Hikmah dari Sirah Nabi ﷺ Semasa Membina Keluarga

Aku mencari contoh ideal dalam sejarah bagi manusia, lalu aku temukan pada diri Nabi Muhammad Hikmah dari Sirah Nabi ﷺ Semasa Membina Keluarga
Goa Hira

BETAPA indahnya, jika keluarga atau rumah tangga dibina berdasarkan tuntunan ilahi. Bau surgawi akan tercium dari dalam biliknya. Hubungan di dalamnya begitu intim. Individu-individu yang berada di dalamnya bekerjasama menggapai ampunan, dan ridha Allah SWT. Semuanya berlomba-lomba dalam menuju kebaikan.

Siapa saja yang menghendaki nuansa demikian, maka contoh idealnya adalah rumah tangga Rasulullah. Al-Qur`an menggambarkan bahwa pada diri Rasulullah ﷺ ada teladan yang baik (QS. Al-Ahzab: 21).

Beliau pun sejak awal memberi contoh, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik pada keluarganya. Dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.’(HR. Tirmudzi). Sudah selayaknya mahligai rumah tangga beliau diteladani.

Pada rentang usia 25 hingga 40 tahun, tidak banyak riwayat yang secara detail menjelaskan apa kiprah Nabi Muhammad sebelum menjadi nabi, baik bagi individu, keluarga maupun sosial. Namun, beberapa peristiwa ini setidaknya dapat menjelaskan kiprah beliau ketika sudah berumah tangga.


Pertama, peristiwa peletakan Hajar Aswad (Nûr al-Yaqîn, 17). Saat berusia 35 tahun, beliau mampu mencari solusi bagi problematika umat. Saat renovasi ka`bah –lantaran tertimpa banjir- sudah hampir selesai, para pembesar Mekah hampir saja perang gara-gara memperebutkan siapa yang paling layak meletakkan Hajar Aswad. Abu Muawiyah bin Mughirah sebagai orang yang senior akhirnya berembuk dengan para pembesar. Akhirnya disepakati, bahwa orang yang pertama kali masuk ke ka`bahlah yang akan meletakkan Hajar Aswad.

Sesuai takdir Allah, Muhammad ﷺ lah yang pertama kali masuk. Mereka ridha dengan beliau yang berjuluk “al-amîn”. Dengan tenang, nabi mampu memecahkan solusi dengan sangat baik. Beliau menyuruh pembesar Qurays meletakkan Hajar Aswad di atas kain. Setiap pembesar memegang tepian kain dan sama-sama mengangkatnya bersama nabi. Saat sudah dekat dengan tempat Hajar Aswad, akhirnya beliaulah yang meletakkannya.

Dari peristiwa ini bisa dilihat bahwa nabi berperan aktif dalam sekala publik. Ia menjadi orang yang mampu memberikan solusi, membuat kondisi tetap stabil, memiliki hubungan yang sangat intim dengan masyarakat sekitarnya dan meredam pertumpahan pada skala massif. Pada kasus peletakan Hajar Aswad, prinsip-prinsi sinergi juga terbaca jelas dengan solusi yang ditawarkannya.


Pantaslah jika dia berjuluk “al-amîn”. Alasanya jelas: bisa menjalankan amanah dengan baik, selalu menciptakan rasa aman di sekelilingnya, dan mampu memberikan solusi yang tepat bagi permasalahan umat.

Kedua, berkhalwat (menyendiri) di Gua Hira. Saat usia beliau sudah menginjak 38 sampai 40 tahun. Ada amalan rutin yang beliau lakukan yaitu mengasingkan diri di gua Hira. Pada waktu itu, dari sisi komunikasi publik, memang beliau nyaris tidak ada problem. Hanya saja, dari sisi spiritual, beliau merasakan ada yang tidak beres dengan apa yang terjadi di Mekah kala itu. Yang beliau lakukan saat mengalami keresahan tersebut ialah dengan melakukan khalwat di Gua Hira.

Dalam gua, beliau merenung, berpikir, mendekatkan diri kepada Zat Yang Maha Kuasa. Langkah-langkah spiritual yang diilhami dari Allah inilah yang menggambarkan bahwa beliau juga peka terhadap masalah spiritual. Ketika usia beliau sudah matang, tepatnya 40 tahun, belia diangkat menjadi nabi dan mendapatkan wahyu untuk pertamakalinya.

Baca:Sahabat Terakhir Rasulullah Muhammad 

Ketiga, kesaksian Khadijah mengenai amal-amal sosial Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam Shahih Muslim, Aisyah menceritakan kondisi Nabi Muhammad ﷺ sepulang dari Gua Hira. Beliau mengadukan keresahannya kepada Khadijah. Sebagai istri yang shalihah, beliau menenangkannya, “Demi Allah, Allah tak akan menghinakanmu selama-lamanya. Kamu telah menyambung shilaturrahim, berbicara jujur, memikul beban orang lain, suka mengusahakan sesuatu yang tidak ada, menjamu tamu dan serta membela faktor-faktor kebenaran.”

Jawaban Khadijah ini tentunya memberikan gambaran yang sangat jelas bahwa Rasulullah ﷺ selama berumah tangga dengannya (dari usia 25 hingga 40 tahun), sangat peduli kepada urusan keluarga, sosial, dan kebenaran. Maka sangat logis pernyataan Khadijah, bahwa orang yang memiliki akhlak semulia Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam  tidak akan mungkin dicampakkan oleh Allah Subhanahu wata’ala.

Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa saat menjalin rumah tangga bersama Khadijah (dari usia 25 hingga 40 tahun), Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam  mampu menjadi kepala keluarga teladan. Beliau mampu menjalin hungungan dengan baik sesama manusia (baik keluarga maupun sosial), dan bisa mempererat hubungan secara vertikal dengan Allah dengan memperdulikan sisi spiritualnya.

Sebagai penutup, pernyataan Johann Wolfgang Gouthe, Sastrawan Kenamaan Jerman (1749-1832M) berikut bisa dicamkan “Aku mencari contoh ideal dalam sejarah bagi manusia, lalu aku temukan pada diri Nabi Muhammad.” (Arrahmah Fî Hayâti al-Rasûl, 421). Apakah kita sebagai muslim sudah meneladani Nabi Muhammad ﷺ?*/Mahmud Budi Setiawan

No comments: