Waspadalah Ketika Umat Jauh dari Masjid

Shalat Jumat dengan jumlah terbatas di Malaysia (Sinar Harian)

Dengan kejadian terkahir ini, apakah benar dengan banyaknya dugaan yang dirasakan masyarakat bahwa sedang terjadi by desain pelemahan umat Islam
Hijrah Rasulullah ﷺ ke Madinah adalah sebuah titik balik (turning point) sejarah Islam. Dari titik inilah Rasulullah bersama shahabatnya mulai membangun sistem kehidupan Islami yang berlandaskan pada nilai-nilai ketauhidan. Bangunan masyarakat Madinah  yang disebut Peradaban Islam Madinah adalah misi yang tertunda selama 13 tahun di Makkah. Yatsrib, tempat hijrah Rasulullah, yang kemudian berubah menjadi Madinah, akhirnya hadir sebagai kota suci, kota nabi, tempat terbitnya fajar baru yang memancarkan cahaya kebenaran ke seluruh jagat raya.

Rancang bangun peradaban Islam Madinah diawali dengan sebuah bangunan bernama ‘Masjid’, sebagai tempat menumbuhkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, (QS. At Taubah:18). Rasulullah ﷺ juga mempersaksikan bahwa para pemakmur masjid adalah orang-orang yang dijamin keimanannya, dengan sabdanya yang masyhur

إِذَا رَأَيْتُمُ الرَّجُلَ يَعْتَادُ الْمَسَاجِدَ فَاشْهَدُوا لَهُ بِالإِيمَانِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى (إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ) الآيَةَ

“Apabila kalian melihat seseorang biasa ke masjid, maka saksikanlah bahwa ia beriman. Allah Ta’ala berfirman, Orang yang memakmurkan masjid-masjid Allah adalah orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir.”  (HR. Ibnu Majah & Tirmidzi).

Buya Hamka mengungkapkan, bahwa pokok urusan Rasulullah  ﷺ di Madinah adalah membangun jama’ah kaum muslimin. Pokok urusan terbangunnya  jama’ah adalah pertemuan yang disusun oleh kewajiban beragama, shalat lima waktu berjama’ah di masjid.  Dalam shalat berjama’ah, hati anggota jama’ah dapat disamakan tujuannya, yaitu langsung kepada Allah SWT. Lima kali sehari ke masjid adalah mengarahkan jama’ah pada kebaikan tujuan, kebaikan pada pergaulan, kebaikan pada tetangga dan bertetamu. Duduk bersama sehabis shalat ada musyawarah tentang kebaikan dan kemaslahatan Umat Islam, (Hamka, 2018/96).

Syeikh Shafiyyur Rahman Al Mubarakfury mengungkapan, bahwa masjid yang dibangun Rasulullah bukan sekedar tempat untuk melaksanakan shalat berjama’ah semata, tapi juga  merupakan tempat sekolahan bagi kaum muslimin, sebagai balai pertemuan untuk mempertemukan berbagai unsur kekabilahan dan sisa-sisa pengaruh perselisihan di masa jahiliyah, sebagai tempat untuk mengatur segala urusan, sekaligus sebagai gedung parlemen untuk bermusyawarah dan menjalankan roda pemerintahan.  (Shirah Nabawiyah, Syaifur Rahman Al Mubarakfury).

Sangat nampak bahwa mulai urusan ibadah sampai urusan-urusan menyangkut politik dan pemerintahan,  sejatinya adalah  urusan yang terintegrasi dengan masjid. Karena pada realitasnya, tidak ada tempat lain bagi nabi mengkonsolidasi umat Islam selain masjid, kecuali kalau dalam perjalanan perang. Ekstrimnya, nabi hanya memiliki dua ruang transformasi publik, yaitu masjid dan medan perang.

Syeikh Yusuf Al Qardhawi, menyampaikan bahwa politik telah menyatu dengan masjid khususnya pada masa keemasan Islam. Umat Islam mengalami kemunduran ketika politik dipisahkan dari masjid. (Menyatukan Pikiran Para Pejuang Islam, Yusuf Qardlawi, Gema Insani Press). Artinya, Umat Islam mengalami kemunduran ketika para pemimpin dan urusan keumatan tidak berpusat masjid.

Begitulah peran sentral masjid masa Nubuwah dan Khalifah Rasyidah. Tidak berubah dari mulai umat Islam berjumlah sedikit  di Madinah, sampai tunduknya Kerajaan Persia dan Romawi ke pangkuan Islam. Bahwa meluasnya wilayah kepemimpinan umat Islam, pusat kendalinya tetap di Masjid Nabawi.

Ketika ada pertanyaan, kenapa umat Islam hari ini tertinggal dan termarjinalkan. Salah satu jawabannya, karena umat Islam jauh dari masjid. Sama sekali tidak bisa dibandingkan para pemimpin (Islam) hari ini dengan nabi yang fisik dan jiwanya ada di masjid.

Shalat berjama’ah di masjid bagi Kaum Muslimin pun belum menjadi sebuah kekuatan. Tinjauannya terbatas pendekatan fikih, bahwa shalat berjama’ah di masjid hukumnya sunnah, tidak apa-apa kalau dilaksanakan di rumah.

Umat Islam belum tersadarkan bahwa masjid itu adalah pancaran hidayah dan barokah (QS:  Ali Imran : 96), bahwa siapa yang mendatanginya dia dapat hidayah dan berkah di sisi Allah. Masjid adalah tinggal landas dan tempat take off menuju ke hadirat Allah (QS: Israa : 1). Dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, kemudian mi’raj ke Shidratul Muntaha. Bukan tempat yang lain.

Dengan shalat berjama’ah, umat Islam terpimpin dalam satu komando. Dengan  shaff  yang rapat, ada energi spiritual yang menyatu di tengah jama’ah. Dengan intensitas pertemuan, konsolidasi sosial dan jihad mudah dilakukan. Dan momen shalat berjama’ah adalah bentuk pendidikan integritas, bahwa ketika ada  yang keluar angin atau kena najis, dia minggir. Termasuk imam shalat sebagai pemimpin, harus mundur ketika wudhunya sudah batal, meskipun tidak ada jama’ah mengetahuinya.

Nilai-nilai itulah yang menjadikan masjid begitu urgen di tengah kehidupan Umat Islam. Sampai kemudian Rasulullah ﷺ mengancam bagi orang yang tidak shalat berjama’ah di masjid akan mendatanginya untuk membakar rumahnya. Karena sebuah keyakinan, ketika umat jauh dari masjid, umat Islam akan tercabut dari peradabannya, dan menjadi umat yang lemah.

Allah SWT berfirman melalui lisan Rasulullah ﷺ “Demi kemuliaan dan keagunganku, sesungguhnya Aku bermaksud akan menurunkan siksaan kepada penduduk bumi, tetapi ketika Aku melihat penghuninya sedang memakmurkan rumahku (masjid), saling mengasihi sesamanya karena Aku, selalu melakukan istigfar di waktu sahur, Aku palingkan siksaan itu dari mereka.”

Menurut pendapat penulis pribadi, adalah sebuah masalah besar, ketika pandemi berlangsung arahnya menutup masjid. Dengan dalih menjaga jiwa lebih penting dari shalat jama’ah. Shalat jama’ah itu sunnah, bisa dilaksanakan di rumah. Sekali lagi secara fikih tidak masalah, namun lupa bahwa menjauhkan umat Islam dari masjid bisa mencabut umat dari peradabannya, merenggangkan ikatan spirtualnya, dan yang lebih pasti adalah  menjadikan umat akan berjalan sendiri-sendiri, tanpa sebuah kepemimpinan.

Semua sepakat Covid.19 berbahaya, harus diputus rantai penularannya. Dengan Protokol Kesehatan, sesungguhnya masjid-lah yang paling bisa mempraktekkan ini.

Semua orang yang datang ke masjid adalah orang-orang yang sudah suci dari kotoran, teratur, terpimpin, dan durasinya singkat. Dibanding mereka yang ke pasar, orang-orang yang tetap berkerumun di bandara dan terminal, yang sangat rentan terjadi penularan.

Umat yang Islam sabar menunggu, rela shalat tarawih 1 bulan di rumah, dengan harapan bisa shalat Idul Fitri bersama-sama di masjid dan lapangan. Sayangnya, hal ini seperti mimpi buruk di siang bolong. Tiba-tiba terbit peraturan tidak boleh shalat Idul Fitri berjama’ah di lapangan dan di masjid. Ini juga berlaku sampai di daerah terpencil yang belum tahu namanya Covid.19.

Saya sudah mengakhiri tulisan ini dengan tetap berharap ada penguatan himbauan MUI Pusat untuk bisa shalat jama’ah dan shalat Id di masjid. Namun bathin ini tiba-tiba kembali resah, melihat mal ramai bahkan ada konser dari elit-elit negara.

Dengan kejadian terkahir ini, apakah benar dengan banyaknya dugaan yang dirasakan masyarakat bahwa sedang terjadi by desain pelemahan umat Islam, yang lebih dahsyat bahayanya dari Covi.19. Wallahu a’lam.*

Penulis tinggal di Jakarta

No comments: