Fiqih Peradaban: Dunia dan Nusantara sebelum Kehadiran Islam

Museum Balai Pameran Islam Sultan Haji Hassanal Bolkiah
Islam datang dengan membawa budaya dan tradisi baru yang menyumbangkan bagi kadar dan kualitas pemikiran masyarakat Nusantara, menyebabkan budaya tulis, berbahasa, akhlak dan ibadah

 Dr. Kholili Hasib, M.Ud

MEMBICARAKAN suatu konsep, maka hal yang pertama harus ditelaah adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan konsep tersebut. Agar antara kandungan konsep dan istilah memiliki hubungan yang logis dan ilmiah.

Jika tidak ada ketersambungan antar keduanya, maka akan timbul confuse (kebingungan).

Fiqih peradaban, akhir-akhir ini menjadi topik yang marak dibincangkan. Tetapi, diskusi mengenai istilah tersebut sepertinya sangat minim.

Secara singkat, peradaban diistilahkan dalam bahasa Arab dengan; hadharah, tamaddun, atau tsaqafah. Dalam bahasa Inggris disebut civilization.

Di dunia Melayu-Nusantara kita menggunakan dengan ungkapan yang sangat menarik, peradaban. Dari kata adab. Maksudnya, suatu kumpulan masyarakat yang mengamalkan adab.

Menurut Prof. Syed M Naquib al-Attas, peradaban itu menggambarkan proses islamisasi. Beliau mendefinisikan peradaban Islam dengan; “peradaban yang muncul di antara keragaman budaya umat Islam dunia sebagai akibat meresapnya unsur-unsur dasar agama Islam yang ditimbulkan oleh umat tersebut muncul dari dalam dirinya.

Jadi, ketika suatu kebudayaan atau tradisi menyerap unsur-unsur dasar agama Islam, dan mengeluarkan unsur-unsur yang tidak sesuai dengan Islam, maka tradisi dan kebudayaan itu berkembang menjadi suatu peradaban.

Proses penyerapan dan pengeluaran inilah proses islamisasi. Oleh sebab itu, dimanapun agama Islam hadir di suatu wilayah maka dipastikan terjadi proses ini.

Maka, di sisi inilah penting bagi kita menelaah perubahan yang terjadi pada suatu masyarakat sebelum dan sesudah kehadiran agama Islam di suatu negeri. Pengkajian dan penelaah secara mendalam perkara ini menurut saya adalah isu fiqih peradaban.

Bahkan, isu ini yang paling mendasar dari konsep fiqih peradaban sebelum menelaah secara pendalam isu-isu lain dalam fiqih peradaban. Tulisan ini mengulas secara singkat perubahan masyarakat dunia dan Nusantara sesudah kehadiran agama Islam. Tulisan ini sekedar pengantar dan ulasan sederhana dan mendasar.

Dengan tujuan dasar agar istilah fiqih peradaban dapat didudukkan dengan tepat. Ada kesesuaian antara kandungan konsep dengan istilah.

Masyarakat dunia pernah mengalami fase sejarah yang gelap. Berlangsung berabad-abad. Sebelum datangnya Islam. Yaitu pada rentang pasca Nabi Isa as dan sebelum lahirnya Nabi Muhammad ﷺ.

Kerusakan manusia sampai pada segi; perilaku, fikiran,kebudayaan, dll. Abu Hasan Ali An-Nadawi dalam bukunya Madza Khasiral ‘Alam bin Khitatil Muslimin menggambarkan, bahwa abad keenam dan ketujuh masehi adalah abad-abad yang paling mengalami kemerosotan dalam sejarah.

Manusia pada abad-abad tersebut lupa sama sekali kepada Penciptanya, sehingga lupa pula kepada dirinya sendiri dan kepada hari-depannya.

Syeikh Ramadhan al-Buthi dalam Fiqhu As-Sirah memberi ulasan yang menarik tentang keadaan bangsa-bangsa di dunia sebelum lahirnya Nabi Muhammad ﷺ.

Zaman itu belahan bumi penuh dengan kerusakan yang sangat jauh dari batas-batas kewajaran sebagai manusia. Merata pada semua bangsa.

Di antara bangsa-bangsa yang perilakunya rusak tersebut, bangsa Arab relatif sedikit kadar kerusakannya. Khususnya bangsa Arab yang mendiami kota Makkah.

Secara geografis, kota Makkah pada zaman itu merupakan kota yang tidak banyak dihuni bangsa lain selain penduduk Arab Makkah asli. Ada bangsa Yahudi yang tinggal ratusan tahun di situ, tetapi jumlahnya tidak besar.

Adapun kerusakan perilaku bangsa Arab pra-Islam di antara sebabnya justru ada bangsa Arab yang keluar negerinya kemudian membawa budaya baru dari bangsa asing.

Di bawa masuk ke Makkah. Atau ada bangsa asing datang ke Makkah lalu kebiasannya itu berpengaruh terhadap bangsa Arab Makkah.

Kota Makkah dan bangsa Arab Suku Quraisy memang telah disiapkan oleh Allah Swt untuk menerima risalah wahyu yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ.

Sehingga Syeikh al-Buthi berkesimpulan bahwa di zaman kerusakan peradaban manusia itu, bangsa Arab merupakan bangsa yang terbaik. Di antara suku-suku Arab, bani Quraisy merupakan yang terbaik. Negeri yang relatif paling kondusif adalah negeri Makkah.

Secara umum, dunia sebelum Islam dikuasai dua kerajaan raksasa, yaitu Persia dan Romawi. Di Persia, para Khasrau atau raja Persia silih berganti memimpin wilayah yang ada di sekeliling mereka.

Para raja itu membangun peradaban yang mereka namakan dengan peradaban Persia. Negara paling akhir yang memegang tampuk kepemimpinan negara Persia sebelum datangnya Islam adalah negara Sasaniyah.

Bangsa Persia menganut kepercayaan Zoroaster. Menurut Zoroaster bahwa di dunia ini ada dua sumber atau tuhan. Pertama tuhan kebaikan dan tuhan keburukan.

Kedua tuhan tersebut selalu berada dalam lingkup perselisihan. Masing-masing dari tuhan tersebut memiliki kemampuan yang berbeda dalam urusan penciptaan.  

Bangsa Persia menjadikan api sebagai simbol tuhan kebaikan. Mereka menghidupkannya di setiap tempat ibadah mereka dan memberikan pembelaan terhadapnya agar lebih kuat dan menang atas tuhan keburukan.

Al-Buthi mencatat kerusakan moral bangsa Persia di antaranya menjadikan perkawinan incest sebagai sebuah keutamaan. Raja Persia memprakttikkan perkawanan sedarah itu hingga melahirkan anak-anak.

Bahkan ada seorang ibu dikawini oleh putra kandungnya sendiri. Bahkan status wanita Persia bagaikan barang. Bisa diperjual-belikan. Tradisi ini bernama Madzdakiyah.

Di belahan Eropa dikuasai bangsa Romawi. Kekuasannya bahkan hingga sampai sebagaian jazirah Arab.

Bangsa Romawi menganut agama Nashrani. Kekristenan Romawi bercampur secara sinkritis dengan tradisi kuno Romawi.

Abu Hasan Ali An-Nadawi menulis bahwa peperangan menjadi hobi bangsa Romawi. Maka, peperangan, penyiksaan, pembunuhan sekelompok manusia, pembantaian suku terjadi dikarenakan perbedaan keyakinan.

Perang agama kerap terjadi di negeri Syam dan di Mesir. Disebabkan perbedaan antar aliran Kristen.

“Abad ke-6 M merupakan masa peperangan panjang antara sekte Nasrani di Mesir dengan sekte Nasrani di Roma, seakan-akan peperangan itu dua agama berbeda”, tulis An-Nadawi.

Para sejarawan menyebut abad-abad itu dengan sebutan “abad kegelapan bangsa Eropa”. Penyimpangan-penyimpangan moral dan agama menjadi dinding tebal penghalang manusia dengan ilmu pengetahuan.

Agama Nasrani mengalami reduksi besar-besaran. Apalagi ketika filsafat Yunani mulai merasuki para agamawan.

Para agamawan Nasrani menjadikan filsafat, khususnya aliran Neo-Platonisme, sebagai alat untuk bertahan dan berargumentasi di hadapan para penyembah berhala kaum Romawi. Maka, agama Nasrani bercampur dengan tradisi Romawi kuno dan filsafat Yunani.

Seorang penulis Barat, Robert Briffault, menggambarkan bahwa abad ke-5 hingga ke-10 M laksana malam kelam bagi Eropa. Barbarianisme lebih kejam dari zaman kuno.

Prof. Tale mengatakan, abad ke-7 M dan ke-8 M merupakan babak paling kelam bagi sejarah peradaban di Eropa Barat. Tidak berlebihan disebut era barbarianisme tanpa batas, abad kebodohan yang paling memilukan.

Kerusakan juga terjadi pada bangsa-bangsa yang lainnya seperti; bangsa India, China, dan lain-lain.

Sementara Nusantara sebelum Islam didominasi oleh keyakinan Animisme dan Dinamisme. Animisme adalah suatu kepercayaan pada roh-roh nenek moyang, mereka yang menganut animisme mempercayai kekuatan-kekuatan ghaib, dan hal-hal tersebut dipercayai sebagai roh-roh nenek moyang.

Sedang dinamisme adalah suatu kepercayaan pada benda-benda ghaib, sebagai contoh pohon beringin yang besar, mereka yang menganut dinamisme percaya bahwa pohon tersebut memiliki kekuatan yang berbeda dari pohon-pohon yang lain.

Ketika datang agama Budha dan Hindu, masyarakat Nusantara masih sangat kuat kepercayaan animise dan dinamisme. Sehingga terjadi perubahan bentuk keyakinan agama Budha dan Hindu yang ada di Nusantara, bercampur secara sinkritis.

Kekuataan agama Budha dan Hindu di Nusantara biasanya disimbolkan dengan berdirinya kerajaan-kerajaan beraliran Budha, seperti Sriwijaya di Sumatera dan beraliran Hindu seperti Majapahit di Jawa.

Tetapi, agama Budha dan Hindu sejatinya tidak terlalu berpengaruh secara mendalam dalam fikiran masyarakat Nusantara. Apalagi dalam tradisi Hindu ada pembagian masyarakat menurut kelas atau kasta.

Hal ini menyebabkan masyarakat kasta sudra, kelas bawah, lebih memegang teguh tradisi lama masyarakat yaitu animisme dan dinamisme. Agama Hindu tetap dipegangi tapi secara form saja. Terjadilah sinkritisasi Hindu dengan animisme-dinamisme.

Agama Budha dan Hindu juga tidak mampu mengangkat tingkat dan daya fikir masyarakat. Tidak muncul cendekia, ahli fikir selama rentang dominasi Hindu-Budha.

Tradisi yang paling merusak moral di zaman kejayaan kerajaan Hindu adalah tradisi Bhairawa. Bhairawa merupakan ritual dengan mo-limo atau pancamakara: Matsiya (ikan), manuya (daging), madya (minuman keras), mudra (gadis atau tarian), dan maithuna (ritual seks beramai-ramai). Upacara pancamakara digelar di sebuah lapangan yang disebut Setra.

Ada pula aliran tradisi Vajrayana. Sebuah upacara yang masuk aliran upacara Bhirawa. Mereka bersemedi, menari-nari, mengucapkan mantra-mantra, membakar jenazah dan memakan dagingnya, meminum darah gadis, tertawa-tawa, mengeluarkan bunyi seperti banten [Jurnal Amerta, Warna Warta Kepurbakalaan No. 2 Tahun 1954 hal. 22].

Tradisi upacara ini melekat kuat bagi para kesatri atau para pendekar. Bahkan rakyat yang menginginkan kesaktian atau ingin menjadi pendekar melakukan tradisi tersebut.

Ketika Islam datang, tidak mudah untuk menghilangkan upacara tradisi itu. Pertama-tama yang digeser adalah ritual minum darah dan makan daging manusia itu menjadi ritual minum air yang telah dibacakan doa-doa (suwuk) dan makan daging kerbau.

Meskipun begitu, kanibalisme di sebagian wilayah belum sepenuhnya hilang. Bahkan pada saat bangsa Portugis datang ke Sumatera. Di daerah pedalaman yang belum tersentuh Islam masih ditemukan tradisi kanibalisme itu.

Secara umum peradaban Nusantara pra-Islam tidak mengesankan peradaban ilmu pengetahuan atau tulis-menulis. Peradaban Hindu-Budha lebih terkesan dengan seni estetika daripada metafisika dan filsafat.

Hal itu dibuktikan meninggalkan banyak sekali seni ukir dari batu yang ditemukan dalam bentuk candi dan prasasti.

Dalam candi-candi biasanya ditemukan patung-patung dalam beraneka ragam bentuk. Ada patung manusia tapi berkepala hewan. Penggambaran manusia juga disesuaikan dengan tradisi kebiasaan di masanya.

Candi-candi yang ditemukan pada abad-abad modern ini rata-rata terkubur. Bahkan ada yang ditemukan di tempat pembuangan sampah.

Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan peradaban candi telah ditinggalkan masyarakat Nusantara berabad-abad lamanya. Mereka membiarkan candi itu runtuh sendiri terkubur di dalam tanah.

Apalagi ketika agama Islam datang dibawa oleh pendakwah dari Jazirah Arab. Seiring banyaknya masyarakat Nusantara yang memeluk Islam, maka peradaban candi sudah tidak diperhatikan lagi.

Islam datang dengan membawa budaya dan tradisi baru yang menyumbangkan bagi kadar dan kualitas pemikiran masyarakat Nusantara. Seperti munculnya budaya tulis-menulis, berbahasa santun, berperangai halus dan kekhusyukan dalam beribadah.

Puncaknya, menurut Prof. Syed M Naquib al-Attas, adalah abad ke-16 M. Puncak ketinggian dari segi intelektual bangsa Nusantara yang telah menganut agama Islam.

“Abad-abad ke-enam belas dan ke-tujuh belas suasana kesuburan dalam penulisan sastera falsafah, metafizika dan teologi rasional yang tiada terdapat tolak bandinganya di mana-mana dan di zaman apa pun di Asia Tenggara.

Penterjemahan al-Quran yang pertama dalam bahasa Melayu telah diselenggarakan beserta syarahannya yang berdasarkan al-Baydawi; dan terjemahan-terjemahan lain serta syarahan-syarahan dan karya-karya asli dalam bidang falsafah, tasawuf dan ilmu kalam semuanya telah diselenggarakan pada zaman ini juga”, tulis Prof. Al-Attas dalam Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, hal.45.

Fenomena di atas menunjukkan bukti Nabi Muhammad ﷺ sebagai rahmatan lil alamin. Kehadiran Nabi ﷺ dan ajaran yang dibawa merupakan rahmat bagi semua bangsa.

Dengan rahmat itu, manusia menjadi makhluk yang terdidik, intelek, beretika, berperangai halus, berbudi luhur dan beriman kepada Tuhan yang haq. Serta tercipta kedamaian antar bangsa manusia. Seperti pernah dikatakan oleh An-Nadawi, jika agama Islam itu jatuh, maka yang berkuasa adalah keserakahan, pembunuhan antar manusia dan perilaku-perilaku hina.*

Dosen UII Dalwa-Bangil

No comments: