Aji Mumpung di Tanah Haram

Keistimewaan Tanah Suci itulah magnet utama mahasiswa UIM ini rela jauh-jauh meninggalkan kampungnya di pesisir pantai nan indah di Tanjung Jumlai, PPU, Kalimantan Timur. Aji Mumpung di Tanah Haram
[Ilustrasi] Masjid Nabawi di Madinah.

FURQON, panggilan akrab pria beristri itu, memilih tak pulang kampung pada musim mudik di penghujung Ramadhan menjelang Syawal tahun 1440 Hijriyah ini.
Bukan karena harga tiket pesawat di dalam negeri Indonesia yang naik drastis berlipat-lipat sejak beberapa bulan belakangan ini. Bukan pula karena ia tak rindu kampung halaman.
Justru, istrinya yang baru dinikahi dua tahun lalu, tentu telah sangat menanti kedatangannya di rumah.
Furqon tak segera mudik karena memanfaatkan kesempatan tinggal di domisili sementaranya saat ini. Tempat ini begitu spesial, salah satu dari tiga tempat yang sangat diistimewakan dalam agama Islam.
Ya, tempat tersebut adalah Tanah Suci, lebih tepatnya Madinah Al-Munawwarah.
Sudah sekitar empat tahun, Furqon, bukan nama resminya, berjihad sebagai penuntut ilmu di Arab Saudi. Santri kelahiran Tanah Papua ini lulus dari Universitas Islam Madinah (UIM) pada 1 Ramadhan 1440 H lalu. Meski sudah sekitar sebulan berstatus alumnus, namun ia tak segera pulang. Aji mumpung masih di sini.
Di samping demi mengurus administrasinya mengakhiri masa belajarnya di Madinah, ia juga sangat betah tinggal di kota penuh berkah tersebut. Apalagi, ia ingin memanfaatkan waktu-waktu istimewa bulan suci Ramadhan di kota istimewa ini.
Ane (saya) kan sudah lulus nih, jadi mesti ngurus ijazah, legalisir, final exit visa, dan lain-lain. Nah kantor itu buka pertengahan Syawal,” jelasnya di Madinah  dalam bincang-bincang ringan pada suasana lebaran Idul Fitri 1440H, 2 Syawal, Kamis (06/06/2019).
Sudah jamak diketahui bahwa dua Tanah Haram, الحرمين الشريفين, baik Makkah Al-Mukarramah maupun Madinah Al-Munawwarah, adalah dua tempat yang sangat dimuliakan dalam Islam, selain Baitul Maqdis yang masih dijajah Zionis-‘Israel’ tentunya.
Keistimewaan Tanah Suci itulah magnet utama Furqon rela jauh-jauh meninggalkan kampungnya di pesisir pantai nan indah di Tanjung Jumlai, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur.
Apalagi, kelulusan dia dari UIM bertepatan bulan suci Ramadhan. Tentu eman-eman kalau meninggalkan Tempat Suci di Bulan Suci penuh ampunan itu.
Sudah tak terbilang rasanya kebaikan demi kebaikan, keistimewaan demi keistimewaan, keberkahan demi keberkahan, yang ia cicipi di Madinah maupun Makkah, secara khusus pada Ramadhan 1440H lalu. Kesannya begitu mendalam, seakan enggan meninggalkannya, sebagaimana banyak dirasakan rekan-rekannya sesama penuntut ilmu di UIM.
“Yang paling berkesan adalah di Kota Suci ini kita mampu merasakan bahwasanya bulan Ramadhan ini adalah benar-benar musim kebaikan bagi kaum Muslimin. Baik bagi penduduk Saudi sendiri ataupun kaum Muslimin yang datang dari berbagai penjuru dunia. Kita melihat antusias mereka di dalam beribadah, shalat tarawih, membaca Al-Qur’an, dan ibadah-ibadah yang lainnya,” tutur alumnus UIM jurusan syariah yang juga jebolan Ma’had Aly Ar-Raayah Sukabumi, Jawa Barat, ini.
Momen lain yang sangat berkesan juga baginya adalah saat berbuka puasa bersama di Masjid Nabawi. Dimana sangat ia rasakan sekali bahwa Ramadhan merupakan bulan saat orang berlomba-lomba memberi makanan.
“Semua pelataran Masjid Nabawi dipenuhi dengan menu buka puasa. Dari bakda ashar aja persiapannya sudah terasa sekali,” tutur santri lulusan Madrasah Aliyah Raadhiyatan Mardhiyyah Putra Balikpapan ini.
Di Masjid Nabawi, banyak pihak yang berlomba-lomba menghidangkan bukaan puasa untuk jamaah lainnya. Mereka mempersiapkan ‘teritorial’ masing-masing dengan menghamparkan karpet. Di atas karpet itu, dibentangkan plastik berukuran 50 centimeter sebagai alas makanan, dibuat memanjang seperti shaf shalat.
“Di atasnya ditaruh menu buka puasa; air mineral, kemudian kurma, roti, buah-buahan,” tuturnya.
Itu menu di dalam ruang utama masjid. Menu dirasa lebih istimewa terhidang di bagian luar, tepatnya di pelataran masjid. “Spesialnya kalau di luar, di pelataran Masjid Nabawi, itu ada menu nasinya. Jadi ada makanan beratnya. Kalau di dalam Masjid Nabawi tidak ada nasinya,” tuturnya.
Furqon juga terkesan dengan mereka yang berlomba-lomba memanggil para jamaah agar mau bergabung berbuka puasa bersama. Misalnya, saat jamaah datang dari luar pagar Masjid Nabawi, begitu masuk, sudah banyak orang yang langsung menggandeng jamaah tadi masuk ke dalam Masjid Nabawi, untuk diikutkan di area berbuka puasa mereka.
“Ta’al ya Hajj, ya Hajj!” begitu mereka memanggil dan mengajak jamaah ditirukan Furqon.
Saat jelang berbuka puasa selama Ramadhan itu pun, semua area Masjid Nabawi dipenuhi hidangan berbuka puasa bersama. “(Kita) tinggal milih saja,” tuturnya.


Suasana jelang berbuka puasa bersama di Masjid Nabawi, Madinah, Ramadhan 1440H (06/05/2019). [Foto: Mujahid

Bahkan bukan cuma di Masjid Nabawi. Di jalan-jalan pada radius sekitar 100 meter dari masjid pun, tuturnya, juga banyak orang-orang baik yang menyediakan bukaan puasa secara gratisan.

Penyedia buka puasa itu bukan cuma warga Arab Saudi. “Ada juga penyelenggara ifthar itu yang datang dari luar negeri, kayak misalnya orang-orang Turki.” Orang asing ini katanya mengumpulkan dana sebelumnya, lalu menyalurkannya ke dalam bentuk bukaan puasa untuk jamaah di sekitar Masjid Nabawi.
Betah Berlama-lama
Musim kebaikan di Tanah Suci bukan cuma urusan lambung. Yang lebih penting dari itu adalah keistimewaan beribadah di Tanah Haram ini. Begitulah yang turut dirasakan Furqon selama ini, lebih spesial lagi saat Ramadhan.
Memasuki masa-masa iktikaf, suasana di Masjid Nabawi agak berbeda. Saat memasuki 10 hari ketiga Ramadhan, di Masjid Nabawi digelar shalat tahajud berjamaah. Sementara pada 20 hari pertama hanya digelar shalat tarawih berjamaah.
“Kalau secara umum sebenarnya 10 hari terakhir di sini sama seperti hari-hari Ramadhan sebelumnya, 20 hari pertama. Cuma ada sedikit berbeda adalah ada shalat tahajud di 10 malam terakhir. Kalau di 20 malam pertama itu hanya shalat tarawih bakda isya dengan witir,” tuturnya.
Pada 10 hari terakhir, shalat tarawih tetap digelar sebanyak 20 rakaat tapi tanpa witir. Kemudian dilanjutkan dengan shalat tahajud 10 rakaat dan witir pada pukul 00.45 hingga 02.30 waktu Arab Saudi. Banyaknya peserta iktikaf yang berdiam diri di masjid juga menjadi pembeda.
“Para peserta iktikaf mereka ditempatkan di roof top, Masjid Nabawi bagian atas, di atap,” sebutnya.
Masjid Nabawi secara keseluruhan mampu menampung satu juta jamaah. Lantai dasar Masjid Nabawi yang seluas 98.300 meter persegi memiliki kapasitas 140.000 jamaah. Sedangkan pada lantai atas (roof top) yang seluas 67.000 meter persegi berkapasitas 96.000 jamaah. Sedangkan pelataran masjid, yang luasnya 341.000 meter persegi, kapasitas 487.000 jamaah.
“Jumlah keseluruhan 1.000.000 (jamaah),” info resmi dari Dirjen Dua Tanah Suci dikutip pada Senin (03/06/2019).
Jamaah begitu membludak memenuhi Masjid Nabawi saat Ramadhan, nyaris 100 persen area masjid dipenuhi jamaah dari berbagai negara, termasuk jamaah umrah.
Pada tanggal 28 Ramadhan 1440H, jumlah jamaah sampai dalam masjid 100 persen terisi jamaah, di pelataran 95 persen, dan di roof top 55 persen, berdasarkan info resmi dari otoritas Kerajaan Arab Saudi yang mengurus Masjid Nabawi.
Sementara itu, pada malam pengkhataman Al-Qur’an di Masjid Nabawi, 29 Ramadhan 1440H, jamaah mencapai lebih dari satu juta orang, laporan Saudi Gazette.
Total lebih dari tiga juta jamaah, termasuk peziarah dan jamaah umrah, mengikuti shalat tarawih pada malam pengkhataman Al-Qur’an, hari Ahad (02/06/2019) malam ke-29 bulan suci Ramadhan 1440H/2019M, di masjid-masjid suci di Makkah dan Madinah.
Suasana sakral dalam beribadah di Masjid Nabawi itulah yang betul-betul membuat banyak warga negara Indonesia betah berlama-lama di Tanah Suci, termasuk Furqon. Apalagi, ia berkesempatan pergi berhaji dan berumrah di Masjidil Haram dengan cukup mudah. Ini juga keistimewaan tersendiri bagi mahasiswa UIM yang diberikan oleh Pelayan Dua Tanah Suci, Kerajaan Arab Saudi.
Bahkan sudah jadi rahasia umum banyak WNI yang sengaja berlama-lama di sana demi mendapatkan seabrek kemuliaan di Tanah Suci, sampai-sampai, berdasarkan cerita yang pernah dituturkan kepada , salah seorang WNI pernah rela kehabisan masa berlaku izin tinggalnya di Saudi demi kemudahan beribadah di sana. Sudah lumrah diketahui pula jika ada WNI yang pergi haji secara backpacker-an.
Furqon sendiri mengakui jika keinginannya untuk tinggal lebih lama di Tanah Suci cukup besar. Namun, berhubung masa studinya sudah selesai, dan umat di tanah air Indonesia sudah menanti kiprahnya, ia sudah harus balik kanan, terjun ke gelanggang pengabdian, mengamalkan dan mengajarkan lembaran demi lembaran ilmu agama yang diraupnya di para masyaikh.
Sambil bercanda, pria ramah yang gemar berguyon ini pun berkelakar, kalau saja belum menikah, ia akan bertahan lebih lama di Tanah Suci.*

No comments: