Perbedaan Negara Bekas Jajahan Belanda dengan Inggris
Ratu Elisabeth I, Inggris
Pada dasarnya semua penjajah tidak ada yang baik. Itulah sebabnya dalam mukaddimah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 disebutkan: Semua penjajahan di muka bumi Allah Swt. ini harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusian dan perikeadilan.
Sungguhpun begitu, dalam ungkapan orang tua-tua di Tanah Melayu Riau disebutkan: Di dalam buruk, ada pula eloknya. Misalnya, tanpa penjajahan itu barangkali tidak akan negara kita ini; tidak kemajuan di bidang pendidikan, dan sebagainya.
Inggris yang menjajah 1/3 belahan bumi, negara bekas jajahannya, pada akhirnya, secara umum relatif lebih baik dibandingkan dengan negara bekas jajahan Ratu Wilhelmina dan Ratu Juliana itu. Lihatlah misalnya beberapa negara bekas jajahan negara Ratu Elisabeth itu yang berdekatan dengan negara kita seperti Singapura, Malaysia, Brunai Darussalam, Papua New Gunea, Australia, Fiji, Salomon, Vanuatu. Pemerintahan, perekonomian, GDP, dan sebagainya relatif lebih baik.
Bagaimana dengan bekas jajahan Belanda? Memang, negara bekas jajahannya tidak sebanyak Inggris. Sebutlah misalnya Indonesia, Suriname, Mozanbiq (jangan-jangan ada orang Indonesia tidak tahu dimana letak negara yang terakhir itu).
Ketika Belanda hengkang dari Indonesia tahun 1949—kecuali Irian Barat, nama Irian Jaya sekarang ini—Belanda tidak mewariskan struktur pemerintahan yang baik kepada pemerintahan Indonesia ketika itu. Hal ini berbeda dengan yang diwariskan Inggris di bekas negara jajahannya, sehingga pemerintah bekas negara jajahannya sudah punya semacam modal awal. Boleh dikatakan pemerintah Indonesia waktu mulai menata tata kelola pemerintahan dari nol, kecuali untuk beberapa hal di bidang hukum/ peraturan perundang-undangan seperti KUHP, KUHAP dan sebagainya.
Anehnya, simbol-simbol dan taribut-atribut jabatan yang dipakai pegawai/pejabat zaman pemerintahan Belanda itu—sesuatu yang dianggap sebagai simbol feodalisme—tetap dipakai, dikembangkan, walaupun bentuknya berubah, hingga sekarang.
Perhatikan, misalnya, simbol atau atribut yang dipakai aparatur negara/PNS dan pejabat di negara kita, mulai dari di tingkat Pemerintah Pusat sampai ke ceruk-ceruk negeri. Semuanya memakai baju seragam, tidak mau sama dengan rakyatnya: nama, bed nama, lambang korpri. Apalagi pejabatnya seperti Gubernur, Bupati, Walikot, Camat, Lurah, Kepala Desa atau sebutan lain: semuanya memakai “jengkol” di dadanya.
Setiap daerah memakai pula bendera dan lambang daerah masing-masing, yang kadang-kadang menimbulkan pengkotak-kotakan daerah, tidak sejalan lagi dengan hakekat Negara Kesatuan.
Pemakaian gelar Insinyur (Ir) dan Doktorandus (Drs) yang juga merupakan warisan Belanda telah dihapuskan. Sekarang gelar-gelar kesarjanaan itu telah di-Indonesia-kan sedemikian rupa, telah terspesifikasi, terlepas suka atau tidak suka kita dengan aturan tersebut. Tetapi mengapa dalam bidang yang tidak dilakukan reformasi?
Di negara bekas jajahan Inggris penyebutan gelar jarang dituliskan, disebutkan secara formal.
Yang menarik adalah hampir semua negara bekas jajahan Inggris, penduduknya bisa berbahasa Inggris. Tidak demikian halnya dengan negara bekas jajahan Belanda, hanya kalangan elit saja yang bisa berbahasa Belanda.
Penataan perkantoran di negara bekas jajahan Belanda menyimbolkan pendekatan keamanan (security approach). Itu dapat dilihat dimana ada kantor gubernur, bupati, walikota, camat, disitu berdiri pula kantor kepolisian, TNI dan kejaksaan. Berbeda dengan bekas jajahan Inggris yang menekankan pendekatan kesejahteraan (welfare approach). Hal itu tersirat dari penataan perkantorannya terdiri dari bangunan eksekutif, perpusatakaan dan musium.
Dulu sewaktu waktu H. M.Jusuf Kalla menjadi wakil presiden Presiden Susilo Bambang Yodhoyono, telah mencoba melakukan semacam desakralisasi, tetapi banyak pihak menentangnya. Misalnya dengan hanya memakai baju batik, putih; mengurangi pengawalan, dan sebagainya.
Di era presiden Joko Widodo-H.M. Jusuf Kalla, tampaknya hal itu mulai dilakukan lagi, untuk memberikan kesan tidak berjarak dengan rakyat. Sebaiknya itu juga dilakukan pejabat pemerintah lainnya. Dan akan lebih baik lagi berbagai aturan yang “feodal” itu ditinjau kembali, disesuaikan dengan perkembangan.
Lalu, bagaimana perbedaan negara bekas jajahan Inggris dan Belanda—khususnya dengan Indonesia—di bidang pola pikir (mind-set), budaya kerja (culture-set), pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme, penegakan hukum, toleransi beragama, penghormatan HAM dan sebagainya. Silahkan Saudara menilainya….
Rudi H
No comments:
Post a Comment