Yerusalem: Dari Situs Agama Hingga Ibu Kota

Yerusalem: Dari Situs Agama Hingga Ibu Kota. Dalam foto file 11 Februari 2020 ini, Presiden Palestina Mahmoud Abbas memegang peta saat dia berbicara selama pertemuan Dewan Keamanan di markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam tiga dekade upaya perdamaian yang gagal, harapan Palestina untuk negara merdeka di wilayah yang direbut Israel dalam perang 1967 tidak pernah tampak begitu suram. Tetapi tidak ada indikasi kepemimpinan mereka yang menua akan mengubah arah. Abbas tetap berkomitmen pada strategi yang sama yang telah dia lakukan selama beberapa dekade - mencari dukungan internasional untuk menekan Israel agar menyetujui sebuah negara Palestina di Tepi Barat, Gaza dan Yerusalem Timur.

Yerusalem: Dari Situs Agama Hingga Ibu Kota. Dalam foto file 11 Februari 2020 ini, Presiden Palestina Mahmoud Abbas memegang peta saat dia berbicara selama pertemuan Dewan Keamanan di markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam tiga dekade upaya perdamaian yang gagal, harapan Palestina untuk negara merdeka di wilayah yang direbut Israel dalam perang 1967 tidak pernah tampak begitu suram. Tetapi tidak ada indikasi kepemimpinan mereka yang menua akan mengubah arah. Abbas tetap berkomitmen pada strategi yang sama yang telah dia lakukan selama beberapa dekade - mencari dukungan internasional untuk menekan Israel agar menyetujui sebuah negara Palestina di Tepi Barat, Gaza dan Yerusalem Timur.

Foto: AP Photo/Seth Wenig, File

Dalam dua milenium sebelum Masehi, misalnya, tempat ini dikenal sebagai Rushalimum dan kemudian sebagai Urusalim. Di awal masa Islam, nama tempat ini ialah Iliya’ madinat bayt almakdis. Nama-nama lain muncul belakangan, mulai dari al-Kuds, al-ard al-mukaddasa, dar al-salam, hingga ‘ir hash-shalom (dari bahasa Ibrani).

Dilihat dari peninggalan arkeologis yang ada, Yerusalem telah dihuni manusia sejak Zaman Perunggu Awal (sekitar 3000 SM). Bangsa Jebusit yang berasal dari Semit Barat adalah penghuni awal Yerusalem. Orang Yahudi percaya bahwa sekitar tahun 1000 SM Raja Daud berhasil menaklukkan kotanya orang Jebusit ini dan menjadikannya sebagai pusat politik dan keagamaannya.

Tiga pengikut agama samawi memiliki ikatan dengan Yerusalem. Bagi orang Yahudi, Yerusalem adalah tempat kuil suci mereka. Penguasa Romawi pagan menghancurkan situs penting Yahudi di sana.

Barulah setelah penguasa Romawi memeluk agama Kristen orang Yahudi diperbolehkan untuk memasuki Yerusalem. Mereka diizinkan menangisi hancurnya kuil kuno mereka, suatu ritual yang masih mereka lakukan hingga kini di tempat yang dikenal sebagai Tembok Ratapan (Tembok Burak dalam istilah warga Palestina).

Bagi orang Kristen, Yerusalem dipercaya sebagai tempat berlangsungnya berbagai peristiwa yang berkaitan dengan kehidupan Yesus. Berbagai monumen Kristen dibangun di sini saat penguasa Romawi, Constantine, memeluk Kristen.

Yerusalem telah dihuni manusia sejak Zaman Perunggu Awal.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azhar Rasyid, Penilik sejarah Islam

Dewasa ini, barangkali tidak ada kota yang paling diperebutkan oleh berbagai kekuatan global selain Yerusalem atau Al Quds. Para penganut Islam, Kristen, dan Yahudi, yang secara nominal membentuk separoh warga dunia menganggap Yerusalem sebagai kota suci mereka. Ini tidaklah mengherankan karena Yerusalem dihiasi berbagai situs yang sangat dihormati ketiga agama tersebut.

Dalam beberapa milenium terakhir, Yerusalem berulang-kali berganti kepemilikan, yang kemudian menentukan pula corak dominan kota ini. Yang terbaru, Presiden Amerika Serikat Donald Trump ikut menambah buruk konflik Israel-Palestina dengan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Bukannya mencontoh toleransi beragama yang dicontohkan Umar bin Khattab dan Salahuddin al Ayyubi dalam mengelola Yerusalem, sikap Trump justru semakin mengukuhkan penjajahan Israel di Yerusalem.

Dari segi geografis dan topografis, sebenarnya tidak ada yang istimewa dari Yerusalem. Seperti dikatakan Simon Sebag Montefiore dalam bukunya, Jerusalem: The Biography, secara fisik Yerusalem tidaklah atraktif: “…terpencil dari rute-rute perdagangan pesisir Mediterania; tempat itu kekurangan air, terpanggang di bawah matahari musim panas, menggigil oleh angin musim dingin, batu-batunya melepuh dan tidak nyaman dihuni.”

Tapi agamalah, dan bukan alam, yang membuat Yerusalem menjadi magnet bagi umat manusia. Besarnya perhatian pada Yerusalem  sudah dimulai bahkan sejak dari namanya sendiri.

Yerusalem dikenal dengan berbagai nama. Menurut satu catatan, paling sedikit ada tujuh belas nama, dan paling banyak ada sekitar tujuh puluh nama, yang tercatat dalam sejarah untuk mengacu pada Yerusalem atau situs-situs suci yang menjadi intinya.

Dalam dua milenium sebelum Masehi, misalnya, tempat ini dikenal sebagai Rushalimum dan kemudian sebagai Urusalim. Di awal masa Islam, nama tempat ini ialah Iliya’ madinat bayt almakdis. Nama-nama lain muncul belakangan, mulai dari al-Kuds, al-ard al-mukaddasa, dar al-salam, hingga ‘ir hash-shalom (dari bahasa Ibrani).

Dilihat dari peninggalan arkeologis yang ada, Yerusalem telah dihuni manusia sejak Zaman Perunggu Awal (sekitar 3000 SM). Bangsa Jebusit yang berasal dari Semit Barat adalah penghuni awal Yerusalem. Orang Yahudi percaya bahwa sekitar tahun 1000 SM Raja Daud berhasil menaklukkan kotanya orang Jebusit ini dan menjadikannya sebagai pusat politik dan keagamaannya.

Tiga pengikut agama samawi memiliki ikatan dengan Yerusalem. Bagi orang Yahudi, Yerusalem adalah tempat kuil suci mereka. Penguasa Romawi pagan menghancurkan situs penting Yahudi di sana.

Barulah setelah penguasa Romawi memeluk agama Kristen orang Yahudi diperbolehkan untuk memasuki Yerusalem. Mereka diizinkan menangisi hancurnya kuil kuno mereka, suatu ritual yang masih mereka lakukan hingga kini di tempat yang dikenal sebagai Tembok Ratapan (Tembok Burak dalam istilah warga Palestina).

Bagi orang Kristen, Yerusalem dipercaya sebagai tempat berlangsungnya berbagai peristiwa yang berkaitan dengan kehidupan Yesus. Berbagai monumen Kristen dibangun di sini saat penguasa Romawi, Constantine, memeluk Kristen.

Yerusalem adalah tempat suci ketiga bagi umat Islam setelah Makkah dan Madinah. Perjalanan Malam Nabi Muhammad ke Langit (isra’) dilakukan dari suatu tempat di Yerusalem. Dari perjalanan inilah kaum Muslim mendapatkan perintah shalat. Sebelum berkiblat ke Makkah, Muslim shalat dengan mengarah ke Yerusalem.

Yerusalem berkali-kali berpindah tangan. Sebelum Islam datang, Yerusalem dikuasai Romawi pagan, lalu diambil alih oleh orang Persia, lalu kembali dikuasai kembali oleh Romawi.

Sebelum penguasa Islam memerintah di Yerusalem, persekusi skala besar beberapa kali terjadi. Masuknya kekuatan politik Islam ke Yerusalem memberi warna baru yang lebih damai bagi relasi antaragama di kota ini. Umar bin Khattab adalah kalifah Islam pertama yang memerintah di Yerusalem.

Walau ada kekhawatiran di antara orang Kristen akan kedatangan penguasa baru ini, Umar mengambil langkah strategis. Dalam bahasa Aslam FaroukAlli (2004), peneliti di University of Cape Town, Afrika Selatan, Umar “menunjukkan sikap toleransi yang belum pernah ada sebelumnya” saat menerima penyerahan Yerusalem dari uskup Kristen kota itu, Sophronius. Setidaknya ada tiga sikap menghargai perbedaan yang diambil Umar terhadap penganut Kristen di Yerusalem.

Pertama, melindungi tempat-tempat suci mereka. Kedua, menjamin keselamatan mereka. Dan ketiga, menolak tawaran untuk melakukan shalat di sebuah tempat suci Kristen. Bila shalat di sana, Umar khawatir hal itu akan dijadikan justifikasi di masa depan untuk mengambil alih tempat suci itu.

Setelah sempat lepas dari penguasa Muslim saat Perang Salib, Yerusalem berhasil diambil alih oleh Salahuddin al-Ayyubi. Ia memperbolehkan orang Yahudi untuk berkunjung ke Tembok Ratapan yang juga merupakan dinding barat Masjid Al-Aqsa. Namun, sebagaimana dikatakan seorang pengamat Timur Tengah, sikap toleran seperti ini kemudian ditafsirkan oleh sejumlah orang Yahudi sebagai hak mutlak untuk menguasai kompleks situs suci itu.

Yerusalem berada di bawah pengelolaan para penguasa Muslim selama berabad-abad, mulai dari masa Abbasiyah hingga Turki Usmani di awal abad ke-20. Sesudah itu, Yerusalem sempat berada di bawah mandat Inggris. Dua kali perang di abad ke20, Perang Arab-Israel tahun 1948 dan Perang Enam Hari tahun 1967, mengubah peta politik Yerusalem bahkan hingga kini, dengan Israel perlahan-lahan menguasai satu per satu bagian Yerusalem.

Alih-alih memulihkan hak-hak bangsa Palestina, Amerika Serikat sebagai sekutu terdekat Israel justru menjustifikasi pencaplokan wilayah Palestina yang telah berlangsung selama tiga perempat abad terakhir. Bila di masa silam upaya mengklaim tanah Palestina dilakukan dengan landasan agama, kini Israel membawa alasan administratif untuk kian mengukuhkan eksistensinya.

Kota, apalagi ibu kota, bukan hanya tempat tinggal bagi warga, melainkan sebuah ruang strategis yang bisa dipakai untuk membangun kesadaran politik tertentu. Ini dilakukan dengan mempromosikan ideologi penguasa ibu kota itu melalui berbagai proyek kota, contohnya pembangunan bangunan dan monumen serta penamaan jalan.

Di sisi lain, penguasa baru di ibu kota juga akan berusaha menghapus memori tentang kelompok masyarakat lain yang menjadi musuhnya. Maka, bila Yerusalem diakui dan diterima sebagai ibu kota Israel, ada satu hal yang tampak jelas di depan mata: de-Palestinaisasi Yerusalem.

Sumber: Majalah SM Edisi 1 Tahun 2018

Link artikel asli

No comments: