Genealogi Kekerasan dan Riwayat Penistaan Agama oleh Kaum Komunis

 

komunis
foto miniatur museum TNI menggambarkan pembantaian PKI atas umat Islam di Madiun 1948
Perbedaan kepercayaan antara kaum agama dan Marxisme yang menjelma menjadi Partai Komunis Indonesia menimbulkan benturan keras di masyarakat

Muhammad Syafii Kudo

Marxisme lahir dari gua garba filsafat Barat yang memiliki pandangan positivistik dengan prinsip bahwa hakikat yang ada adalah materi. Tidak ada roh dan tidak ada kehidupan sesudah mati, karena itu Marxisme melihat agama secara filosofis hanyalah khayalan dan secara sosial sebagai candu.

Hal itu tentu berbeda dengan pandangan kaum agama manapun, bahwa dunia tidak hanya materi percaya adanya roh dan percaya adanya Tuhan, dan agama hadir untuk memberikan petunjuk dan tuntunan terhadap kehidupan sosial dan kerohanian.

Perbedaan kepercayaan itu setelah Marxisme menjelma menjadi komunisme dan di Indonesia komunisme mengejawantah dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) yang terstruktur, maka perbedaan prinsip itu di masyarakat menjadi benturan keras. Kaum beragama merasa berkewajiban memperkuat agama, sementara PKI berkewajiban mengikis habis segala bentuk kepercayaan agama.

Akibatnya dengan segala cara Komunis Indonesia menghina agama yang dianggap suci, serta merendahkan martabat tokoh agama yang menjadi anutan masyarakat.

Sejak Pemilu 1955 posisi PKI Surabaya yang semakin menguat apalagi didukung sebagian aparat tentara. Dengan kekuatan yang ada itu, maka pada tahun 1962 gerombolan Pemuda Rakyat di dukung kawanan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia / Underbow PKI) yang garang menyerbu Masjid keramat tersebut. Tempat suci itu diinjak-injak sambil menyanyi dan menari-nari menyanyikan lagu genjer-genjer. Bahkan mereka bermaksud mengubah masjid tersebut menjadi markas Gerwani.

Bagi Kader NU terutama Ansor dan umat Islam Surabaya pada umumnya tidak ada pilihan lain untuk menghadapi PKI yang sudah berani menodai mesjid yang suci dan dikeramatkan tersebut kecuali dengan jihad. Maka terjadilah benturan dua kekuatan sosial itu, tetapi karena jumlah pasukan NU lebih banyak akhirnya gerombolan PKI bisa diringkus dan diseret ke pengadilan.

Peristiwa itu segera menjadi pembicaraan yang meluas di kalangan umat Islam sehingga semakin meningkatkan kewaspadaan terhadap serangan Komunis yang posisinya sangat kuat, beberapa aparat militer bahkan Bupati di kawasan Jawa Timur seperti Blitar, Trenggalek dan Banyuwangi telah direbut oleh PKI. Demikian juga birokrasi pemerintahan makin banyak disusupi PKI.

Peristiwa tragis berikutnya menimpa seorang muballigh kondang KH.Djufri Marzuqi di Pamekasan Madura 27 Juli 1965, Kiai kharismatik itu ketika hendak memberikan ceramah dalam pengajian umum ditikam oleh Anggota PKI saat dalam perjalanan menuju tempat Pengajian.

Tentu saja pembunuhan kiai itu menyulut kemarahan masyarakat Madura dan Jawa timur pada umumnya. Bahkan saat peringatan 40 hari wafatnya, KH Idham Cholid Ketua Umum PBNU datang dari Jakarta untuk memberikan rasa simpati dan sekaligus memberikan gelar tokoh ini sebagai Syahidul Kabir (Syuhada Agung).

Kehadiran Idham Cholid itu mereka baca sebagai bentuk memberikan semangat untuk melakukan perlawanan. Dan kehadiran yang diliput media itu menjadikan kasus Madura ini sebagai isu nasional.

Penodaan agama juga terjadi di Malang 1965 saat Karim DP, Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang berideologi PKI itu memberikan ceramah di hadapan pimpinan PKI Malang dengan mengatakan bahwa kaum beragama terutama Kiai adalah termasuk kelompok borjuis feodal, musuh golongan proletar, karena itu PKI akan selalu berhadapan dengan kelompok agama, terutama para kiai.

Ketika kelompok Pemuda Ansor Malang mendengar pidato Karim DP yang menjelekkan kiai sebagai kelompok feodal borjuis yang harus diganyang itu, mereka langsung menyerbu pertemuan PKI tersebut dan berusaha menemui Karim DP, tetapi usaha GP Ansor tersebut dihadang oleh Pemuda Rakyat PKI, maka terjadilah perkelahian antar pemuda NU dan pemuda PKI.

Untuk memperkuat perjuangannya itu Komunis Indonesia semakin mengaktifkan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) sebagai ujung tombak perjuangan. Lekra berhasil menguasai berbagai kesenian rakyat seperti Ludruk, Ketoprak, Reog dan sebagainya.

Sekitar 15 Januari 1965 Ludruk Lekra membuat pementasan di Prambon dengan lakon Gusti Alah Dadi Manten (Allah Menjadi Pengantin). Pementasan yang menghina agama Islam tersebut langsung digerebek oleh pasukan Banser sehingga pertunjukan itu bubar dan pemainnya dihajar oleh Banser.

Rupanya Lekra di tempat lain juga melakukan hal yang sama, seperti di Kecamatan Kampak Trenggalek Jawa Timur dimana mereka menyelenggarakan pertunjukan tayuban di halaman masjid pada hari Jum’at. Mereka ini sudah tidak bisa diperingatkan, bahkan saat mau dilaksanakan sembahyang Jum’at pertunjukan terus dijalankan dengan dihadiri penuh oleh penonton yang memenuhi halaman masjid, maka akhirnya terpaksa kelompok Islam mengalah dan terpaksa menyelenggarakan sembahyang Jum’at di masjid lain. Hal itu membuat kalangan umat Islam khususnya NU sangat prihatin karena tidak lagi bebas menjalankan ibadah.

Setelah itu mereka mementaskan ketoprak dengan lakon Rabine Gusti Alah (Perkawinan Gusti Allah) di Kecamatan Kampak. Rupanya pihak NU terutama Pemuda Ansor tidak tinggal diam, terus mengadakan penyelidikan ke tempat pertunjukan. Ketika pementasan sedang berjalan sekelompok Pemuda Ansor yang sudah lama mengintai lakon yang melecehkan kesucian Tuhan tersebut segera melakukan penyergapan.

Kelompok Pemuda Rakyat melindungi mereka dan akhirnya terjadi perkelahian, walaupun akhirnya semua pemain ketoprak dan pimpinannya diringkus kemudian diadili dan dihukum penjara, karena pertunjukan itu dianggap menodai agama dan mengundang kerusuhan.

Penghinaan terhadap agama ini juga terjadi di Kecamatan Mojo Kediri sekitar tahun 1965, selain menggelar pertunjukan ketoprak dengan lakon Gusti Alah Mantu, juga menggelar lakon Kiai Barhum, yang mengisahkan seorang kiai pesantren yang suka mabuk, selalu sibuk bermain judi dan sekaligus berwatak culas sehingga sering membuat keributan dengan tetangga.

Pertunjukan itu tidak diserang langsung tetapi hanya dilempar serpihan genting yang sudah diberi mantra oleh Kiai Zazuki. Keajaiban terjadi, tiba-tiba muncul badai besar yang meporak-porandakan panggung dengan segala peralatannya sehingga pertunjukkan tidak jadi dilangsungkan.

Sementara itu ketika lakon Gusti Alah Mantu dipentaskan di kecamatan Papar, Kediri, oleh para Banser tidak disergap, tetapi minta bantuan seorang kiai, lalu disirep, hingga semua pemainnya tertidur lelap. Dan saat itulah Banser melakukan penyerbuan tanpa perlawanan dan pemain yang terlibat dieksekusi.

Di Kecamatan Pogalan Trenggalek, Lekra kembali menyelenggarakan pentas kesenian Langen Tayub persis di sebelah masjid kecamatan selama dua hari dua malam tanpa henti. Karuan saja pertunjukan itu mengganggu aktivitas masjid terutama saat melaksanakan shalat.

Lalu diadakan kompromi, pertunjukan berhenti sejenak saat sembahyang lima waktu. Tetapi kesepakatan itu tidak dipatuhi PKI, untuk menjaga perdamaian pihak Ansor tidak mengusir mereka dari halaman masjid. Akhirnya pihak GP Ansor hanya berjaga di serambi masjid agar para simpatisan PKI tidak masuk dan merusak masjid.

Lain lagi dengan provokasi yang dilakukan oleh Lekra-PKI Kediri, mereka menyelenggarakan pertunjukan wayang di berbagai tempat. Sang dalang KI Jamadi seringkali mengangkat lakon yang menghina agama.

Melihat terjadinya penghinaan agama itu, dalam sebuah penyergapan yang dilakukan Ansor ke desa Kencong, rumah KI Jamadi dibakar, selain itu kantor Kecamatan Kepung yang dikuasai PKI direbut kembali oleh Ansor dan diserahkan pada pemerintah. Dalam melakukan serbuan ini Ansor bekerja sama dengan pemuda PNI.

Menyerang agama rupanya telah menjadi naluri bahkan tugas utama para aktivis PKI, sehingga pada suatu ketika PKI Kecamatan Turen Malang yang dipimpin oleh Kusnan dan Niam seorang Ketua Pemuda Rakyat setempat yang terkenal sakti itu menginjak Al Qur’an dengan mengatakan bahwa Al Qur’an bukan kitab suci hanya buku yang berisi kebohongan, seraya menantang kelompok Muslim.

Akhirnya Ketua Banser Turen yang bernama Samad menantang Niam berkelahi. Dalam perkelahian itu Niam mati terbunuh. Peristiwa ini membuat kelompok Komunis Turen ketakutan dan menahan diri tidak melakukan penghinaan terhadap kiai NU yang bisa mengundang kemarahan Ansor.

Walaupun setelah terjadi berbagai protes dan penggerebekan yang dilakukan oleh Ansor NU yang akhirnya membuat berbagai lakon Ludruk dan ketoprak yang menghina agama itu dibubarkan, tetapi PKI di daerah lain ternyata tetap mementaskannya.

Pada bulan Juli 1965 di Dampit Malang selatan ada kabar ludruk Lekra hendak mementaskan lakon Rabine Malaikat (Malaikat Menikah). Setelah dibicarakan oleh pimpinan Ansor maka diadakan penyelidikan ke tempat pertunjukan, khawatir semuanya ini hanya isu yang sengaja dilontarkan PKI untuk menjebak Ansor.

Setelah pertunjukan diintai ternyata lakon tersebut benar-benar dipentaskan. Saat itu juga Ansor yang sudah menyamar sebagai penonton dan sebagian bersembunyi di belakang panggung melompat ke atas panggung dan menangkap semua pemainnya sehingga terjadi keributan, bahkan pimpinannya dipukuli oleh Ansor. Karena Ansor bisa menguasasi keadaan lalu pertunjukan dibubarkan.

Pertunjukan yang menghina agama semacam itu juga terjadi di Pati, Kudus dan sebagainya, di kota-kota tersebut dipentaskan ketoprak dengan lakon Gusti Alah Bingung. Tentu hal itu memancing kemarahan kelompok santri. Perkelahian antar kedua kelompok PKI dan santri selalu terjadi di arena pertunjukan seperti itu yang berujung pada pembubaran acara, karena penonton panik dan pemain juga ketakutan.

Berbagai penistaan, penghinaan, serta serangan terhadap agama, baik ajarannya, kitab-kitabnya, pimpinannya serta para pemeluk agama itu membuat kebencian kalangan agama terhadap komunis semakin menjadi-jadi sehingga menempatkannya sebagai musuh agama dan juga musuh negara. Karena itu kelompok agama terutama kalangan santri pesantren NU dan seluruh jaringan NU menempatkan PKI sebagai musuh yang harus dihadapi. (Benturan NU-PKI 1948-1965, Hal. 95-102).*

Penulis peminat sejarah

Rep: Admin Hidcom
Editor: -

No comments: