke dunia rendah ini.
Ayo kemasi milikmu, ikat muatanmu.
Tempat ini bukan milik kita.
Kita harus pindah.
Kesempatan adalah teman kita.
Pengorbanan jiwa adalah tugas kita.
Dan pemimpin kafilah ini adalah Mustafa, Sang Nabi yang jadi kebanggaan alam semesta.
Mustafa, damai dan rahmat Allah baginya, sedemikian mulia hingga bulan pun tak berani menatap wajahnya dan bahkan terbelah.
Wangi angin musim semi berasal dari rambutnya yang dirahmati. Cahaya imajinasi kita datang dari keindahan dirinya, yang mengingatkan kita pada mentari pagi.
Dalam berbagai puisinya, Rumi menyebut Nabi sebagai Ahmad, Muhammad, atau dalam puisi di atas, dia memilih panggilan kehormatan Nabi, Mustafa. Nabi adalah teladan manusia sempurna, dan dalam pemahaman itu pulalah Rumi menulis dalam puisinya sebagai berikut:
Aku adalah pelayan Quran sepanjang ku hidup. Dan aku adalah debu tanah di mana kaki Muhammad menapak.
Hati dan Cinta
Berikut saat Rumi merujuk pada persahabatan Rasulullah SAW dan Abu Bakar untuk menggambarkan hubungan antara hati dan cinta:
Hati dan cinta telah menjadi sahabat, laiknya Ahmad dan Abu Bakar menjadi sahabat di gua itu. Nama dua sahabat ini berbeda, namun ruh mereka sama.
Dalam puisi lain, Rumi menggambarkan betapa cahaya Muhammad menyinari seluruh dunia: "Cahaya Muhammad terbagi jadi jutaan sinar melingkupi seluruh dunia. Nabi layaknya pencerah cahaya-cahaya itu. Saat cahaya itu tiba, segala hijab mereka yang tak percaya pun koyak, dan ribuan pendeta tertarik magnet Muhammad lari ke arahnya."
Rumi juga bicara tentang mereka yang tak beriman yang menurutnya tetap dalam cakupan cahaya Muhammad SAW.
Rumi pun membahas cinta Nabi dalam karya monumentalnya Mastnawi:
Andai bayangan wajah Muhammad terpantul ke sebuah dinding, jantung dinding itu akan berdetak hidup. Dinding itu, berkat pantulan wajah yang terahmati, akan merasakan kebahagiaan tak terkira hingga ia akan tertolong dari kemunafikan. Ia akan merasa malu karena bermuka dua, sedangkan (Muhammad) yang salih dan suci hanya memiliki satu wajah saja.
Masih banyak puisi-puisi Rumi yang mengungkapkan kecintaan dan kekaguman kepada Rasulullah SAW. Ia juga sering menyandingkan puja-puji kepada Nabi dengan uraiannya tentang Al-Quran, risalah yang dijanjikan Allah SWT akan terjaga sepanjang zaman—dan inilah aspek lain, di samping keagungan pribadi Rasulullah SAW yang menurut Rumi menjadi kekuatan Islam.
(mhy)Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment