Tio Tek Hong: Perekam Tabir Batavia awal Abad 20
“Tiap tahun pada waktu dekat Sin Chia (Tahun Baru Tionghoa), nyonya-nyonya rumah sibuk membersihkan rumah, mengecat pintu, dan jendela-jendela dan mengapur tembok. Pada hari Tahun Baru, pagi-pagi anak-anak harus berpakaian baru dan paychia (memberi selamat kepada seluruh anggota keluarga), lalu menerima angpau (uang yang dibungkus kertas merah),” tulis Tio tek Hong pada salah satu kisah mengenai Sin Chia (Tahun baru Imlek) dalam Keadaan Jakarta Tempo Doeloe: Sebuah Kenangan 1882-1959. Tradisi saat Sin Chia tersebut tetap bertahan hingga kini, jauh setelah Tio Tek Hong menghembuskan nafas terakhir.
Tio Tek Hong, seorang pengusaha sukses Batavia, adalah satu dari sekian banyak penduduk Cina di Batavia. Pria yang semasa hidupnya kerap memakai kemaja putih dan kacamata ini lahir pada 7 Januari 1877 di PasarBaru Utara. Bukunya yang berjudul Keadaan Jakarta Tempo Doeloe: Sebuah Kenangan 1882-1959, merupakan catatan harian yang menjadi saksi sejarah perkembangan Batavia pada abad ke-20. Dalam bukunya tersebut, TioTek Hong menuturkan ketika ia masih berumur 6 tahun dan baru saja pindah rumah, gunung Krakatau meletus yang mengakibatkan gempa dan tsunami dengan korban jiwa hingga ribuan orang (TioTek Hong, 2007: 1-3).Setahun berikutnya, Orang Tua Tio Tek Hong menyekolahkannya pada Europese Lagere School di Schoolweg (sekarang Jl. Dr. Soetomo). Sebenarnya ELS hanya diperuntukkan untuk anak-anak yang berasal dari Eropa, namun berkat kemampuan financial dari Orang Tua Tio Tek Hong, ia mampu bersekolah disana. Tak hanya sampai di situ, kekayaan Tio Tek Hong juga terlihat dari tempat tinggalnya. Ia bertempat tinggal di Jalan Pintu Air yang merupakan bagian dari Wijk Pasar Baru. Padahal saat itu Wijk Pasar Baru hanya ditempati oleh orang-orang Eropa yang mayoritas berasal dari Belanda.
Masa kecil Tio Tek Hong dilalui dengan bermain-main di Sungai, mengadu kelereng, membuat parasut, dan kebiasaan mencuri mangga dengan menggunakan katapel. Kebiasaan membidik mangga ini membawanya pada hobi lain ketika ia memasuki usia remaja, yaitu berburu. Pada saat Tio Tek Hong berumur 16 tahun, ia memutuskan untuk berhenti sekolah dan dua tahun berselang, ia menikah dengan wanita dari Sukabumi. Setelah menikah, Tio Tek Hong berkenalan dengan penjual senjata api J. C. de Senerpont Domis membuat Tio Tek Hong mulai memasuki dunia wirausaha. Pada tahun 1902, TioTek Hong mulai merintis usahanya dengan membuka toko di PasarBaru No. 93 (TioTek Hong, 2007: 22). Pada masa Perang Dunia I (1914-1918) yang banyak memakan korban baik secara moril maupun materil, Tio Tek Hong justru memasuki masa keemasan sebagai seorang pengusaha.
Dirinya tak hanya dikenal sebagai penjual senjata api, melainkan dikenal pula sebagai penjual plaatgramofoon yang saat itu masih menggunakan rol lilin. Kecintaannya pada lagu-lagu melayu dan keroncong, menyebabkan dirinya menjadi penjual alat-alatmusik dan plaatgramofoon yang sangat terkenal di Hindia Belanda. Hal ini senada dengan tulisan dari H. C. C. Clockener Brousson yang mengatakan bahwa toko Tio Tek Hong memiliki banyak pelanggan (H. C. C. Clockener Brousson, 2007: 123). Semakin berkembangnya toko alat musik miliknya membuat Tio Tek Hong “melebarkan sayap” dengan menjual alat-alat olahraga. Namun, pasca Perang Dunia I tepatnya pada masa malaise membuat usahanya mengalami kemunduran. Puncak dari kemunduran ini adalah ketika kekuasaan Hindia Belanda berakhir. Seluruh senjata yang diperdagangkan oleh Tio Tek Hong disita secara paksa oleh pemerintah Hindia Belanda tanpa alasan yang jelas.
Selain sebagai pengusaha, Tio Tek Hong juga aktif sebagai pengurus Tionghoa Hwee Koan, sebuah organisasi perkumpulan masyarakat Cina yang berpusat di Batavia dengan fokus utama mengurusi masalah sosial masyarakat, seperti masalah kesehatan, dan lain sebagainya (Nio Joe Lan, 1940: 44-47). Sebagai pengurus organisasi ini, Tio Tek Hong berperan dalam hal “Pasar Malam Amal” dan urusan kematian. Hal ini yang membuat Tio Tek Hong memeroleh bintang perak dari pemerintah Cina. Memasuki usia senja, Tio Tek Hong menghabiskan waktunya sebagai pengurus Tionghoa Hwee Koan, dan aktif menyalurkan hobinya, yaitu bersepeda. Bersama dengan Oey Keng Hin, Tjoe Siauw Hoei, Tjee Hoei Tjeng, Kwee Kim Hong, Tio Tek Hong mendirikan perkumpulan sepeda. Tio Tek Hong juga rajin mengabadikan melalui tulisan peristiwa-peristiwa penting dalam hidupnya dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di daerah tempatnya menetap dari kecil, yaitu Batavia.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi di Batavia menjadi daya tarik tersendiri bagi Tio Tek Hong. Ia berusaha mendeskripsikan “Sang Ratu dari Timur” secara imajinatif lengkap dengan cita rasa suasana yang melekat saat itu. Sisi ini yang membuatnya bukan hanya sekedar pengusaha dan penulis buku mengenai cara berburu binatang. Dengan gaya bahasa yang khas, ia berusaha menempatkan dirinya sebagai bagian dari Batavia pada abad ke-20 dan seolah ingin menyampaikan pesan bahwa Batavia memiliki keindahan berkat adanya kedinamisan penduduknya. Kemajemukan masyarakat kolonial yang terdiri dari dua atau tiga bagian yang berbeda secara ras, namun hidup berdampingan tanpa persamaan politis di Batavia sangat terlihat (Furnivall, 1944: 446-464).
Tio Tek Hong mula-mula menjelaskan Batavia dari tempat ia berpijak, yaitu Pasar Baru. Saat itu Pasar Baru merupakan sebuah Wijk (kampung) dagang dan salah satu pusat perekonomian Batavia. Kemudian ia menjelajah dengan Trem, teknologi transportasi yang termansyur kala itu, menyusuri Glodok, Harmonie hingga Kramat. Trem saat itu memiliki rute dari Batavia hingga Meester-Cornelis (H. C. C. Clockener Brousson, 2007: 26-27). Tio Tek Hong juga menjelaskan perkembangan trasportasi di Batavia, mulai dari dos a dos alias delman, Eerste Bataviasche Rijtuig Onderneming alias kereta tenda, Trem kuda hingga trem uap, automobile, hingga kereta setan alias sepeda motor. Ia juga menjelaskan keadaan jalan di Batavia dan tidak lupa membandingkan Batavia dengan Cirebon, Yogyakarta, Cilacap, Semarang, dan Surabaya. Kebetulan ia sempat mengunjungi tempat-tempat tersebut pada tahun 1903 untuk keperluan bisnisnya ((TioTek Hong, 2007: 47-50).
Tio Tek Hong pun merekam beberapa tempat di Batavia lengkap dengan deskripsi suasana dan letak tempat-tempat tersebut. Ia menjelaskan Jalan Jakarta yang saat itu dikenal dengan Jacatraweg lengkap dengan penggambaran Gereja Portugis yang berada di sisi jalan tersebut dan Monumen Pieter Erbelvelt, pemimpin pemberontakan kaum Indo-Belanda yang dihukum sangat kejam pada masa VOC. Selain itu, ia juga mendeskripsikan wilayah Glodok yang awalnya merupakan sebuah tanah lapang, namun kemudian dipenuhi oleh tempat tontonan dan tempat berdagang orang-orang Cina. Ia pun tak lupa menjelaskan mengenai meriam keramat dengan nama “Meriam si Jagur” dan jembatan gantung yang ia sebut sebagai peninggalan-peninggalan kuno.
Dinamika sosial masyarakat juga tak luput dari kacamatanya. Batavia yang saat itu dilanda wabah penyakit menular, seperti typhus, diptheritis dan cholera membuatnya merasa takut hingga mengungsi ke Buitenzorg. Penduduk Batavia saat itu kurang memperhatikan kebersihan lingkungan. Hal itu terlihat dari pengunakan air sungai dan air sumur yang sudah tercemar untuk keperluan mandi dan minum. Selain itu, kebiasaan masyarakat Batavia dalam menghisap madat dan minum arak (alkohol) tak luput dari catatan hariannya. Dalam hal seni dan budaya, Tio Tek Hong menceritakan mengenai perayaan Cap Gou Meh, Circus, Montagne Rus, Pecun atau balap perahu hingga kemegahan Pasar Gambir. Ia juga menjelaskan perkembangan bioskop yang ia sebut sebagai “gambar hidup” di Batavia, mulai dari bioskop di dekat Kebon Jahe di Tanah Abang, di Pasar Baru, hingga ”Elite Bioscope” miliknya dan beberapa sahabatnya di Pintu Air.
Sedikit penggambaran mengenai TioTek Hong agaknya membawa kita pada realitas seorang pengusaha yang memiliki hobi menulis. Dengan tulisannya tersebut, ia mampu merekam tabir kondisi Batavia pada awal abad 20 dengan baik. Tio Tek Hong telah lama meninggalkan kota Batavia, kota yang sangat ia cintai. Namun, melalui tulisan dan pengalamannnya ia memberikan pesan untuk selalu melihat berbagai hal dari berbagai sudut pandang tanpa melupakan aspek-aspek historis. Pengalaman hidupnya dan tulisannya mengenai Batavia mengingatkan kita pada pepatah: Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung.
Usman M
No comments:
Post a Comment