Memori 26 Maret

PADA Rabu, 26 Maret 1873, 141 tahun lalu, pihak Kolonial Belanda memaklumatkan perang kepada Kerajaan Aceh. Sebelum mengumumkan perang yang menguras begitu besar anggaran pemerintahnya, Belanda terlebih dulu mengirim kurier meminta kepada Kerajaan Aceh untuk tunduk kepada kolonial Belanda dan mengibarkan bendera Belanda.

Menurut catatan sejarah, tindakan Belanda menyerang Aceh lebih duluan untuk menghindari bantuan Amerika terhadap Aceh, karena menurut laporan intelijen Belanda, diplomat Aceh lagi berunding dengan Amerika di Singapura pada Februari 1873. Bahkan, satu skuadron pasukan Amerika di bawah pimpinan Laksamana Jenkins akan berangkat ke Aceh dari Hongkong pada 1 Maret 1873.

Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia (Jakarta sekarang) langsung mengangkat FN Nieuwenhuyzen sebagai Komisaris Pemerintah Hindia Belanda serta memerintahkannya menuju Aceh dan menekan  Sultan Aceh, Alaidin Mahmudsyah (1870-1874), untuk mengakui kedaulatan Belanda di bumi Aceh.

Dalam perkiraaan Belanda, hanya dalam hitungan hari Aceh sudah ditaklukan. Karena menurut laporan intelijen Belanda yang merupakan unit terpenting dalam pertempuran, kekuatan sangat rapuh terjadi banyak fraksi di dalam pemerintah Aceh. Bahkan, syahbandarnya Panglima Tibang Muhammad, yang sangat berpengaruh di kalangan istana Aceh, telah banyak membocorkan rahasia pemerintahan Aceh kepada intelijen Belanda.

Data dan angka yang akurat yang disodorkan intelijen inilah yang menyakinkan pihak Belanda bahwa dia akan dapat menakluki Aceh dalam beberapa hari saja. Namun, tim intelijen Belanda itu terlupa menulusuri aspek sosial budaya dan agama yang mendasari masyarakat Aceh dan peran ulama di dalamnya, yang membakarkan semangat perang sabil dengan moto “udep sare mate syahid, sikrak kaphan saboh keureunda.”

Memang ada diantara pemimpin pemimpin Aceh yang patah semangat dan akhirnya memihak penjajah khususnya diantara para birokrat (uleebalang). Apa lagi setelah Van der Heijden berhasil menakluki kubu pejuang Aceh pada 25 Juli 1878 Seuneulob Aceh Besar sehingga jatuh ke tangan Belanda. Dalam pertempuran ini 6 orang tentera Belanda tewas dan 42 orang lainnya luka-luka.

Saat itu, Belanda berhasil memecahbelahkan kubu pimpinan pemerintahan Kerajaan Aceh untuk memihak kepada Belanda, seperti Habib Abdurahman Az-Zahir (Mangkubumi Aceh) memihak Belanda pada 13 Oktober 1878. Dia kemudian mendapat tunjangan 12.000 dolar setiap tahunnya dan diizinkan menetap di Jeddah, Arab Saudi. Penyerahan ini diikuti pula oleh Teuku Muda Ba’ét pada 9 Maret 1879, tindakan mareka ini karena terpengaruh oleh kawan-kawan mareka seperti Panglima Tibang Muhammad dan Teuku di Glé Jai (Kadhi kepada Panglima Polem).

Walaupun demikian masih ada tokoh Aceh yang setia kepada Sultan Muhammad Daud Syah (1878-1939), agama dan bangsa dan tidak mau menyerah kepada penghisap darah bangsanya seperti Tuanku Hasyim Bangtamuda, Teungku Syik di Tiro Muhammad Saman, Tgk Syik di Kuta Gle Batee Iliek, Tgk Syik di Awee Geutah, Tgk Syik Paya Bakong, Tgk Syik Seupot Mata, Cut Meurah Intan, Cut Nyak Dien, Cut Mutia, Pocut Baren dan lain-lain.

Bahkan, menurut laporan Belanda misalnya Teungku di Tiro Muhammad Saman pada akhir 1881 mulai mengkhutbahkan perang sabil bersama pemimpin-pemimpin agama lainnya, dan mempersatukan barisan-barisan rakyat untuk menyerang Belanda yang dianggap kafir.

Belanda menaksir, Teungku Syik di Tiro berhasil mengumpulkan dan mengerahkan 6.000 orang dalam pasukannya berperang melawan penjajah bangsanya. Panglima perang Teuku Nyak Makam ditarik dari Aceh Timur oleh Sultan Aceh untuk membantu Tgk Syik di Tiro Muhammad Saman di Aceh Besar. Demikian pula Teuku Umar dari pantai barat selatan Aceh juga melakukan kegiatan untuk menyerang Belanda di Aceh Besar.

 Traktat London
Jika diungkit lebih awal, perang Aceh-Belanda diawali dari pelanggaran perjanjian Traktat London yang diteken pada Rabu, 17 Maret 1824. Dalam perjanjian yang terdiri dari 17 pasal tanpa melibatkan Kerajaan Aceh, kedaulatan Inggris di Sumatera diserahkan kepada Belanda dan Belanda menyerahkan koloninya di India dan Singapura kepada Inggris. Ambisi Belanda untuk menguasai seluruh Nusantara menyebabkan Belanda membujuk Inggris untuk menandatangani Traktat Sumatera, yang membenarkan Belanda menyerang Aceh.

Isi Traktat London yang diteken oleh Baron Hendrick Fagel dan Anton Falek (wakil Belanda) dan Koerge Canning dan Charles Watkin William (wakil Inggris) adalah: Pertama, Belanda dan Inggris berhak memasuki wilayah jajahan masing-masing. Kedua, Belanda menarik diri dari daerah jajahan di Malaka dan Singapura. Ketiga, Inggris menarik diri dari Nusantara dan menyerahkan Bengkulu ke Belanda. Keempat, Inggris dan Belanda menghormati kedaulatan Aceh.

Tetapi Setahun setelah perjanjian itu dimateraikan, Inggris menyerahkan wilayah Aceh Sibolga dan Natal kepada Belanda. Belanda pun semakin kuat berambisi untuk menguasai Aceh yang kaya dengan bahan rempah-rempah seperti lada, cengkih dan lain-lain yang sangat dibutuhkan dalam bisnis internasional. Pada sisi lain, posisi Aceh di pintu gerbang Selat Malaka sangat menggusarkan Belanda. Kata kuncinya, Aceh harus direbut.

Pelajaran yang dapat dipetik dari memori 26 Maret 1873 yakni kita  jangan terpengaruh dengan kebaikan musuh yang pura pura menjadi teman. Lalu menerkam pelan-pelan untuk merebohkan sendi-sendi kekuatan masyarakat Aceh. Aceh telah banyak mengalami pengalaman pahit sejak zaman kolonialisme Inggris, Belanda dan paska kemerdekaan 17 Agustus 1945, di mana kita terlalu terbuai dengan janji tetapi akhirnya kita mengetahui dikhianati.

Seperti Ikrar Lamteh pada 1957 dimana Aceh berhak menyandang gelar keistimewaan, tetapi kemudian basi karena pada 1970-an status keistimewaan Aceh dianggap sama dengan daerah lain. Kita tidak ingin MoU Helsinki yang dimateraikan di Helsinki pada 15 Agustus 2005 kemudian melahirkan UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menjadi layu karena kita saling cakar-cakaran dan berantuk satu sama lain. Sehingga kita kehilangan arah dalam menata bumi Iskandar Muda ini.

Rakyat Aceh harus bersatu, para politisi, akademisi, saudagar dan ulama harus saling menjaga keakraban dan silaturrahmi. Aceh ke depan harus dibangun dengan harmoni, bukan saling sikut-sikutan. Kita harus ingat bahwa masih banyak turunan UUPA yang perlu kita perjuangkan, yang sampai hari belum selesai. Semua ini harus kita perjuangkan bersama. Hindari sentimentil sesama masyarakat Aceh (horizontal). Masih banyak janji-janji politik yang harus kita tagih dari pemerintah pusat (vertikal).

Hal yang penting lagi hindari politik fitnah, dalam sejarah perang Aceh-Belanda. Politik adu domba sukses diterapkan di Aceh. Belanda mendirikan pasukan elite dinamai serdadu Marsose (yang umumnya berasal dari etnik Jawa, Sunda, Ambon, Manado dan lain-lain) pasukan elite ini cukup menyebar fitnah antar elit Aceh saat itu sehingga elit Aceh saling cakar cakaran. Politik lalat mirah rueng atau ‘menjilat’ ke pihak tertentu sambil menembak ‘peluru fitnah’ ke kubu lain bukan hal baru di negeri syariat ini.

Jadi pelajaran memori 26 Maret untuk masa kini dan masa depan yakni setiap pemimpin dan masyarakat Aceh, harus melakukan cek dan ricek alias tabayyun dalam setiap informasi baru. Konfirmasi bisa dilakukan jika ada data yang sesuai fakta. Tidak dibantah lagi, sekarang melalui SMS, BBM, Twitter dan lain-lain, maka info bisa beredar secepat kilat terlepas apakah info itu fitnah atau fakta. Semua ini dimaksudkan agar Aceh tetap bersatu dalam tujuan untuk kemajuan dan kesejahteraan.

* M. Adli Abdullah, SH, MCL, Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Darussalam, Banda Aceh. Email: bawarith@gmail.com

No comments: