Ali bin Abu Thalib dan Ibnu Umar Haramkan Catur?

Ali bin Abu Thalib dan Ibnu Umar Haramkan Catur?
Para ahli fiqih berbeda pendapat tentang memandang hukum catur, antara mubah, makruh dan haram. Foto/Ilustrasi: Ist
Para ahli fiqih berbeda pendapat tentang memandang hukum catur , antara mubah, makruh dan haram. Mereka yang mengharamkan beralasan dengan beberapa hadis Nabi SAW . Namun para pengkritik dan penyelidiknya menolak dan membatalkannya. Mereka menegaskan, bahwa permainan catur hanya mulai tumbuh di zaman sahabat. Oleh karena itu setiap hadis yang menerangkan tentang catur di zaman Nabi adalah hadis-hadis batil ( dhaif ).

Syaikh Muhammad Nashruddin al-Albani dalam bukunya berjudul "Silsilatul-Ahaadiits adh-Dhaifah wal Maudhu'ah wa Atsaruhas-Sayyi' fil-Ummah" dan telah diterjemahkan AM Basamalah menjadi "Silsilah Hadits Dha'if dan Maudhu'" bahkan menyodorkan dua hadis palsu atau maudhu' perihal catur.

Para sahabat sendiri berbeda dalam memandang masalah catur ini. Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya berjudul " Halal dan Haram dalam Islam " menyebut Ibnu Umar menganggapnya sama dengan dadu. Sedang Ali bin Abi Thalib memandangnya sama dengan judi. "Mungkin yang dimaksud, yaitu apabila dibarengi dengan judi. Sementara ada juga yang berpendapat makruh," ujar Al-Qardhawi.

Dan di antara sahabat dan tabi'in ada juga yang menganggapnya mubah. Di antara mereka itu ialah: Ibnu Abbas , Abu Hurairah , Ibnu Sirin, Hisyam bin 'Urwah, Said bin Musayyib dan Said bin Jubair.

"Inilah pendapat orang-orang kenamaan dan begitu jugalah pendapat saya," ujar al-Qardhawi. "Sebab menurut hukum asal, sebagaimana telah kita ketahui, adalah mubah. Sedang dalam hal ini tidak ada satu nas tegas yang menerangkan tentang haramnya," jelasnya.

Menurut al-Qardhawi, pada catur itu sendiri melebihi permainan dan hiburan biasa. Di dalamnya terdapat semacam olah raga otak dan mendidik berpikir. Oleh karena itu, tidak dapat disamakan dengan dadu. Dan justru itu pula mereka mengatakan: yang menjadi ciri daripada dadu ialah untung-untungan (spekulasi), jadi sama dengan azlam. Sedang yang menjadi ciri dalam permainan catur ialah kecerdasan dan latihan, jadi sama dengan lomba memanah.

Al-Qardhawi berpendapat tentang kebolehan catur ini dipersyaratkan dengan tiga syarat:

1. Karena bermain catur, tidak boleh menunda-nunda sembahyang, sebab perbuatan yang paling bahaya ialah mencuri waktu.
2. Tidak boleh dicampuri perjudian.
3. Ketika bermain, lidah harus dijaga dari omong kotor, cabul dan omongan-omongan yang rendah.

"Kalau ketiga syarat ini tidak dapat dipenuhinya, maka dapat dihukumi haram," ujarnya.

Hadis Maudhu
Setidaknya ada dua hadis yang oleh Syaikh Muhammad Nashruddin al-Albani dianggap palsu. Hadis palsu yang dimaksud salah satunya adalah yang berbunyi: "Terkutuk orang yang main catur itu."

"Hadis ini maudhu'," ujar Syaikh al-Albani. Hadis tersebut dikeluarkan oleh ad-Dailami (IV/63) dari Ibad bin Abdus Shamad dari Anas yang di-marfu'-kannya.

"Saya sependapat, sanad ini maudhu' dan kelemahannya karena adanya Ibad ini, yang oleh Imam Bukhari dinyatakan mungkar periwayatannya," ujar al-Albani. Kemudian, Ibnu Hibban menegaskan, "Telah meriwayatkan dari Anas sekumpulan riwayat yang semuanya maudhu'."

Al-Hafizh as-Sakhawi mengatakan dalam kitab Umdatul Muhtaj fi Hukmisy-Syathranj (I/9), "Imam an-Nawawi ditanya tentangnya maka ia jawab tidak shahih."

Yang semisalnya apa yang dikemukakan oleh as-Sayuthi dalam kitabnya al-Jami' dari riwayat Abdan dan Abu Musa serta Ibnu Hazm dari Habbah bin Muslim secara mursal, sambil menambahkan "Dan orang yang melihat ke arahnya bagaikan makan daging babi."

Al-Manawi mengatakan, "Habbah adalah seorang tabi'in yang tidak dikenal kecuali dengan periwayatan ini," dan di dalam kitab al-Mizan dinyatakan, "Ini adalah riwayat mungkar."

Hadis ini, menurut al-Albani, merupakan periwayatan Ibnu Juraij dari Habbah, dikatakan pada salah satu dari kedua jalur sanad yang paling sahih darinya, namun keduanya dhaif. Telah meriwayatkan hadis dari Habbah bin Muslim dan mempunyai dua kelemahan, mursal dan keterputusan sanad.

Hadis maudhu' lainnya berbunyi:

"Apabila kalian melewati mereka yang tengah bermain undi nasib seperti catur, dadu, dan apa saja yang termasuk lahwun 'main-main' maka janganlah kalian memberi salam kepada mereka. Dan, bila mereka memberi salam kepada kalian, maka janganlah kalian balas salam mereka, karena apabila mereka berkumpul menggelutinya, datanglah iblis --semoga Allah menghinakannya-- dengan membawa tentaranya seraya mengerumuni mereka.

Dan, setiap ada orang yang meninggalkan tempat catur ia memojokkannya, lalu datanglah malaikat dari belakang seraya melotot terhadap mereka, dan merekapun (yakni iblis) tidak lagi mendekati mereka (orang-orang yang berpaling dari permainan).

Dan, para malaikat tidak henti-hentinya mengutuk mereka hingga mereka berpisah dan berpencar bagaikan anjing yang berkumpul berebut bangkai, memakannya hingga kenyang perutnya kemudian mereka berpencar."

Al-Albani menyatakan hadis ini maudhu'. Dikeluarkan oleh al-Ajri dalam kitab Tahrim an-Nard wasy-Syathranj wal-malahi (II/43-Q) dengan jalur sanad dari Sulaiman bin Daud al-Yamami, dari Yahya bin Abi Katsir, dari Abu Salamah bin Abdurrahman, dari Abu Hurarirah ra, ia berkata, "Rasulullah saw bersabda ..." (hadits di atas).

Menurut al-Albani, sanad riwayat ini sangat dhaif dan penyakitnya karena ada Sulaiman bin Daud al-Yamami. Tentangnya, adz-Dzahabi menegaskan dalam kitab al-Mizan, "Ibnu Mu'in mengatakan, 'Sulaiman bin Daud tidak ada harganya.'"

Sedangkan Imam Bukhari menyatakan, "Sulaiman bin Daud mungkar periwayatan hadisnya."

Adapun Ibnu Hibban hanya mengatakan ia sebagai perawi dhaif, sedangkan para pakar hadis lainnya menyatakan bahwa Sulaiman bin Daud ditinggalkan periwayatannya.

Kemudian, al-Albani mengatakan, al-Hafizh Ibnul Muhibb al-Maqdisi dengan tulisan tangannya menulis catatan pinggir kitab al-Ajri, "Ini hadis dhaif."

"Menurut saya, bahkan maudhu'. Dan tanda-tanda kepalsuannya sangat nyata karena penyakitnya, yaitu al-Yamami sebagai perawi tertuduh seperti telah kita ketahui dari pernyataan Imam Bukhari," demikian Syaikh Muhammad Nashruddin al-Albani.

(mhy) Miftah H. Yusufpati

No comments: