Jangan Didik Anakmu Menjadi “Yahudi”!

Orang tualah yang mengirim anak-anak mereka ke Perguruan-perguruan Tinggi yang dengan sistematis mendidik mereka menjadi manusia sekuler-materialis, serakah dunia
Jangan Didik Anakmu Menjadi “Yahudi”!
Dr. Adian Husaini

Tentu, banyak yang hafal sabda Nabi ﷺ berikut ini: “Setiap anak dilahirkan dalam fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR Bukhari).
Peringatan itu sangat penting. Rasulullah ﷺ menekankan peran utama orang tua dalam mendidik anaknya. Apakah ia didik anaknya menjadi muslim, Yahudi, Nasrani, atau Majuzi.
Apalagi, dalam hadits lain, beliau ﷺ pun memberikan peringatan keras: “Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti ‘sunnah’ (tradisi) orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka masuk ke dalam lubang biawak sekali pun kalian pasti akan mengikuti mereka.” Kami bertanya; “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu kaum Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab: “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR Muslim).
Bagaimana bisa orang tua mendidik anaknya menjadi Yahudi (yuhawwidaanihi)? Sedangkan agama Yahudi (Judaisme) bukanlah agama ekspansif. Yahudi adalah agama henoteisme, yang umumnya dianut oleh bangsa itu (Yahudi) saja. Kalau begitu, apa yang perlu dikhawatirkan?
Kita tentu tidak perlu khawatir anak-anak kita pergi ke kantor kelurahan dan mengganti identitas agamanya di KTP menjadi agama Yahudi. Tentu bukan itu maksudnya. Tapi, faktanya, kini kita hidup di satu zaman, dimana dominasi Yahudi dalam dunia pemikiran, politik, ekonomi, dan pendidikan modern sangat kuat.
Seorag pakar psikologi AS bernama Prof. Kevin McDonald, dalam bukunya The Culture of Critique, menyimpulkan bahwa, gerakan intelektual abad ke-20, — yang sebagian besar didirikan dan dipimpin oleh orang-orang Yahudi – ‘have changed European societies in fundamental ways and destroyed the confidence of Western man.”
Jadi, kata Prof. Kevin McDonald, gerakan intelektual Yahudi itu telah menghancurkan rasa percaya diri manusia-manusia Barat. Maknanya, bagi orang Barat saja, tidak mudah untuk menghindarkan diri dari pemikiran dan kelakuan Yahudi.
Bagi kita, kaum Muslim, tentu ingat peringatan Allah SWT: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah ridha kepadamu sampai kamu mengikuti agama mereka.” (QS al-Baqarah: 120).
*****
Kaum Yahudi dan Nasrani telah berhasil mewujudkan peradaban modern, yang dikenal sebagai peradaban Barat (Western Civilization). Samuel Huntington dalam buku terkenalnya The Clash of Civilizations menyebut Christianity sebagai salah satu unsur penting pembentuk identitas peradaban Barat. Ia menulis: “The West differs from other civilizations not in the way it has developed but in the distinctive character of its values and institutions. These include most notably its Christianity, pluralism, individualism, and rule of law, which made it possible for the West to invent modernity, expand throughout the world, and become the envy of other societies.”
Memberikan komentar terhadap QS al-Baqarah: 120, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, dalam bukunya, Risalah untuk Kaum Muslimin, menulis:
“Bukankah di zaman kita ini pun jelas bahawa orang-orang Yahudi dan Kristian – yang keduanya menjelmakan sifat asasi Kebudayaan Barat – memang tiada rela menerima baik seruan Islam dan kaum Muslimin, melainkan kita jua yang dikehendaki mereka mengikut cara agamanya? – menganuti sikap hidup yang berdasarkan semata-mata keutamaan kebendaan, kenegaraan dan keduniaan belaka. Dan agama dijadikannya hanya sebagai alat bagi melayani hawa nafsu. Bukankah Ilmu yang Sebenarnya sudah sampai kepada kita? Maka mengapa pula kita membiarkan sahaja nasib Umat kita dipimpin oleh pemimpin-pemimpin politik, kebudayaan dan ilmu pengetahuan dan juga para ulama yang lemah dan palsu yang sebenarnya tiada sedar bahawa mereka sedang mengekori hawa nafsu Kebudayaan Barat! Mereka membayangi Kebudayaan Barat dalam cara berfikir, dalam sikap beragama, dalam memahami nilai-nilai kebudayaan dan mengelirukan faham serta tujuan ilmu. Kepada Kebudayaan Barat-kah akan kita berlindung, akan kita memohon pertolongan, yang akan dapat mencegah tindak balasan Allah kelak? Waspadalah saudaraku Muslimin sekalian!”
Prof. Naquib al-Attas adalah satu-satunya ilmuwan Muslim yang kritiknya terhadap peradaban Barat dimuat dalam buku berjudul Powerful Ideas, terbitan The Cranlana Program Australia (2002). Prof. al-Attas menekankan, bahwa sifat peradaban yang dibangun kaum Yahudi-Nasrani itu “menganut sikap hidup yang berdasarkan semata-mata (pada) keutamaan kebendaan, kenegaraan dan keduniaan belaka. Dan agama dijadikannya hanya sebagai alat bagi melayani hawa nafsu.”
Al-Quran pun menyebut sifat kaum Yahudi yang hanya mengakui ilmu-ilmu berdasarkan Panca Indera (empiris), sehingga mereka menolak untuk beriman kepada Nabi Musa a.s. sampai mereka melihat Allah dengan terang, dengan mata kepala mereka sendiri (QS al-Baqarah: 55). Juga, al-Quran menggambarkan mereka sebagai kaum yang begitu serakah terhadap kehidupan dunia (QS al-Baqarah: 96).
Sifat-sifat sekulerisme dan materialisme inilah yang menonjol pada tradisi Yahudi, yang kemudian diwujudkan dalam peradaban Barat modern. Tokoh Yahudi bernama Leopold Weiss, yang beralih menjadi cendekiawan Muslim (Muhammad Asad), menulis dalam bukunya, Islam at The Cross Roads, bahwa hakikat peradaban Barat modern adalah “irreligious in its very essence”.
Jadi, peradaban modern ini sejatinya ‘anti agama’. Mereka tidak mau diatur oleh agama, dalam semua aspek kehidupan. Bahkan, kata Prof. al-Attas, manusia modern telah mengangkat diri mereka sebagai Tuhan. Agama hanya dijadikan sebagai alat pemuas hawa nafsunya. Itulah yang terjadi, dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan.
*****
Maka, adalah hal yang tidak wajar, jika dunia pendidikan di Indonesia masih saja menolak agama menjadi dasar keilmuan. Adalah aneh, seorang mahasiswa muslim, boleh lulus dan menjadi sarjana dari UI, ITB, IPB, UGM, Unpad, Unair, dan kampus-kampus lainnya, dalam kondisi tidak tahu mana iman dan mana kufur, tidak melaksanakan shalat lima waktu dengan baik, berakhlak buruk, dan tidak bisa mengaji al-Quran. Tidak ada tes iman, ketaqwaan, dan akhlak, dalam ujian kelulusan. Ini aneh!
Sebab, tujuan Pendidikan Tinggi, menurut UU Pendidikan Tinggi (UU No 12 tahun 2012) adalah pengembangan potensi mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa.
UUD 1945 pasal 31 (c) pun menegaskan: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”
Jadi, merujuk kepada UUD 1945 dan UU Pendidikan Tinggi, aspek iman, taqwa, dan akhlak mulia sepatutnya menjadi tekanan utama proses pendidikan di seluruh Perguruan Tinggi di Indonesia. Allah SWT memberikan peringatan keras dalam al-Quran: “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu lakukan? (Itu) sangatlah dibenci oleh Allah, jika kamu mengatakan apa yang tidak kamu lakukan!” (QS 61:2-3).
Prof. Naquib al-Attas memang sudah menjelaskan bahwa tantangan terberat yang dihadapi oleh kaum Muslimin adalah tantangan ilmu pengetahuan sekuler yang dikonsep oleh Barat. Ilmu yang rusak inilah yang memunculkan kekacauan ilmu (confusion of knowledge), yang berujung pada hilangnya adab (loss of adab) dan ketidakadilan di tengah masyarakat.
Dan, dunia Perguruan Tinggi adalah yang paling bertanggung jawab terhadap kerusakan itu. Sebab, di tingkat pendidikan Tinggi inilah dilahirkan para guru, dosen, golongan profesional, dan juga para pemimpin dalam berbagai aspek kehidupan. Jika sistem dan kurikulum di Pendidikan Tinggi bersifat sekuler-materialis, maka akan lahir pula elite-elite masyarakat dan bangsa yang menolak agama sebagai dasar dan pedoman kehidupan. Mereka lebih percaya hawa nafsu dan konsensus bersama sebagai pedoman hidup. Mereka menolak wahyu sebagai pedoman hidup dan sumber ilmu.
Maka, sungguh berat tanggung jawab orang tua muslim di zaman sekarang. Mereka ‘dipaksa’ mengirimkan anak-anak mereka untuk kuliah di kampus-kampus yang dianggap bergengsi dan menjanjikan masa depan gemilang. Padahal, sistem dan kurikulum pendidikan di kampus itu secara terang-terangan mendidik mahasiswanya menjadi manusia sekuler-materialis. Kampus itu pun tidak mengarahkan mahasiswanya untuk mendalami al-Quran dan ulumuddin lainnya, dan bahkan menjauhkan mereka dari perjuangan para Nabi dalam menegakkan kalimah Tauhid dan keadilan di muka bumi.
Tokoh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Mohammad Natsir, beberapa kali mengingatkan strategi tokoh orientalis Belanda, Snouck Hurgronje, yang menjadikan pendidikan sebagai senjata untuk menjauhkan kaum Muslimin dari agamanya. Dalam bukunya Nederland en de Islam, Snouck menyatakan: ”Opvoeding en onderwijs zijn in staat, de Moslims van het Islamstelsel te emancipeeren.” (Pendidikan dan pelajaran dapat melepaskan orang Muslimin dari genggaman Islam).
Karena itulah, tidak sedikit potensi terbaik intelektual muslim akhirnya menjadi sekuler-liberal dan materialis, karena salah didik, setelah tamat kuliah. Banyak pula yang potensi intelektualnya tidak berkembang secara optimal, karena sudah terjebak ke dalam pendidikan yang mengarahkan mereka menjadi pekerja profesional sempit. Mereka tak sempat lagi mengembangkan diri dan ilmu untuk menjadi ulama dan pemimpin umat. Potensi intelektual mereka menjadi sia-sia. Padahal, Allah menciptakan orang-orang pintar itu tidak banyak jumlahnya.
Jadi, ingatlah kembali sabda Nabi ﷺ: Anak itu lahir dalam kondisi fitrah. Orang tua mereka yang menjadikan mereka Yahudi, Nasrani, atau Majuzi! Orang tualah yang mengirim anak-anak mereka ke Perguruan-perguruan Tinggi yang dengan sistematis mendidik mereka menjadi manusia sekuler-materialis, serakah dunia, dan ada juga yang akhirnya ‘fobia-Islam’; takut secara membabi buta terhadap ajaran Islam. Ironisnya, terkadang, untuk itu, biaya ratusan juta atau milyaran dengan sukarela dikeluarkan.
Padahal, mendapatkan pendidikan yang baik (menjadi anak beradab dan berilmu) adalah hak anak, atau kewajiban orang tua. Di akhirat, anak-anak akan menuntut orang tuanya, karena selama di dunia, mereka dijerumuskan ke sistem pendidikan yang mengarahkan mereka menjadi ‘Yahudi’, menjadi manusia sekuler-materialis. Hak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang benar diabaikan.
Karena itu, jika ingin selamat di akhirat, jangan didik anakmu menjadi ‘Yahudi’! Jangan menjerumuskan mereka ke lembaga pendidikan sekuler-materialis, tanpa bekal iman, ilmu, dan akhlak yang mencukupi! Jangan, jangan lagi, dan jangan pernah!!! (Depok, 22 Februari 2019).*
Direktur at-Taqwa College, Depok

No comments: