Westernisasi dan Islamisasi Ilmu (2)

Ilmu bisa dijadikan alat yang sangat halus dan tajam bagi menyebarlauskan cara dan pandangan hidup sesuatu kebudayaan. Sebabnya, ilmu bukan bebas-nilai (value-free), tetapi sarat nilai (value laden)
Adnin Armas 
DALAM tulisan sebelumnya dijelaskan Westernisasi Ilmu, yang bersumber kepada akal dan panca-indera hanya akan melahirkan faham empirisme, rasionalisme, humanisme, materialisme, marxisme, kapitalisme, liberalisme, agnostisme dan ateisme. Di bawah ini lanjutanya;
Para filosof pasca modernis seperti Jacques Derrida, Michel Foucault, Richard Rorty sering menjadikan pemikiran Neitzsche sebagai rujukan. Jika Nietzsche mengumandangkan God is death, maka Jacques Derrida pada pertengahan abad ke-20 M mendeklarasikan the author is death.

Selain melahirkan ateisme, epistemologi Barat modern-sekular telah menyebabkan teologi Kristen menjadi sekular. Pandangan-hidup Kristiani telah mengalami pergeseran paradigma (paradigm shift).

Selain itu, jika pada zaman pertengahan (medieval times), agama Kristen adalah sentral dalam peradaban Barat, maka agama tersebut berubah menjadi pinggiran pada zaman modern. Jika pada zaman pertengahan, para teolog Kristen seperti Santo augustinus (m. 430), Boethius (m. 524), Johannes Scotus Erigena (m. 877), Santo Anselm (m. 1109), Santo Bonavantura (m. 1274) dan Santo Thomas Aquinas (m. 1274) memodifikasi filsafat Yunani kuno supaya sesaui dengan teologi Kristen, maka kini pada abad ke-20, para teolog Kristen seperti Karl Barth (1886-1968), Dietrich Bonhoeffer (1906-1945),[14] Friedrich Gogarten (1887-1967),[15] Paul van Buren (m. 1998), Thomas Altizer, Gabriel Vahanian,[16] William Hamilton, Woolwich, Werner and Lotte Pelz, Harvey Cox[17] dan lain-lain memodifikasi teologi Kristen supaya sesaui dengan peradaban Barat modern-sekular.

Mereka menegaskan, ajaran Kristiani harus disesauikan dengan pandangan-hidup sains modern yang sekular. Mereka membaut penafsiran baru terhadap Bible dan menolak penafsiran lama yang menyatakan ada alam lain yang lebih hebat dan lebih agamis dari alam ini.

Mereka membantah peran dan sikap Gerejawan yang mengklaim bahwa Gereja memiliki keistimewaan sosial, kekautan, dan properti khusus. (Harvey Cox, Why Christianity Must Be Secularized dalam GIT, 9-10). Mereka harus menafsirkan kembali ajaran agama Kristen supaya tetap relevan dengan perkembangan kehidupan masyarakat modern yang sekular.

Pemaparan ringkas diatas menunjukkan Westernisasi Ilmu, yang bersumber kepada akal dan panca-indera telah melahirkan berbagai macam faham dan pemikiran seperti empirisme, rasionalisme, humanisme, eksistensialisme, materialisme, marxisme, kapitalisme, liberalisme, sosialisme, skeptisisme, relatifisme, agnostisme dan ateisme.

Westernisasi ilmu telah melenyapkan wahyu sebagai sumber ilmu. Westernisasi ilmu juga telah menceraikan hubungan antara keduanya.

Islamisasi Ilmu Pengetahaun Kontemporer

Mengingat bahwa Islamisasi ilmu pengetahaun, yang populer di tahun 80 an, sejatinya telah dicanangkan kurang lebih dau dekade sebelumnya oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas. Maka kajian mengenai substansi Islamisasi ilmu pengetahaun kontemporer akan lebih jelas jika merujuk kepada konsep-konsepnya.

Selain itu, konsep-konsep yang diajukannya berdasarkan pemahaman yang mendalam terhadap pandangan hidup dan peradaban manusia Barat dan epistemologinya.

Syed Muhammad Naquib al-Attas menyadari bahwa “virus” yang terkandung dalam Ilmu Pengetahaun Barat modern-sekuler merupakan tantangan yang paling besar bagi kaum Muslimin saat ini. Dalam pandangannya, peradaban Barat modern telah membaut ilmu menjadi problematis.

Selain telah salah-memahami makna ilmu, peradaban Barat juga telah menghilangkan maksud dan tujaun ilmu. Sekalipun, peradaban Barat modern menghasilkan juga ilmu yang bermanfaat, namun peradaban tersebut juga telah menyebabkan kerusakan dalam kehidupan manusia.

Dalam pandangan Syed Muhammad Naquib al-Attas, Westernisasi ilmu adalah hasil dari kebingungan dan skeptisisme. Westernisasi ilmu telah mengangkat keragaun dan dugaan ke tahap metodologi ‘ilmiah.’

Bukan hanya itu, Westernisasi ilmu juga telah menjadikan keragaun sebagai alat epistemologi yang sah dalam keilmaun. Menurutnya lagi, Westernisasi ilmu tidak dibangun di atas wahyu dan kepercayaan agama, namun dibangun di atas tradisi budaya yang diperkaut dengan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekular yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional. Akibatnya, ilmu pengetahaun dan nilai-nilai etika dan moral, yang diatur oleh rasio manusia, terus menerus berubah. (Syed Muhammad Naquib al-Attas mengenai ‘peradaban Barat’ dalam karyanya Islam and Secularism, ISTAC, 1993).

Ilmu pengetahaun modern yang diproyeksikan melalui pandangan-hidup itu dibangun di atas visi intelektaul dan psikologis budaya dan peradaban Barat. Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, ada 5 faktor yang menjiwai budaya dan peradaban Barat:

Pertama,  akal diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia;

Kedua, bersikap daulistik terhadap realitas dan kebenaran;

Ketiga, menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekular;

Empat, membela doktrin humanisme;

Lima, menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominant dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan. (Lihat kritikannya terhadap sekularisasi dalam karyanya Islam and Secularism, 38-43).

Oleh karena ilmu pengetahaun  dalam budaya dan peradaban Barat itu justru menghasilkan krisis ilmu pengetahaun yang berkepanjangan, Syed Muhammad Naquib al-Attas berpendapat ilmu yang berkembang di Barat tidak semestinya harus diterapkan di dunia Muslim. Ilmu bisa dijadikan alat yang sangat halus dan tajam bagi menyebarlauskan cara dan pandangan hidup sesuatu kebudayaan. Sebabnya, ilmu bukan bebas-nilai (value-free), tetapi sarat nilai (value laden). (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, 134).*

Penulis buku “Pengaruh Kristen Orientalis Terhadap Islam Liberal” (Gema Insani Press, Jakarta)

No comments: