Tempat Naskah Linggarjati Lahir

Di gedung itu, delegasi Indonesia berunding dengan Belanda, yang dikenal dengan Perundingan Linggarjati.
Tempat Naskah Linggarjati LahirGedung Naskah Linggarjati di Desa Linggarjati, Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, menjadi salah satu ikon pariwisata di daerah itu. Gedung bersejarah tempat diadakannya Perundingan Linggarjati pada 11-13 November 1946 antara Indonesia dan Belanda ini kondisinya terawat baik. Beberapa barang masih terjaga keasliannya meskipun lebih banyak yang merupakan replika. Ratusan pengunjung mendatangi gedung yang telah dijadikan museum ini setiap akhir pekan, libur sekolah, dan libur hari-hari besar keagamaan. Foto diambil pada Minggu, 9 Agustus 2015. (KOMPAS/RINI KUSTIASIH)
Dunia telah mencatat, gedung bekas hotel Belanda di Desa Linggajati, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, menjadi saksi salah satu episode paling menentukan dalam perjuangan Republik Indonesia mempertahankan kemerdekaan. Di gedung itu, delegasi Indonesia berunding dengan Belanda, yang dikenal dengan Perundingan Linggarjati.
Si Bung Kecil, Perdana Menteri Sutan Syahrir bersama delegasi Indonesia lain, meladeni delegasi Belanda yang dipimpin Willem Schermerhorn dalam perundingan tentang kedaulatan Indonesia. Perundingan akhirnya dicurangi, tetapi kemerdekaan bagaimanapun adalah harga mati.
Drama perundingan itu hingga sekarang masih abadi dan terawat dengan baik di Desa Linggajati yang kini masuk Kecamatan Cilimus.
Embusan angin dari Gunung Ciremai sedikit mendinginkan cuaca yang pada Minggu (9/8/2015) pagi itu cerah. Berada di kaki Gunung Ciremai, bangunan seluas 800 meter persegi itu menjadi daya tarik utama pengunjung, utamanya pada hari libur. Pengunjung banyak berlalu-lalang keluar-masuk gedung atau duduk dan bersantai-santai di rumput halaman yang penuh bunga dan aneka tanaman.
Empat pemandu duduk di depan pintu masuk. ”Mari, silakan masuk. Tiketnya cuma Rp 2.000 per orang,” kata Sulaeman (41), pemandu wisata Gedung Naskah Linggarjati, menyapa. Ia menawarkan jasanya untuk memandu berkeliling ke seluruh bagian gedung. Setiap wisatawan yang datang ke gedung itu boleh memilih ditemani pemandu atau tidak. Sulaeman adalah satu dari 12 petugas di museum.
Nuansa heroik dari gedung itu mulai terasa ketika pengunjung memasuki ruangan pertama dan sekaligus utama dari gedung itu. Satu kotak kaca di dekat pintu di bagian kanan ruangan menggambarkan suasana perundingan dalam bentuk diorama. Kotak itu mewakili apa yang terjadi pada tanggal 11-13 November 1946, ketika empat delegasi Indonesia berunding dengan empat delegasi Belanda.

Hadir dari pihak Indonesia ialah Sutan Syahrir (Ketua), Soesanto Tirtoprodjo, Adnan Kapau Gani, dan Mohammad Roem. Adapun dari pihak Belanda Willem Schermerhorn (Ketua), Van Der Poll, F De Boer, dan HJ Van Mook. Seorang penengah dari Inggris, Lord Killearn, duduk paling ujung dan berada di tengah sehingga bisa menghadap kepada kedua delegasi dari dua bangsa.
Selain digambarkan dalam diorama, suasana pertemuan juga berusaha direplikasi dengan menghadirkan nama-nama delegasi dan penempatannya sesuai dengan aslinya. Foto-foto hitam putih dengan pigura kayu melengkapi suasana tua yang ingin dibangun di museum itu.
Begitu juga dengan barang- barang yang disimpan museum, sebagian besar adalah replika kendati masih banyak yang asli. ”Kursi ini masih asli. Rangka kayunya tidak diubah sama sekali, hanya kulit sofanya yang diganti. Dulu, para delegasi duduk-duduk di sini, di sela-sela istirahat dalam perundingan,” kata Sulaeman.
Satu piano yang dikunci di dekat kursi istirahat delegasi juga masih asli. Meja dan empat kursi makan di dapur yang kondisinya masih terawat, ternyata juga masih orisinal. Barang-barang itu dilarang diduduki dan dipindahkan oleh pengunjung.


”Saat gedung ini berkali-kali pindah tangan, sebagian besar perabotan hilang. Sebagian lagi tersebar di tangan penduduk sekitar. Hanya sedikit perabotan asli yang bisa ditemukan kembali. Kursi, meja, dan lemari yang ada di tujuh kamar delegasi semuanya hilang. Yang disimpan di sini adalah duplikatnya,” kata Sulaeman, yang baru lima tahun menjadi pemandu.
Pengunjung yang datang ke gedung itu pun banyak terbantu dengan keterangan yang ditulis di setiap bagian bawah foto. Foto-foto hitam putih itu adalah hasil jepretan jurnalis asing yang meliput perundingan.
Salah satu foto paling ikonik adalah gambar empat jurnalis yang duduk di tangga, di depan rumah peristirahatan Sutan Syahrir, Perdana Menteri, yang juga Ketua Delegasi Indonesia ketika itu. Keempatnya menulis dengan mesin ketik dalam posisi duduk berundak dari atas ke bawah, mengikuti posisi tangga.
”Saat itu hanya jurnalis asing yang mengikuti perundingan itu. Tidak ada wartawan dari Indonesia. Foto-foto ini juga kami peroleh dari arsip yang dikirimkan pihak Belanda. Tidak satu pun dari Indonesia,” ucap Sulaeman.


Di bagian depan ruangan Lord Killearn terdapat satu sofa panjang, satu meja, dan dua sofa pendek yang saling berhadapan. Satu jam sebelum perundingan hari pertama dimulai, Soekarno dan Mohammad Hatta berbincang dengan Lord Killearn. Satu lukisan sketsa karya Henk Ngantung, Gubernur DKI Jakarta, yang menggambarkan pertemuan Bung Karno dengan Killearn, dipajang di ruangan itu.
Di salah satu ruangan delegasi dipajang foto Jacobus Van Os, seorang Belanda yang pertama kali membangun gedung itu secara permanen tahun 1930. Sebelumnya, tahun 1918, di lokasi gedung itu berdiri gubuk milik Ibu Jasitem. Tahun 1921, pengusaha gula berkebangsaan Belanda bernama Mergen merombak gubuk menjadi bangunan semipermanen. Van Os membeli gedung dari Mergen dan menjadikannya bangunan permanen.


Perjalanan panjang

Gedung itu melalui perjalanan panjang, sebelum pemerintah menengok kembali. Gedung itu pernah menjadi Hotel Rustoord pada tahun 1935. Lalu namanya diubah menjadi Hotel Hokay Ryokan pada masa Jepang. Tahun 1945, gedung itu menjadi Hotel Merdeka. Gedung itu juga pernah menjadi markas tentara Belanda 1948-1950, kemudian dialihfungsikan menjadi SD Linggajati tahun 1950-1975.
”Gedung ini empat kali direnovasi. Tahun 1975, Bung Hatta dan Ibu Syahrir berkunjung dan mengabarkan bahwa gedung ini akan dibangun ulang oleh Pertamina. Tahun 1976, gedung ini diserahkan ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk diolah menjadi museum,” urai Saom, Kepala Pengelola Museum Linggarjati.
Kini, gedung itu berada di bawah perawatan Balai Pelestarian Cagar Budaya Serang, Banten. Bagian dalam gedung dirawat dan kondisinya bersih sehingga wisatawan merasa nyaman berkunjung. Halaman gedung yang luas dan dipenuhi tanaman serta bunga-bungaan menjadi daya tarik tersendiri bagi anak-anak muda.
Setiap musim libur sekolah dan hari-hari besar keagamaan, turis memadati gedung itu. ”Saat Lebaran kemarin, 8.000 wisatawan datang. Sebagian di antaranya orang Belanda yang merasa punya keterikatan dengan gedung ini,” kata Saom.

Pemerintah Kabupaten Kuningan pun menjadikan Gedung Naskah Linggarjati sebagai ikon pariwisata andalan. Pemkab memiliki mimpi menjadikan gedung itu sebagai museum bertaraf internasional, tidak hanya menampilkan wujud asli bangunan, tetapi juga dilengkapi pertunjukan film yang memutarkan film-film dokumentasi di era perjuangan.
”Bagi Kuningan, gedung ini adalah simbol partisipasi rakyat mendukung perjuangan Indonesia. Perundingan Linggarjati adalah awal dari rentetan perjuangan mempertahankan kemerdekaan dari rongrongan sekutu dan Belanda. Oleh karena itu, gedung ini tidak boleh diabaikan,” kata Teddy Suminar, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kuningan.
”Kuningan ingin menggelorakan salam dan pekik merdeka ke seluruh Nusantara melalui wisata. Gedung inilah simbol perjuangan kami,” ujar Teddy.
(Rini Kustiasih/Harian Kompas)

No comments: