Sejarah Nanggroe Atjeh Darussalam (22)

73469828

Indonesianis AS yang kritis, Prof. Jeffrey Winters diangkat sebagai promotornya. Indonesianis asal Australia, John Pilger, menulis buku dan mengutip hasil penelitian yang telah dilakukan Brad Sampson di atas.
Dalam bukunya, John Pilger menulis bahwa dalam bulan November 1967, beberapa bulan setelah Soeharto diangkat menjadi Presiden RI setelah menumbangkan Bung Karno, maka Suharto mengirim satu delegasi tim ekonomi Orde Baru yang dipimpin Sultan Hamengkubuwono IX ke Jenewa, Swiss, untuk menghadap “Sang Majikan” yang terdiri dari pengusaha raksasa Yahudi, gabungan dari kapitalis-imperialis, seperti John Rockefeller dan lainnya.
“The Time Life Corporation mensponsori konferensi istimewa itu yang berlangsung selama tiga hari membahas strategi pengambil-alihan kekayaan alam dan sumber daya manusia Indonesia. Semua raksasa korporasi Barat diwakili perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Asian Development Bank, Chase Manhattan, dan sebagainya.”[1]
Di seberang meja, duduk orang-orang Soeharto yang oleh Rockefeller dan pengusaha-pengusaha Yahudi lainnya disebut sebagai ‘ekonom-ekonom Indonesia yang korup’. “Di Jenewa, Tim Indonesia terkenal dengan sebutan ‘The Berkeley Mafia’ karena beberapa di antaranya pernah menikmati beasiswa dari pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di Universitas California di Berkeley.
Mereka datang sebagai peminta-minta yang menyuarakan hal-hal yang diinginkan oleh para majikannya yang hadir. Menyodorkan butir-butir yang dijual dari negara dan bangsanya. Tim Ekonomi Indonesia menawarkan: tenaga buruh yang banyak dan murah, cadangan dan sumber daya alam yang melimpah, dan pasar yang besar.”[2]
Masih dalam kutipan John Pilger, “Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi sektor demi sektor.”[3] Prof. Jeffrey Winters menyebutnya ini dilakukan dengan cara yang amat spektakuler.

hr>
kawah-freeport

“Mereka membaginya dalam lima seksi: pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di kamar satunya, perbankan dan keuangan di kamar yang lain lagi; yang dilakukan oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para investor lainnya. Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling dari satu meja ke meja lainnya, mengatakan, ‘Ini yang kami inginkan, itu yang kami inginkan, ini, ini, dan ini.’ Dan mereka pada dasarnya merancang infrastruktur hukum untuk berinvestasi. Tentunya produk hukum yang sangat menguntungkan mereka. Saya tidak pernah mendengar situasi seperti itu sebelumnya, di mana modal global duduk dengan wakil dari negara yang diasumsikan sebagai negara berdaulat dan merancang persyaratan buat masuknya investasi mereka ke dalam negaranya sendiri.”
Freeport mendapatkan gunung tembaga di Papua Barat (Henry Kissinger, pengusaha Yahudi AS, duduk dalam Dewan Komisaris). Sebuah konsorsium Eropa mendapatkan Nikel di Papua Barat. Sang raksasa Alcoa mendapatkan bagian terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan Amerika, Jepang, dan Perancis mendapatkan hutan-hutan tropis di Kalimantan, Sumatera, dan Papua Barat., termasuk dengan kandungan kekayaan di perut buminya.
Sebuah undang-undang tentang penanaman modal asing yang dengan terburu-buru disodorkan kepada Presiden Soeharto membuat perampokan negara yang direstui pemerintah itu bebas pajak untuk lima tahun lamanya. Selama itu pula rakyat terus menerus dibohongi dengan idiom-idiom bagus tentang pembangunan, Pancasila, dan trickle down effect terhadap peningkatan kesejahteraannya. Namun yang terjadi di lapangan sesungguhnya adalah pemiskinan (baca: pembunuhan) rakyat secara terstruktur dan sistematis yang dilakukan oleh negara.
Nyata tapi secara rahasia, kendali ekonomi Indonesia sesungguhnya telah pergi ke Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI), yang anggota-anggota intinya adalah negara Amerika Serikat, Kanada, Eropa, Australia, serta World Bank dan IMF (International Monetery Fund). Lagi-lagi komplotan Zionis Internasional.
Pergantian dari Soekarno ke Suharto bagi rakyat Aceh sama sekali tidak membawa kebaikan apa pun. Dayah-dayah dan meunasah-meunasah yang rusak, rumah penduduk yang tinggal menunggu kehancuran atau rubuh, semuanya tidak berubah. Pemerintah pusat sama sekali tidak melakukan perbaikan apa-apa terhadap kehidupan rakyat Aceh. Yang dilakukan rezim Suharto—dengan sokongan penuh dari Golkar, ABRI, dan CSIS—adalah mengeruk dan menyedot seluruh kekayaan alam Aceh untuk di bawa ke Jakarta.
Bila ada rakyat Aceh yang berani bersuara sedikit saja, maka dipastikan ia akan hilang untuk beberapa hari dan kemudian ketika ditemukan maka ia sudah menjadi mayat yang membusuk. Jakarta tidak pernah mengirim apa pun ke Aceh selain mengirim ribuan tentara siap perang.
Dalam periode awal Orde Baru ini, Suharto yang menganut kejawenisme menciptakan suatu pemerintahan diktatorial yang disokong oleh tiga kekuatan: Golkar sebagai mesin buldoser di bidang sosial politik, ABRI sebagai pengawalnya yang siap diperintahkan apa saja demi mengamankan kekuasaannya dengan dalih menjaga stabilitas negara, dan CSIS (Center of Study Information Strategy) sebagai lembaga pemikiran dan pengkajian pemerintahannya (lembaga think-thank).
Soeharto-Benny-Moerdani-jpeg.image_Orang-orang yang sangat anti Islam banyak diangkat menjadi pejabat negara, sebut saja Ali Moertopo yang juga kejawen (Kopkamtib), Leonardus Benny Moerdani yang sangat membenci Islam (Menhankam Pangab), lalu ada pula “Trio RMS” yang semuanya Kristen yang menguasai dan mengatur sistem perekonomian dan keuangan negara, mereka adalah Radius Prawiro (Katolik saudara Ibu Tien Suharto), Adrianus Mooy (Katolik), dan JB. Sumarlin (Katolik), dan sebagainya.
Di masa-masa merekalah rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim senantiasa dalam keadaan tertindas. Jilbab merupakan barang sangat langka di masa itu.
Salah seorang jenderal yang di masa kepemimpinan Leonardus Benny Murdany masih menjadi perwira menengah pernah bercerita kepada penulis, “Di Mabes ABRI tidak ada itu yang namanya sajadah tersampir di kursi atau di dinding. Benny sangat marah jika melihat ada sajadah di lingkungan markas besar.
Bahkan kurikulum latihan untuk para taruna dan juga prajurit dibuat sedemikian rupa sehingga mereka tidak bisa menunaikan sholat wajib. Inilah sebagian kecil kenyataan yang ada di zaman Benny.”[4]
Di mana-mana umat Islam diburu dan dibantai. Rakyat Aceh dibiarkan dalam kesengsaraan dan kemiskinan. Ini merupakan strategi pelemahan rakyat Aceh khususnya dan Muslim Indonesia pada umumnya, yang dilakukan negaranya sendiri terhadap rakyatnya.
Selama masa kekuasaan Orde Baru 32 tahun lamanya, rakyat Aceh selalu dalam keadaan ketakutan karena perang berkepanjangan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) melawan ABRI yang dikirim oleh Jakarta. Berbagai peristiwa yang memilukan hati menimpa rakyat Aceh yang sebenarnya tidak tahu apa-apa. Ini terjadi puluhan tahun.
Sudah terlalu banyak literatur yang menggambarkan betapa diskriminasinya Rezim Orde Baru di masa-masa awal terhadap umat Islam. Di satu sisi, di dalam periode ini, kaum minoritas atas restu Suharto memegang banyak posisi kunci di negeri ini. Kita tidak akan banyak menyinggung hal ini. Arah politik Suharto baru berubah dengan mengakomodasi aspirasi umat Islam di tahun 1980-an. Saat itu dikenal sebagai periode “Ijo Royo-Royo” baik di kabinet pemerintahan, maupun di lingkungan ABRI, sehingga—walau ini tidak seluruhnya benar—ada istilah “ABRI Hijau” dengan “ABRI Merah”.
Perubahan arah politik Suharto ini tidak menyenangkan kubu minoritas yang dahulu sangat dimanjanya. Sejak itu, dengan segala kekuatan dana dan media yang dimiliki, kubu minoritas ini selalu menggoyang dan menggerogoti kinerja Rezim Suharto yang memang sudah bobrok sejak lama. Akibatnya Rezim Suharto pun tumbang dan digantikan oleh wakilnya, B. J. Habibie yang juga ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Dalam masa pemerintahan Habibie, terasa sekali penentangan dari kubu minoritas terhadap seluruh kinerjanya. (Bersambung/Rizki Ridyasmara)
—————————-
[1] John Pilger: The New Rulers of the World, page.37
[2] Ibid.
[3] Ibid, page.39.
[4] Tokoh ini sekarang sudah tiada, perwira tinggi di Cilangkap ini bertemu penulis di tahun 2001 di Jakarta.

No comments: