Mengapa Rasulullah SAW Tidak Memakai Mukjizat Suprarasional untuk Buktikan Kebenaran Ajarannya?

Mengapa Rasulullah SAW Tidak Memakai Mukjizat Suprarasional untuk Buktikan Kebenaran Ajarannya?
Nabi Muhammad tidak menggunakan hal-hal yang bersifat suprarasional sebagai bukti kebenaran ajarannya. Foto/Ilustrasi: Ist
M Quraish Shihab mengatakan bahwa kenabian Muhammad SAW bukan merupakan hal yang baru bagi umat manusia. Nabi Muhammad secara tegas diperintahkan untuk menyatakan hal itu. Allah SWT berfirman:

"Katakanlah, 'Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul. Aku tidak mengetahui yang diperbuat terhadapku, tidak juga terhadapmu. Aku tidak lain hanya mengikuti yang diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain seorang pemberi peringatan yang menjelaskan.'" ( QS Al-Ahqaf [46] : 9)

Namun demikian, kata Quraish Shihab dalam bukunya berjudul " Wawasan Al-Quran ", kenabian Muhammad SAW berbeda dengan kenabian utusan Tuhan yang lain.

Sebelum beliau, para Nabi dan Rasul diutus untuk masyarakat dan waktu tertentu, tetapi Nabi Muhammad SAW diutus untuk seluruh manusia di setiap waktu dan tempat, "Katakanlah (hai Muhammad), 'Wahai seluruh manusia! Sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk kamu semua'" ( QS Al-A'raf [7] : 158)

Quraish Shihab mengatakan ada sementara orientalis yang menduga bahwa pada mulanya Nabi Muhammad SAW hanya bermaksud mengajarkan agamanya kepada orang-orang Arab, tetapi setelah beliau berhasil di Madinah, beliau memperluas dakwahnya untuk seluruh manusia.

"Pendapat ini sungguh keliru, karena sejak di Mekkah beliau telah menegaskan bahwa beliau diutus untuk seluruh manusia," ujar Quraish Shihab.

Surat Al-Araf ayat 158, turun ketika Nabi SAW sedang berada di Mekkah, bahkan menurut sementara ulama, semua ayat Al-Qur'an yang dimulai dengan panggilan "Wahai seluruh manusia," semuanya turun di Mekkah kecuali beberapa ayat.

Beda dengan Nabi Lain
Perbedaan yang lain adalah para nabi sebelum beliau selalu mengaitkan kenabian dengan hal-hal yang bersifat suprarasional, baik berbentuk sihir, pengetahuan gaib, mimpi-mimpi, dan lain-lain.

Isa as misalnya bersabda,

"Sesungguhnya Aku telah datang kepadamu dengan membawa bukti(mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat burung untuk kamu dari tanah, kemudian aku meniupnya sehingga ia menjadi burung dengan seizin Allah, dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak lahir, dan orang yang berpenyakit sopak (lepra), dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah, dan aku kabarkan kepadamu yang kamu makan dan yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya yang demikian itu adalah suatu tanda (mukjizat tentang kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman." ( QS Ali 'Imran [3] : 49)

Dalam Perjanjian Baru, Isa a.s. juga menyatakan, "Jangan percaya padaku, jika aku tidak mengerjakan pekerjaan Bapak..."

Demikian halnya Isa as dan para nabi sebelumnya. Menurut Quraish Shihab, karena itu, ketika masyarakat Arab Quraisy meminta bukti-bukti yang bersifat suprarasional, Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk menyampaikan kalimat-kalimat berikut:

"Katakanlah, 'Sesungguhnya bukti-bukti itu bersumber dari Allah, sedang aku hanya pembawa peringatan yang menjelaskan.'" ( QS Al-'Ankabut [29] : 50)

Dr Nazme Luke, seorang pendeta Mesir, berkomentar bahwa menghidupkan orang mati, mengembalikan penglihatan orang buta, dan lain-lain adalah hal-hal yang sangat mengagumkan, tetapi tidak berarti apa-apa jika digunakan untuk membuktikan bahwa 2+2 = 5.

Masyarakat pada masa Isa as, membutuhkan bukti-bukti yang bersifat suprarasional, karena mereka belum mencapai tingkat kedewasan yang memadai. Hal ini, tulisnya, sama dengan membujuk anak kecil untuk makan, padahal jika telah dewasa, ia akan makan tanpa dibujuk.

Quraish Shihab mengatakan memang Nabi Muhammad SAW tidak mengandalkan hal-hal yang bersifat suprarasional sebagai bukti kebenaran ajarannya.

Bukti kebenaran kenabian dan kerasulannya adalah Al-Qur'an dan diri beliau sendiri yang ummi (tidak pandai membaca dan menulis). Para pakar bersepakat dengan menggunakan berbagai tolok ukur untuk mengakui beliau sebagai manusia teragung yang pernah dikenal oleh sejarah kemanusiaan.

Demikianlah kesimpulan Thomas Carlyle dalam bukunya On Heroes, Hero, Worship and the Heros in History dengan menggunakan tolok ukur kepahlawanan. Demikian pula Will Durant dalam The Story of Civilization in the World dengan tolok ukur hasil karya, Marcus Dodds dalam Muhammad, Buddha, and Christ, dengan tolok ukur keberanian moral, Nazme Luke dalam Muhammad Al-Rasul wa Al-Risalah dengan tolok ukur metode pembuktian ajaran, serta Michael Hart dalam bukunya tentang seratus tokoh dunia yang paling berpengaruh dalam sejarah, dengan tolok ukur pengaruh serta sederetan pakar lainnya.

"Mustahil bagi siapa pun yang mempelajari kehidupan dan karakter Muhammad (SAW), hanya mempunyai perasaan hormat saja terhadap Nabi mulia itu. Ia akan melampauinya sehingga meyakini bahwa beliau adalah salah seorang Nabi terbesar dari sang Pencipta," demikian Annie Besant menulis dalam The Life and Teachings of Muhammad.

Dalam konteks ini Al-Qur'an surat Alam Nasyrah ayat 4 menyatakan, "Sesungguhnya Kami pasti akan meninggikan namamu."

Dalam ayat lain dinyatakan: "Wahai seluruh manusia, telah datang kepada kamu bukti yang sangat jelas dan Tuhanmu (yakni Muhammad SAW), dan Kami telah (pula) menurunkan cahaya yang terang benderang (Al-Quran)" ( QS Al-Nisa' [4] : 174).

(mhy) Miftah H. Yusufpati

No comments: