Muso; Santri Penjagal Kaum Santri dan Kiai

Menurut catatan penelitian Rudolph Joseph Rummel, profesor emeritus ilmu politik di University of Hawaii, sebanyak 120 juta manusia telah terbantai oleh Komunisme yang selesai pada tahun 1993

 

Pondok Bobrok, Langgar Bubar, Santri Mati,

Pondok Bobrok, Langgar Bubar, Santri Mati,

Pondok Bobrok, Langgar Bubar, Santri Mati!

 Muhammad Syafii Kudo 

 SEJAK 18 September 1948, saat Muso memproklamirkan Negara Soviet Indonesia di Madiun, slogan itu terus berkumandang dari seluruh anggota sipil PKI Muso dan Tentara Muso yang bernama Front Demokratik Rakyat (FDR). Perlu diketahui, Sekjen dari FDR ini adalah DN Aidit.

Melalui slogan berima itu, PKI membuat bobrok bangunan pondok pesantren, langgar dibubarkan, dan santri dibantai di luar ukuran kemanusiaan. Lebih gila lagi, sebelum slogan itu dikumandangkan di berbagai desa, kota, jalan, dan gang-gang, para anggota PKI sudah menyiapkan lubang-lubang untuk membantai para Kiai dan santri. Di berbagai lubang itulah, para Kiai dan santri disembelih secara massal.

Muso memang dididik oleh Stalin untuk tega menghancurkan agama. Saat Muso lari ke Moskow pada 1927, setelah berhasil lolos dari pengejaran tentara kolonial Belanda.

Pada zaman itu, pemimpin komunis di Uni Soviet adalah Josef Stalin yang membantai 42 juta manusia bangsanya sendiri. Muso dididik langsung oleh Stalin untuk menghancurkan agama dan para agamawan.

Muso mengamini perilaku Stalin dan pendahulunya Vladimir Lenin, yang membantai jutaan manusia demi tegaknya komunisme. Lenin sangat mengamalkan ajaran dari Karl Marx, bahwa agama hanyalah candu.

Kekerasan menjadi ciri khas dalam pelaksanaan rezim Komunis di dunia. Rezim Komunis yang anti-Tuhan menggunakan segala cara untuk menumbangkan lawan-lawan politiknya. Dari kalimat Marx dan Lenin inilah, Muso melaksanakan pembantaian di Madiun dan menciptakan jargon: Pondok Bobrok, Langgar Bubar, Santri Mati.

Simak saja apa yang dikatakan Karl Marx (1818-1883):

“Bila waktu tiba kita tidak akan menutup-nutupi terorisme kita. Kami tidak punya belas kasihan dan kami tidak meminta dari siapa pun rasa belas kasihan. Bila waktunya tiba, kami tidak mencari-cari alasan untuk melaksanakan teror. Cuma ada satu cara untuk memperpendek rasa ngeri mati musuh-musuh itu, dan cara itu adalah teror revolusioner.”

Marx juga mengatakan, “Eksistensi Tuhan tidak masuk akal. Tuhan adalah konsep yang menjijikkan. Pendek kata, aku menaruh dendam kepada Tuhan. Agama adalah narkoba bagi masyarakat. Menghujat agama adalah syarat utama dari semua hujatan.”

Muso juga sangat menghayati ayat-ayat keji komunis dari Vladimir llich Ullyan Lenin (1870-1924) yang mengatakan, “Saya suka mendengarkan musik yang merdu, tetapi di tengah-tengah revolusi sekarang ini yang perlu adalah membelah tengkorak, menjalankan keganasan dan berjalan dalam lautan darah. Dan tidak jadi soal bila ¾ penduduk dunia habis, asal yang tinggal ¼ itu Komunis. Untuk melaksanakan Komunisme, kita tidak gentar berjalan di atas mayat 30 juta orang.”

Lenin juga menganggap setiap ide tentang Tuhan adalah semacam infeksi berbau busuk. Matilah agama dan hiduplah Athéisme! Kita harus memperlakukan agama dengan bengis…kita harus memerangi agama. Inilah A.B.C. Materialisme dan A.B.C. Marxisme.

Sebagai turunan santri, Muso harusnya merasa ngeri, kitab sucinya Lenin dan Stalin adalah buku Manifesto Komunis karya Zagladin. Kalimat kunci palu arit yang pondasinya materialisme mutlak di seluruh jagat raya adalah “Mencapai tujuan dengan menghalalkan berbagai cara.”

Ada 18 ayat-ayat keji Zagladin yang diamalkan komunis, yaitu berdusta, memutar balik fakta, memalsukan dokumen, memfitnah, memeras, menipu, menghasut, menyuap, intimidasi, bersikap keras, membenci, mencaci maki, menyiksa, memperkosa, merusak, menyabot, membumihanguskan, membunuh, dan membantai.

Pertanyaan kita semua, apakah Muso tidak miris, ketika dalam pemerintahan Lenin pasca Revolusi Bolshewik (1917-1923), Lenin memerangi agama dengan membunuh 28 uskup dan 1.200 pendeta. Sampai akhir masa berkuasanya, Nikita Kruschev juga membunuh 50.000 pendeta bangsanya sendiri. Bahkan, di tahun 1921, di Kongres Soviet ke -10, Lenin mengumumkan dengan sangat senang dan bangga, telah berhasil melenyapkan rakyat muslim dalam invasi tahun itu.

Muso sang santri itu tega melihat 10.000 gereja dibakar di Uni Soviet, hingga hanya tersisa 1.000 buah. Sedangkan 30.000 masjid yang berdiri di Soviet juga diluluhlantakkan, hingga hanya tersisa 450 buah saja.

Bahkan, di negara Komunis lain, yaitu Kamboja, Jenderal Ryamizard Ryacudu pernah melihat masjid di Kamboja yang diubah Khmer Merah menjadi kandang babi.

Kejam Setelah dari Uni Soviet

Saat kembali ke Indonesia, Muso malah melaksanakan ajaran keji Marxisme, Leninisme, Maoisme, dan Manifesto Komunis Zagladin yang gemar memainkan peran sebagai algojo. Ajaran itu diusung secara utuh oleh kader-kader Komunis di Indonesia. Pembantaian yang dimulai dari Madiun pada September 1948 itu, adalah pelaksanaan ajaran.

Muso juga melaksanakan cara-cara Lenin dan Stalin yang membantai dengan menyiapkan Lubang-Lubang Pembantaian. Lubang-lubang pembantaian memang menjadi ciri khas pembunuhan massal oleh komunis sejak di Uni Soviet maupun Tiongkok. Lubang-lubang itu digali sebagai lubang pesta pembantaian bagi siapa pun yang tidak satu paham dengan aliran politik PKI.

Menurut catatan penelitian Rudolph Joseph Rummel, profesor emeritus ilmu politik di University of Hawaii, sebanyak 120 juta manusia telah terbantai oleh Komunisme yang selesai pada tahun 1993 (dua tahun sesudah ideologi komunisme bangkrut di berbagai negara).

Terdapat 120 juta lebih nyawa yang dibantai di 76 negara sejak 1917 hingga 1991. Sebuah jumlah yang melebihi jumlah korban Perang Dunia I dan II. Setidaknya 500.000 rakyat Rusia dibantai Lenin (1917-1923), 6.000.000 petani Kulak Rusia dibantai Stalin (1929), 40.000.000 lebih warga Soviet dibantai Stalin (1925-1953), 50.000.000 penduduk Rakyat Cina dibantai Mao Tse Tung (1947-1976), 2.500.000 rakyat Kamboja dibantai Pol Pot 0975-1979), 1.000.000 rakyat Eropa Timur di berbagai negara dibantai rezim Komunis setempat dibantu Rusia Soviet (1950-1980), 150.000 rakyat Amerika Latin dibantai rezim Komunis di sana, 1.700.000 rakyat berbagai negara di Afrika dibantai rezim Komunis, dan 1.500.000 rakyat Afghanistan dibantai Najibullah (1978-1987).

Dari Keluarga Kiai, Mengganyang Santri

Muso yang dilahirkan di Kediri, Jawa Timur, 1897, dikabarkan sebagai putra seorang Kiai besar di daerah Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Kiai besar itu adalah KH Hasan Muhyi alias Rono Wijoyo, seorang pelarian pasukan Diponegoro. Kabar itu muncul dari informasi awal Ning Neyla Muna, keluarga Ponpes Kapurejo, Pagu, Kediri, yang menyebut Muso sebagai keluarga mereka.

KH Mohamad Hamdan lbiq, pengasuh Ponpes Kapurejo, Pagu, Kediri, mengatakan, Muso memang keluarga besar Ponpes Kapurejo. Yang ia pahami, Muso itu anak bawaan Nyai Juru, saat KH Hasan Muhyi menikahi Nyai Juru. Saat itu, Nyai Juru sudah memiliki putra, salah satunya adalah Muso.

Sebagai anak seorang Kiai dan berada di lingkungan pesantren, sejak kecil tentu saja Muso kecil rajin nyantri. Kalau bukan anak tokoh Islam berpengaruh di Kediri, tentu sulit bagi Muso menjadi pengurus Sarekat Islam pimpinan H.O.STjokroaminoto.

Di rumah Tjokroaminoto ini, Muso bertemu dengan Hendricus Josephus Fransiscus Marie Sneevliet, yang suka pada ide-ide sosial demokrat revolusioner. Sneevliet datang ke Hindia Belanda (Indonesia) pada 1913. Selama di Surabaya, Sneevliet kerap berdiskusi dengan murid-murid Tjokroaminoto, termasuk Muso. Sneevliet pula yang memasukkan gagasan sosialis dalam tubuh Sarekat Islam, salah satunya melalui Muso.

Di Surabaya ini, akibat bertemu Sneevliet, akhirnya Muso tumbuh menjadi orang yang senang amuk-amukan karena ikut gerakan Sarekat Islam Afdeling-B. Sarekat Islam Afdeling-B atau Seksi B atau Sarekat Islam B adalah suatu cabang revolusioner. Gerakan ini didirikan oleh Sosrokardono pada 1917 di Cimareme, Garut, Jawa Barat.

Andaikan saja Muso tidak ke Surabaya, andaikan tak terpana dengan Sneevliet, andaikan ia tetap dalam Sarikat Islam dan mengamalkan ajaran Islam dengan baik, tentu puisi keji di atas tak akan lahir. Barangkali, jika Muso tidak terpana dengan komunisme, mungkin dia akan menjadi Kiai. Mungkin, pembantaian Madiun itu tak akan pernah terjadi. (Ayat-Ayat Yang Disembelih ; Sejarah Banjir Darah Para Kiai, Santri, Dan Penjaga NKRI Oleh Aksi-Aksi PKI. Penerbit JAGAT Publishing, Hal. 109-114).

Pemaparan singkat di atas setidaknya dapat memberikan gambaran bagi kita mengenai genealogi kekerasan dalam gen para kaum komunis di berbagai negara tidak terkecuali di Indonesia. Berbagai data kekejaman kaum Merah sudah sangat jelas terpampang di depan mata. Penyangkalan demi penyangkalan oleh beberapa pihak tentu menjadi absurd ketika dihadapkan dengan deretan data tersebut.

Apa yang bisa kita petik adalah ajaran penistaan kepada agama adalah ciri khas ajaran Komunisme dan kekerasan berdarah dengan menghalalkan nyawa manusia adalah tradisi khas mereka. Dan hal ini telah terbukti nyata di Republik ini. Melakukan penistaan kepada agama dan pembunuhan kepada tokoh agama (Ulama) adalah salah satu keahlian mereka, bukan keahlian orang gila seperti yang belakangan selalu diwartakan media.

Dan pelajaran kedua adalah bahayanya berkawan dengan orang yang berpaham sesat karena bisa mengakibatkan pemahaman dan agama seseorang bisa berubah.(/kajian/oase-iman/read/2021/05/03/207463/terdidik-teman-duduk.html).

Dan Muso adalah salah satu contoh nyata bagaimana seorang santri dan anak Kiai bisa berubah haluan menjadi penjagal terbesar kaum santri dan Kiai dalam sejarah Indonesia. Semoga generasi hari ini bisa mengambil pelajaran besar dari sejarah kelam kaum merah tersebut agar kisah mereka tidak terulang kembali di negeri ini. Wallahu A’lam Bis Showab.

Peminat Sejarah

Rep: Admin Hidcom
Editor: Bambang S

No comments: