Muhammadiyah: Mr Kasman Singodimejo Sosok Pemersatu Bangsa


 Sosok tokoh Mr Kasman Singodimedjo jelas tak boleh dilupakan bangsa Indonesia. Melalui jasa dialah bangsa Indonesia bisa bersatu dengan membuktikan bahwa umat Islam itulah yang justru berjasa besar dalam mempersatukan bangsa.

Bahkan, seperti dikatakan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nasir, jejak yang sangat penting dalam sejarah konstitusi Indonesia 18 Agustus 1945 dari MR Kasman ialah menjadi mediator Soekarno-Hatta dengan Ki Bagus Hadikusumo  dalam kompromi dasar Pancasila.

''Setelah proklamasi dikumandangkan, pada sore dan malam harinya, beliau bersilaturahmi dan menyakinkan Ki Bagus tentang pentingnya kompromi dan keberatan kelompok timur Indonesia mengenai tujuh kata dalam Piagam Jakarta,'' kata Hader Nasir, dalam kata pengantarnya dalam diskusi buku mengenai sosok Kasman Singodimedjo, di Jakarta Selasa (22/12).

Dan, setelah kemudian berdiskusi mendalam akhirnya Ki Bagus bersedia mencoret tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Ia pun kemudian memberikan syarat agar tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu diganti dengan rumusan yang kemudian menjadi sila pertama Pancasila, yakni Ketuhanan Yang Masa Esa,'' kata Hader Nasir.

Atas jasa abadi MR Kasman, maka Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (FISIP UMJ) meresmikansalah satu gedung pertemuannya dengan nama: Auditorium Mr Kasman Singodimedjo.

"Dipilihnya nama Kasman Singodimedjo adalah bentuk apresiasi UMJ untuk menghormasi pengorbanan dan perjuangan tokoh Muhammadiyah dalam sejarah persatuan Indonesia,'' kata Dekan Direktur PSIP FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Dr. Ma'mun Murod Al-Barbasy, M.Si.

Bukan hanya itu, lanjut Makmud, sosok MR Kasman adalah politisi paket lengkap. Dia selain politisi, juga merupakan salah satu pendiri TNI dengan pangkat terakhir mayor jendral. selain itu juga Ketua KNIP, yang sekarang MPR RI/DPR.

"Beliau juga pernah menjabat sebagai jaksa agung, pernah menjabat di kementerian pertahanan, beliau juga pernah menjadi rektor UMJ. Beliau juga tokoh muhammadiyah yang mampu memposisikan politik dan agama dengan proporsi yang ideal," jelas Ma'mun seraya menyatakan peresmian nama Auditorum MR Kasman juga dibarengi dengan diskusi buku autobiografinya: Hidup itu berjuang, Kasman Singodimedjo 116 tahun.

Memang, ungkap Makmun, sosok Kasman Singodimedjo,  tidak sepopuler nama pahlawan-pahlawan nasional lainnya. Menyadari akan hal itu pemberian nama Kasman Singodimedjo sebagai nama auditorium FISIP adalah sebagai upaya UMJ untuk mengangkat dan mensosialisasikan perjuangan para tokoh pahlawan nasional Muhammadiyah yang belum banyak diketahui publik.

"Khusus untuk buku 'Hidup itu Berjuang' maka edisi ini sebenarnya edisi yang baru. Buku ini pertama kali dicetak 1982 dan kami putuskan dicetak ulang pada 2020, atau 38 tahun setelah cetakan pertama."

"Buku ini kami terbitkan kembali dengan harapan agar buku ini dapat dibaca oleh seluruh politisi, dan nantinya buku ini akan dibagikan ke setiap anggota DPR," sambungnya.

Rektor UMJ Prof Syaiful Bakhri mengatakan, riwayat hidup Kasman Singodimedjo memang merupakan tauladan yang penting dipelajari dan dicontoh oleh generasi milenial dalam memahami politik dan agama.

"Riwayat perjalanan hidup Pak Kasman sangat penting dipelajari dan diteladani oleh kaum milenial, karena beliau adalah sosok yang sangat memperjuangkan keadilan dari perspektif Alquran dan hadits dan ini sangat luar biasa menginspirasi," ujarnya.

Kasman Singodimedjo merupakan sosok yang sangat berperan dalam masa depan Indonesia, terlebih saat detik-detik penetapan Pancasila. Seperti yang ditulis dalam autobiografi Muhammad Hatta: Memoir (1979), diceritakan bahwa pada 17 Agustus 1945 pagi, seorang opsir Angkatan Laut Jepang (Kaigun), yang berkuasa di wilayah Indonesia timur plus Kalimantan, datang menemui Bung Hatta.

“Opsir itu, yang aku lupa namanya, datang sebagai utusan Kaigun untuk memberitahukan sungguh, bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik, yang (tinggal di wilayah yang) dikuasai Kaigun, berkeberatan sangat terhadap bagian kalimat dalam pembukaan Undang-undang Dasar, yang berbunyi: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” tulis Bung Hatta.

Tujuh kata yang disusun oleh Panitia Sembilan, bentukan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang dikenal sebagai Piagam Jakarta itu dianggap sensitif dan menusuk hati orang-orang Indonesia nonmuslim. “Akibatnya mungkin besar, terutama terhadap agama lain [….] kalimat ini bisa juga menimbulkan kekacauan...,” protes Johannes Latuharhary, dikutip dalam Piagam Jakarta 22 Juni (1981).

Esok harinya, 18 Agustus—tepat hari ke-10 bulan Ramadan 1364 H, Kasman Singodimedjo diminta Sukarno datang untuk membicarakan masalah itu dengan Hatta dan beberapa tokoh lain. Kasman adalah tokoh Islam dari Muhammadiyah. Dalam buku tentang dirinya, Hidup Itu Berjuang: Kasman Singodimedjo 75 Tahun (1982), Kasman berkata bahwa bukan Sukarno yang pagi itu datang untuk bicara dengan dia, melainkan Hatta dan Mr. Teuku Mohammad Hasan.

Sebelum Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dimulai, Hatta dan beberapa tokoh Islam melakukan pembicaraan terbatas. Hatta mengajak Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo dan Teuku Hasan dari Sumatera mengadakan rapat pendahuluan untuk membicarakan masalah itu.

“Ingin sekali mempertahankan Piagam Jakarta sebagai unit secara utuh, tanpa pencoretan atau penghapusan dari tujuh kata termaksud [….] tetapi saya pun tidak dapat memungkiri untuk menghilangkan, (karena) adanya situasi darurat dan terjepit sekali itu,” ujar Kasman dalam bukunya.

Meski alot, setelah rapat selama 15 menit, tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu pun dihapus, dengan alasan dominan bahwa Republik Indonesia harus berdiri dengan menyertakawan kawasan Indonesia timur. “Perubahan yang disetujui lima orang tadi, sebelum rapat resmi, disetujui oleh sidang lengkap PPKI dengan suara bulat. Sesudah itu dipersoalkan Undang-undang Dasar yang seluruhnya, dengan mengadakan sedikit perubahan sana-sini yang tidak prinsipil,” tulis Hatta.

Ancaman tentara Sekutu kala itu membuat Kasman setuju sila pertama itu diubah. Sebagai perwira PETA, Kasman sadar bahwa kekuatan persenjataan Indonesia tidak mumpuni menghadapi Sekutu.

"Kala itu para tokoh Islam pun sadar sekali pisahnya Indonesia timur sama saja memperlemah Republik Indonesia yang baru berumur sehari. Maka kemudian dikenal perubahan pada sila pertama itu, seperti yang kita kenal sekarang, berbunyi "Ketuhanan yang Maha Esa" dan menjadi landasan pokok untuk seterusnya bagi Republik Indonesia.

No comments: