Regenerasi Matematikawan Muslim Dunia

Sumbangan matematikawan Muslim al-Khawarizmi yang kemudian dikenal Algoritme, atau Aljabar atas sumbangan pada matematika

Dunia harus berterima kasih dengan cendekiawan dan matematikawan Muslim al-Khawarizmi yang kemudian dikenal Algoritme, atau Aljabar atas sumbangan pada matematika

KEJAYAAN peradaban Islam (golden ages) banyak melahirkan ilmuwan di berbagai bidang. Tak terkecuali di bidang matematika yang banyak ditemukan cendekiawan Muslim.

Mereka telah menemukan berbagai macam teori di bidang matematika seperti yang kita kenal sekarang. Hasil-hasil penemuan mereka, misalnya, sistem bilangan desimal, sistem operasi dalam matematika seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian, eksponensial, dan penarikan akar.

Para matematikawan Muslim juga memperkenalkan angka termasuk angka nol (zero) dan lambang bilangan. Mereka antara lain menemukan bilangan phi (∏), persamaan kuadrat, algoritma, fungsi sinus, cosinus, tangen, cotangen, dan lain-lain.

Dengan temuannya itu mereka telah memberi kontribusi nyata bagi peradaban dunia hingga sekarang. Para matematikawan Muslim itu antara lain: al-Khawarizmi, al-Kindi, al-Karaji, al-Battani, al-Biruni, Umar Khayyam, dan Fakhruddin ar-Razi.

Salah satu ilmuwan Muslim yang memberikan sumbangan besar dalam pengembangan matematika adalah Muhammad bin Musa al-Khawarizmi. Matematikawan yang lebih dikenal dengan sebutan al-Khawarizmi ini hidup pada tahun 780 hingga 850 Masehi. Di kalangan masyarakat Barat, al-Khawarizmi lebih dikenal dengan nama Algorisme atau Algoritme.

Al-Khawarizmi juga populer dengan sebutan ”Bapak Aljabar”. Teori-teori Aljabar ia tulis dalam kitabnya yang bertajuk “Hisab al-Jabr wal Muqabalah”.

Ia mengaku menulis buku tentang aljabar untuk menyediakan kebutuhan praktis bagi orang-orang yang berurusan dengan harta peninggalan, warisan (faraidh), pembagian, perkara hukum, dan perdagangan.

Teori ‘algoritme’ dalam matematika modern diambil dari namanya, karena dialah yang pertama kali mengembangkannya. Selain aljabar dan algoritme, karyanya yang lain, misalnya, persamaan kuadrat dan fungsi sinus.

Karya al-Khawarizmi antara lain ditemukan di Kampus Universitas Cambridge, Inggris. Pada tahun 1857 di perpustakaan universitas itu ditemukan teks atau naskah aritmatika karya ilmuwan Muslim dalam terjemahan bahasa Latin bertajuk ‘Algoritimi de Numero Indorum’.

Naskah ini diawali dengan kalimat, “Telah berkata Algoritimi. Marilah kita haturkan pujian kepada Tuhan, Pemimpin dan Pelindung kita.” Naskah ini diyakini sebagai salinan dari naskah aritmatika al-Khawarizmi yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada abad ke-12 oleh dua sarjana Inggris yaitu Gerard dari Cremona dan Roberts dari Chester, dan hasil terjemahan ini digunakan para ahli matematika di seluruh dunia sampai abad ke-16.

Zaman keemasan Islam juga melahirkan para pakar di bidang trigonometri. Mereka antara lain adalah al-Battani (850-929), al-Biruni (973-1050), dan Umar Khayyam. Al-Battani atau Muhammad Ibn Jabir Ibn Sinan Abu Abdullah dikenal sebagai bapak trigonometri.

Al-Barrani atau Ibnu Jabir lahir di Battan, Mesopotamia, Irak, dan meninggal di Damaskus, Suriah, pada tahun 929. Al-Battani adalah tokoh bangsa Arab dan gubernur Suriah. Dia merupakan astronom Muslim terbesar dan ahli matematika ternama.

Al-Battani melahirkan trigonometri untuk level lebih tinggi dan orang pertama yang menyusun tabel cotangen. Sedangkan al-Biruni, ilmuwan Muslim yang lain, adalah peletak dasar-dasar trigonometri modern. Dia seorang filsuf, ahli geografi, astronom, ahli fisika, dan pakar matematika.

Enam ratus tahun sebelum Galileo Galilei, al-Biruni telah membahas teori-teori perputaran bumi pada porosnya (rotasi).

Al-Biruni juga memperkenalkan pengukuran-pengujuran geodesi dan menentukan keliling bumi dengan cara yeng lebih akurat. Dengan bantuan matematika, dia dapat menentukan arah kiblat dari berbagai macam tempat di dunia.

Selain itu, tokoh matematika lain yang tak kalah terkenal adalah Umar Khayyam. Kendati ia lebih dikenal sebagai seorang penyair, namun Umar Khayyam memiliki kontribusi besar dalam bidang matematika, terutama dalam bidang aljabar dan trigonometri.

Ia merupakan matematikawan pertama yang menemukan metode umum penguraian akar-akar bilangan tingkat tinggi dalam aljabar dan memperkenalkan solusi persamaan kubus.

Cetak kembali

Bisakah para matematikawan kaliber dunia itu lahir dari generasi Muslim saat ini? Bagaimana membentuk generasi baru al-Khawarizmi, al-Biruni, al-Battani, dan lain-lain saat ini?

Apa proses yang perlu dilakukan agar generasi baru al-Khawarizmi lahir? Atau minimal umat Islam tidak tertinggal dari umat lain di bidang sains dan matematika seperti yang terjadi sekarang? Itu antara lain sederet pertanyaan yang menjadi pe-er kita semua, generasi Muslim saat ini.

Dr-Ing Abdurrahman Riesdam Effendi dan Dr-Ing Gina Puspita dalam buku bertajuk Membangun Sains & Teknologi Menurut Kehendak Tuhan mengatakan ada beberapa penyebab mengapa umat Islam saat ini tertinggal dari orang non-Islam di bidang sains dan matematika.

Pertama, motivasi yang salah. Kebanyakan umat Islam belajar sains dan teknologi semata mencari ilmu, mengejar harta, jabatan, nama, agar tidak bodoh, serta karena bangsa dan negara.

”Tidak ada atau hampir tidak ada yang mencari ilmu karena Allah, yang menginginkan ridha, cinta dan takut kepada-nya,” ujarnya.

Karena itu tidak mengherankan jika Allah tidak membantu mereka. Mereka tidak diberi ilmu atau ide oleh Allah dalam kajian atau analisanya. Mereka hanya menggunakan akalnya saja.

Akhirnya mereka tertinggal jauh dibanding ilmuwan dan teknolog bukan Islam yang memang sudah meninggalkan jauh ilmuwan dan teknolog Islam.

Kedua, sistem pendidikan dan pengajaran yang salah. Sejarah telah menunjukkan, sistem pendidikan Islam yang dilaksanakan oleh umat Islam di zaman Rasulullah ﷺ dan salafus saleh telah berhasil melahirkan satu kelompok ilmuwan dan teknolog yang bertakwa dan profesional sehingga mereka sangat dibantu dan diberi ilmu oleh Allah.

Karena bantuan Allah ini, maka ilmuwan dan teknolog Islam di zaman salafus saleh itu telah menghasilkan dan memublikasikan karya-karya yang unggul sehingga menjadi guru tempat belajar dan rujukan bagi ilmuwan lain di dunia pada masa itu. Mereka menjadi peletak dasar ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang termasuk aljabar, matematika, astronomi, fisika, kimia, optik, biologi, geologi, kedokteran, dan lain-lain.

Menurutnya, sistem pendidikan di kalangan umat Islam saat ini telah gagal. Bukan hanya gagal menghasilkan ilmuwan dan teknolog yang unggul di bidangnya, tapi juga telah gagal menghasilkan insan yang beriman, bertakwa, kenal, cinta dan takut kepada Allah.

Salah satu masalah besar dalam dunia pendidikan sekarang ini adalah telah terjadi salah faham makna mendidik, pendidikan yang ada di sekolah. Pondok dan berbagai sekolah serta universitas sekarang ini, paparnya, sudah disempitkan artinya sekadar transfer ilmu dan kepakaran, baik ilmu-ilmu Islam seperti tauhid, fikih, dan tasawuf maupun ilmu-ilmu umum.

Dengan kata lain, hanya mengandalkan pemberian ilmu dan pendidikan akal saja. ”Kalaupun ada pemberian ilmu agama, pendidikan moral atau budi pekerti tetapi tidak dikaitkan dengan cinta, takut dan merindukan Tuhan, sampai anak didik benar-benar menjadikan hidup matinya untuk Allah semata,” paparnya.

Ketiga, kaidah pendidikan yang salah. Pendidikan umat Islam diselenggarakan dengan kaidah dan tata cara yang tidak Islami, mengikuti cara-cara Barat dan Yahudi.

Padahal Barat memang hendak mematikan akal dan jiwa umat Islam sejak zaman penjajahan. ”Kaidah pendidikan begitu formal dan terbatas,” tulisnya.

Pendidikan hanya terjadi di ruang kelas dan sesuai dengan batasan. Setiap level dihargai dengan selembar ijazah.

Walau mempunyai kemampuan suatu level, kalau tidak memiliki ijazah di level tersebut, maka dia tidak boleh membuat kerja untuk level tersebut.

Abdurrahman dan Gina lebih jauh menulis, penekanan pendidikan sekarang ini bukan pada perubahan insan tetapi pada perpindahan ilmu dan kepakaran yang dibuktikan dengan selembar ijazah atau diploma yang begitu diagung-agungkan dan dijadikan tujuan.

Maka selembar ijazah itulah yang akan menentukan masa depan, jabatan dan gaji seseorang. ”Orang yang faham khazanah agama Islam, al-Qur’an atau hadis, mestinya akan menjadi orang yang mengetahui dan faham dengan ilmu dunia akhirat. Tetapi sistem pendidikan umat Islam sekarang ini menghasilkan orang- orang yang lemah jiwa walaupun mereka banyak mengetahui ilmu pengetahuan, teknologi, ilmu Islam, hafal Qur’an dan hafal hadis.”

Keempat, tidak mengaitkan ilmu yang dipelajari dengan Allah. Walaupun dalam shalat umat Islam selalu berjanji bahwa hidup dan mati hanya untuk Allah, tapi dalam aktivitas kesehariannya mereka jarang sekali mengaitkannya dengan Allah. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka kaji sehari-hari tidak menambah rasa cinta dan takut kepada Allah. Shalat tidak menjadi amalan paling utama yang mesti diprioritaskan waktunya dan diusahakan khusyuknya oleh para saintis dan teknolog. Akibatnya, ”Jika urusan dengan Allah tidak diselesaikan dengan baik, maka urusan-urusan lain tidak dibantu oleh Allah,” tulis Abdurrahman.

Karena itu ia menyarankan agar umat Islam selalu mengaitkan ilmu yang dipelajari, dikaji dan dikembangkan, dengan kebesaran Allah, bukan sekadar transfer ilmu tanpa perasaan.

Dalam menceritakan sains, planet-planet, galaksi, gunung-gunung, bumi, hewan dan tumbuhan, misalnya, seorang yang bertakwa akan menghubungkannya dengan Allah sehingga siapa saja yang mendengar atau membaca tulisan itu, hatinya akan tergerak kepada keagungan Allah.

Agus Purwanto, penulis buku Ayat-Ayat Semesta, menambahkan perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi Islam perlu mengkaji ayat-ayat semesta yang terdapat dalam al-Qur’an. Selama ini, perguruan tinggi seperti di jurusan-jurusan FMIPA memang mempelajari fenomena alam, tapi mereka tidak mengaitkan apalagi merujuk al-Qur’an.

Dalam kaitan inilah ia menyarankan agar anak-anak sejak dini diperkenalkan kepada al-Qur’an yang merupakan sumber segala ilmu.

Di sisi lain, perguruan tinggi Islam harus kembali kepada jati dirinya sebagai institusi pengembang ide atau gagasan, sebagai tempat lahirnya ide-ide kreatif dan orisinil. ”Perguruan tinggi harus tumbuh sebagai madzhab pemikiran yang berarti harus diisi pemikir besar independen, bukan sekadar kumpulan kuli-kuli, buruh, atau makelar sarjana,” tandasnya.

Pria kelahiran Jember, yang juga doktor fisika lulusan Universitas Hiroshima Jepang itu terkesan dengan pola pendidikan di Jepang yang memberi porsi lebih terhadap character building dan teamwork.

Di negeri itu, papar Agus, anak-anak sekolah dasar harus berjalan kaki bersama-sama saat pergi dan pulang sekolah. Siswa SMP dan SMA tidak boleh naik motor apalagi mobil ke sekolah.

Ketika libur musim panas anak-anak SD akan secara sadar menggantikan pekerjaan ibu mereka di dapur seperti mencuci piring. ”Matematika anak SD masih menerapkan model seperti yang saya alami 40 tahun lalu yakni dengan menggunakan batang-batang yang diikat karet untuk proses penjumlahan, pengurangan maupun pengalian. Pendidikan kita overload dan hanya cocok untuk superboy anaknya superman,” ujarnya.

Dengan kata lain dosen Institut Teknologi 10 November (ITS) Surabaya itu menilai masih banyak yang harus diperbaiki  dari sistem pendidikan kita agar bisa menghasilkan sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas. Apalagi jika harus melahirkan SDM sekelas  al-Khawarizmi, al-Kindi, al-Karaji, al-Battani, al-Biruni, Umar Khayyam, atau  Fakhruddin ar-Razi.*/Rusdiono Mukri, pernah dimuat di Majalah Gontor

Rep: Admin Hidcom
Editor: -

No comments: