Kisah Sufi Ibrahim Khawwas tentang Sifat Murid

Kisah Sufi Ibrahim Khawwas tentang Sifat Murid
Kisah ini menggarisbawahi secara dramatis perbedaan antara apa yang calon murid pikirkan tentang hubungan yang seharusnya dengan sang guru dan seperti apa pada kenyataannya. (Foto/Ilustrasi : Ist)
Idries Shah dalam bukunya berjudul "Tales of The Dervishes" menukil kisah sufi Ibrahim Khawwas (Si Penganyam Palem) yang mendefinisikan jalan Sufi sebagai "biarkan apa yang dilakukan bagimu. Kerjakan sendiri apa yang harus kau kerjakan bagi dirimu."

Kisah ini menggarisbawahi secara dramatis perbedaan antara apa yang calon murid pikirkan tentang hubungan yang seharusnya dengan sang guru; dan seperti apa pada kenyataannya.

Khawwas adalah salah seorang guru agung masa awal, dan perjalanan ini dikutip dalam karya Hujwiri, Revelation of the Veiled (Pengungkapan yang Terselubung), ikhtisar tertua yang masih ada tentang Sufisme dalam Bahasa Persia. Berikut kisahnya:

Dikisahkan bahwa Ibrahim Khawwas, ketika masih muda, ingin menimba ilmu dari seorang guru. Ia pun mencari seorang bijaksana, dan mohon agar bisa menjadi muridnya.

Sang Guru berkata, "Kau belum siap." Karena pemuda itu tetap bersikeras, guru itu berkata, "Baiklah, kau akan kuajari sesuatu. Aku akan pergi berziarah ke Mekkah. Ikutlah bersamaku."

Murid itu sangat girang. "Karena kita menempuh perjalanan berdua," kata Sang Guru, "salah seorang harus memimpin, dan yang satunya mengikuti. Pilih peranmu."

"Saya ikut saja, Tuan memimpin," kata murid itu.

"Aku akan memimpin, asal kau tahu bagaimana menjadi pengikut," kata Sang Guru.

Perjalanan pun dimulai. Ketika mereka beristirahat pada suatu malam di padang pasir Hejaz, hujan turun. Sang Guru bangun dan memegang kain penutup, melindung muridnya agar tidak basah.

"Tetapi seharusnya sayalah yang melakukannya bagi Tuan," kata pemuda itu.

"Kuperintahkan agar kau memperbolehkanku melindungimu," sahut Sang Guru.

Ketika hari sudah siang, pemuda itu berkata, "Nah, ini hari baru. Perkenankan saya menjadi pemimpin, dan tuan mengikuti." Guru itu setuju.

"Saya akan memperintahkan Tuan agar duduk saja di sini sementara saya kumpulkan belukar!"balas pemuda itu.

"Kau tak boleh melakukan itu," timpal gurunya lagi, "sebab hal itu tidak sesuai dengan syarat menjadi seorang murid, dengan contoh nyata."

Mereka berpisah di gerbang Kota Suci. Ketika bertemu kembali dengan orang bijaksana itu, pemuda itu tidak berani menatap matanya.

"Yang kau pelajari itu," kata sang Guru, "adalah sesuatu tentang sifat murid."

Kisah ini juga telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia antara lain oleh Ahmad Bahar dalam bukunya berjudul Harta Karun dari Timur Tengah - Kisah Bijak Para Sufi. Juga oleh Sapardi Djoko Damono dalam buku Kisah-Kisah Sufi, Kumpulan Kisah Nasehat Para Guru Sufi Selama Seribu Tahun yang Lampau.

(mhy
Miftah H. Yusufpati

No comments: