Belajar Rendah Hati dari Imam Ibnu Jauzi

Ulama sejati akan selalu tawaduk. Dia tidak akan merasa paling berilmu serta meremehkan orang lain Belajar Rendah Hati dari Imam Ibnu Jauzi
DOSA pertama yang dilakukan oleh makhluk Allah Ta’ala adalah kesombongan iblis (QS. Shad [38]: 75-76). Ketika disuruh sujud (penghormatan) oleh Allah kepada Adam, dirinya merasa lebih baik dari manusia dengan alasan; tercipta dari api, sedangkan Adam dari tanah. Sejak saat itu iblis disebut pembangkang dan terusir dari Surga.
Lain halnya dengan Adam, tidak pernah sekali-kali terlihat sifat sombong pada dirinya. Padahal, dirinya memiliki keunggulan dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya, yaitu: dikaruniai ilmu oleh Allah Ta’ala. Bahkan ketika akhirnya tergoda oleh bujuk rayu iblis, ia tidak melakukan apologi, namun mengakui kesalahannya dengan doa yang menggambarkan kerendahhatian.
قَالاَ رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Ya Tuhan kami! Kami telah menzalimi diri kami sendiri. Dan jika Engkau tidak mengampuni dan merahmati kami, niscaya kami menjadi bagian dari orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raf [7]: 23) Demikianlah sejatinya akhlak orang yang berilmu, semakin tinggi ilmunya, maka bertambah rendah hati.
Dalam bahasa Indonesia, ada peribahasa: Seperti padi, kian berisi kian merunduk. Seperti ilmu padi, kian berisi kian merunduk. Maknya, semakin tinggi ilmu seseorang maka dia semakin rendah hati. Dalam al-Qur`an juga ada ungkapan:
وَفَوۡقَ كُلِّ ذِي عِلۡمٍ عَلِيمٞ ٧٦
“dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui.” (QS. Yusuf [12]: 76)
Karena itulah, ulama sejati akan selalu tawaduk. Dia tidak akan merasa paling berilmu serta meremehkan orang lain. Semakin bertambah ilmu, dirinya merasa semakin bodoh, karena sejatinya yang diberikan oleh Allah kepada dirinya hanyalah sangat sedikit dibanding keluasan ilmu Allah Ta’ala.
Dari Imam Jauzi (510-597 H) pembaca bisa menemukan sosok ulama teladan yang begitu rendah hati. Bayangkan! Dalam kitab “Dzailu Thabaqāt al-Hanābilah” (I/167) dikisahkan di akhir hidupnya dia pernah bercerita telah menulis dua ribu jilid buku, menobatkan 100 ribu orang dan membuat 20 ribu orang Yahudi dan Nasharani masuk Islam.

Lebih dari itu, jumlah minimal hadirin yang mengaji pada beliau adalah 10 ribu orang. Meski demikian, tidak ada kesombongan yang ditonjolkan oleh beliau. Yang ada justru semakin merasa rendah hati.
Dalam kisah masyhur disebutkan, menjelang wafat beliau kerendah hatian itu masih sangat tampak. Menjelang ajal tiba, beliau sempat berujar kepada murid-muridnya, “Jika kelak di surga kalian tidak menjumpaiku, maka tanyakanlah kepada Allah perihalku: ‘Ya Allah ya Tuhan kami, sesungguhnya hambamu Si Fulan (Ibnu Jauzi) dulu di dunia telah mengingatkan kami tentang diri-Mu.’ Lantas kemudian Ibnu Jauzi menangis.
Ulama yang sedemikian dalam dan luasanya itu tidak pernah merasa tinggi hati. Betapapun jasa-jasanya begitu besar dalam Islam, namun dia menafikan eksistensi dirinya. Dirinya adalah fakir ilmu di hadapan Allah. Ilmu yang luas tidak digunakan untuk merendahkan dan meremehkan orang lain.
Lain halnya dengan fenomena dewasa ini. Banyak yang mengetahui satu ayat dua ayat, atau satu hadits dua hadits dan seterusnya, namun dengan sangat mudah merasa sudah menjadi ulama. Tanpa melalui kajian ilmiah mumpuni, sudah berani menyalahkan orang yang tak sepaham dengannya, gampang menyesatkan, mengkafirkan dan merasa dirinya paling benar. Akibatnya, yang ditimbulkan adalah perpecahan saudara.

Tak mengherankan jika Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan doa:
اللَّهُمَّ انْفَعْنِي بِمَا عَلَّمْتَنِي، وَعَلِّمْنِي مَا يَنْفَعُنِي، وَزِدْنِي عِلْمًا
“Ya Allah! Jadikanlah ilmu yang dianugerahkan oleh-Mu kepadaku bermanfaat; ajarilah padaku ilmu yang bermanfaat; serta tambahkanlah ilmu kepadaka.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah)
Ciri ilmu itu bermanfaat –sebagaimana kisah Nabi Adam—adalah di antaranya ketika tidak membuat orang yang berilmu menjadi sombong atau tinggi hati.
Suatu saat, Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu memberi nasihat, “Barangsiapa yang tawaduk (rendah hati) secara khusyuk kepada Allah, maka kelak di hari kiamat angkat diangkat derajatnya oleh Allah. Sedangkan orang yang tinggi hati (sombong), maka akan direndahkan oleh Allah Ta’ala pada hari kiamat.” (al-Khara`ithi, Masāwi al-Akhlāq, 258)
Dengan demikian, jika dengan ilmu Allah akan mengangkat derajat seseorang (QS. Al-Mujadilah [58]: 11), maka dengan tawaduk pula atau kerendahan hati Allah juga akan mengangkat derajat seseorang. Karena itu, antara ilmu dan kerendah hatian tidak terpisahkan. Dan itu semua bisa kita teladani dari sosok Imam Ibnu Jauzi.*/Mahmud Budi Setiawan

No comments: