Mimpi Ki Hajar Dewantara Masih Impian

Pendidikan untuk semua pribumi. Hingga sekarang, masih banyak anak pribumi Indonesia yang belum mengecap pendidikan.
baca,anak,bukuDua siswi sd sekolah MASTER (masjid terminal) membaca buku bacaan yang didapat dari kunjungan perpustakaan keliling wilayah dinas Kota Depok, Jawa Barat. (Roni Kuncoro/Fotokita.net)
Sewaktu Ki Hajar Dewantara mengeluarkan tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (seandainya aku seorang Belanda), tujuan mulianya hanya satu: mengkritik penjajah agar kaum pribumi (Indonesia) mendapat pendidikan layak.
Maklum saja, pada zaman kolonial, pribumi dilarang mengenyam pendidikan. Baru saat diberlakukannya Politik Etis, didirikanlah Hollandsch-Inlandsche School (HIS) yang setingkat dengan Sekolah Dasar (SD) saat ini.
Tapi namanya juga sekolah dirian penjajah, maka bahasa pengantarnya pun berasal dari negara invasif --dalam konteks ini, Belanda. Peserta didiknya pun terbatas, hanya anak golongan bangsawan, ningrat, atau pegawai negeri.
Sekolah ini dibedakan dari Inlandsche School, di mana pesertanya menggunakan bahasa daerah. Lembaga pendidikan Inlandsche School digagas Gubernur Jenderal Daendels pada tahun 1808. Saat itu ia memerintahkan beberapa wilayah di Jawa untuk mendirikan sekolah untuk anak-anak suku asli.
Kurikulum di dalamnya menggabungkan kebudayaan Jawa dan agama. Dengan demikian akan muncul generasi penerus budaya yang baik, namun tidak seimbang dengan anak didikan sekolah Eropa.
Loncat ke dekade sekarang, tujuan Ki Hajar Dewantara belum juga terwujud. Masih terlihat anak putus sekolah dari berbagai penjuru Nusantara. Terkini, kisah pilu Taspirin dari desa Gunung Lurah, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.
Masih berusia 12 tahun, anak ini sudah menjadi tulang punggung keluarga. Sekolah? Tidak. Terlintas pertama di pikirannya hanya memberi makan ketiga adiknya yang masih berusia di bawah sepuluh tahun.
Taspirin-Taspirin lain merupakan antitesis dari pernyataan Mendikbud Mohammad Nuh dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional, Kamis (2/5) di Jakarta. Mendikbud mengatakan pendidikan sebagai vaksin dan elevator sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
anak,sekolah dasarSugeng Sutanto (Fotokita.net)
Pendidikan, kata Mendikbud lagi, tidak membedakan asal usul, status sosial, ekonomi, dan kewilayahan. Bersama pendidikan pula dapat menaikkan daya tahan sosial agar terhindar dari penyakit kemiskinan, ketidaktahuan, dan keterbelakangan beradaban, serta meningkatkan status sosial masyarakat.
"Bagaimana caranya menaikkan daya tahan (imunitas) sosial agar terhindar dari ketiga macam penyakit tersebut? Jawabannya adalah pendidikan," ujar Mendikbud yang tidak menjelaskan bagaimana meraih pendidikan jika tidak mampu membayarnya.
Dalam buku Kredo Pendidikan yang dirilis Guru Besar Universitas Negeri Jakarta, HAR Tilaar, pendidikan harus berfungsi sebagai agen perubahan. Karena itulah, proses pendidikan harus berjalan secara demokratis, menghormati hak anak didik, dan bersifat transformatif.
Ya, pendidikan memang bisa menjadi alat elevator sosial, mengubah individu, dan masyarakat di sekitarnya. Namun, sama ketika masa penjajahan, pendidikan belum menjangkau semua. Hanya kaum mampu yang bisa mengakses dan mengubah hidupnya. Seandainya aku seorang Belanda...

(Zika Zakiya. Pelbagai sumber)

No comments: