Ibrah Tiga Jenderal Besar dan Ksatria dalam Tiga Peradaban
Hingga saat ini patung Guan Yu dipercaya oleh penganut agama Konghucu, Taoisme ataupun Budha sebagai dewa perang yang mampu menjaga dari roh-roh jahat
DALAM perjalanan saya di Belanda kali ini, saya berkesempatan menelusuri Kota Maastricht yang terletak di sebelah tenggara ‘Negeri Kincir Angin’ ini.
Terdapat beberapa monumen sejarah yang menarik di kota kecil nan asri ini. Yang paling berkesan bagi saya mungkin adalah kesempatan melihat monumen seorang jendral bernama Compte D’Artagnan atau bernama lengkap Charles Ogier de Batz de Castelmore (lahir 1611M – wafat 25 Juni 1673M).
D’Artagnan merupakan pemimpin tertinggi the musketeers, pasukan elit pengaman Raja Prancis saat itu Raja Louis XIV. Kisah the musketeers ini sendiri sangat dikenal di tanah air berkat film the three musketeers yang diangkat dari novel karya Alexandre Dumas tentang pasukan elit kerajaan Prancis ini. Film ini sendiri telah berulang kali ditayangkan di saluran televisi dalam negeri.
D’Artagnan terlahir di Lupiac bagian barat daya Prancis dari ayah seorang niagawan ningrat dan ibu keturunan bangsawan dari keluarga Montesquiou D’Artagnan. Dari keluarga ayahnya inilah ia akhirnya dapat masuk kedalam anggota pasukan elit the musketeers di tahun 1632M.
Sebagai anggota pasukan elit, D’Artagnan bertugas terutama dibawah Kardinal Mazarin, menteri utama Prancis sejak 1643M dibawah Raja Louis XIV. D’Artagnan menjadi jendral yang terpercaya karena perannya sebagai mata-mata dalam rentetan perang sipil di Prancis antara tahun 1648 hingga 1653. Setelah berperan penting dalam penangkapan Nicholas Fouquet, seorang bendahara keuangan dibawah Raja Louis XIV, yang dituduh mencuri harta kerajaan untuk membangun kediaman bak istana, D’Artagnan dinobatkan sebagai Kapten-Letnan atas pasukan Musketeers di tahun 1667. Raja merupakan pemimpin militer tertinggi atas pasukan elit ini.
Ditugaskan sebagai Gubernur kota Lille, D’Artagnan rupanya tidak betah dengan pekerjaan ini, dia merindukan untuk kembali ke medan perang. Kesempatan itu tiba ketika Raja Louis XIV mengumumkan perang dengan Republik Belanda (Dutch Republic) dalam Perang Prancis-Belanda.
D’Artagnan akhirnya menemui ajalnya dalam perang pada tanggal 25 Juni, 1673, ketika sebuah peluru senapan merobek tenggorokannya dalam pengepungan di Maastricht.
Dalam perang ini, Prancis berhasil menduduki Kota Maastricht dari tahun 1673 sampai 1678. Di sinilah dia akhirnya dikebumikan dan di kota ini pula patung D’Artagnan dapat disaksikan di sebuah taman di kawasan Tongerstraat.
Figur D’Artagnan ini berhasil menjadi sebuah figur yang melegenda di dunia Barat berkat novel fiksi yang ditulis oleh Gatien de Courtilz de Sandras berjudul Les mémoires de M. D’Artagnan (Memori tentang D’Artagnan, terj) dan karya fiksi Alexandre Dumas yang menulis D’Artagnan Romances (Roman D’Artagnan, terj) yang berisi tiga serial novel, yakni The Three Musketeers, Twenty Years After dan The Vicomte de Bragelonne.
Kisah Guan Yu
Merenungi kisah keperwiraan D’Artagnan ini saya pun teringat kepada Jendral perang kedua yang melegenda diantara warga keturunan Tionghoa di tanah air. Jendral perang itu adalah Guan Yu (atau terkenal dengan nama Dewa Guan Gong/Kwan Kong di antara suku Tionghoa di Indonesia).
Ia adalah seorang jendral perang yang mengabdi kepada Liu Bei (lahir 161M- wafat 10 Juni 223M), cucu dari Kaisar Jing dari Dinasti Han. Guan Yu dipuja-puji dan bahkan disembah oleh orang-orang China dan figurnya sangat dikenal dalam agama tradisional China, maupun Konfusianisme, Taoisme dan agama Budha di China.
Guan Hu dikenal karena dipandang memiliki kualitas moral yang tinggi, loyalitas dan kebajikan yang besar semasa hidupnya mengabdi Liu Bei. Kisah sejarah hidupnya bahkan telah ditulis dalam karya novel sejarah terkenal Roman Tiga Kerajaan oleh Luo Guanzhong (1330M-1400M) yang hidup di zaman dinasti Yuan dan Ming. Diantara kisah-kisah fiksi paling dramatis yang menjulangkan nama besar Guan Yu diantaranya adalah:
Pertama,kisahnya mengawal dua orang istri Liu Bei dari Kota Xuchang di China bagian tengah untuk kembali menemui Liu Bei yang saat itu berada di wilayah Runan, Henan, China.
Dalam perjalanan ini Guan Yu harus melewati lima perbatasan yang dijaga oleh jendral dibawah kekuasaan Cao-Cao. Karena ia tidak memiliki izin lewat, maka ia dilarang melintasi perbatasan ini oleh jendral yang menjaga perbatasan.
Tidak kurang dari enam orang jendral penjaga perbatasan ini yang akhirnya tewas mengenaskan dengan kepala terpenggal ataupun badan terbelah dua karena menghalangi jendral ini. Guan Yu sendiri akhirnya dapat bertemu dengan Liu Bei dan Zhang Fei di Runan.
Kedua, adalah kisah Guan Yu terluka oleh panah beracun dalam Perang Fancheng, seorang tabib masyhur Hua Tuo datang ke tendanya dan hendak mengobatinya, namun sebelumnya memintanya untuk menutup mata dan mengikat tangannya, namun Guan Yu menolak dan memintanya langsung mengoperasi tangannya tanpa obat bius ataupun menutup matanya, sementara ia bermain catur tanpa sedikitpun mengerang kesakitan.
Akhir hidup Guan Yu pun tidak kalah dramatis. Setelah kehilangan kota Jiangling kepada pasukan Sun Quan (182M-252M), Raja dari Kerajaan Wu Timur. Ia harus menelan kenyataan pahit bahwa pasukannya kehilangan semangat perang karena pasukan Sun Quan menyandera sanak keluarga dari anggota-anggota pasukannya.
Mayoritas pasukan meninggalkannya untuk kembali ke keluarga mereka di Jiangling. Dengan sisa pasukannya, putranya Guan Ping dan pengikut setianya Zhao Lei, Guan Yu berusaha untuk mundur ke arah Barat yang berada dibawah kekuasaan Liu Bei, saudara angkatnya yang telah menjadi Raja Hanzhong di Ibu Kotanya Chengdu. Akan tetapi kali ini ia harus dihadang oleh pasukan kiriman Sun Quan dibawah pimpinan Pan Zhang. Cidera akibat panah beracun di lengan kanannya masih belum juga pulih dan terus meneteskan darah sehingga keperkasaannya di medan perang pun telah jauh berkurang dibandingkan ketika ia menewaskan enam jendral musuh sebelumnya.
Guan Yu dan putranya pun berhasil ditangkap hidup-hidup. Tidak berapa lama didalam tahanan, Guan Yu dan putra angkatnya Guan Ping dieksekusi yang menutup kisah hidup Guan Yu seorang jendral perang yang sangat ditakuti di seantero China masa itu.
Sampai saat ini, patung Guan Yu (atau Guan Gong) disembah oleh orang-orang China. Tidaklah sulit oleh karenanya menjumpai patung Guan Yu di kelenteng-kelenteng dan kuil-kuil yang ada di seantero daratan Asia. Patung Guan Yu dipercaya oleh penganut agama Konghucu, Taoisme ataupun Budha sebagai dewa perang yang mampu menjaga dari roh-roh jahat.* Panglima bergelas Pedang Allah yang Terhunus..
Terdapat beberapa monumen sejarah yang menarik di kota kecil nan asri ini. Yang paling berkesan bagi saya mungkin adalah kesempatan melihat monumen seorang jendral bernama Compte D’Artagnan atau bernama lengkap Charles Ogier de Batz de Castelmore (lahir 1611M – wafat 25 Juni 1673M).
D’Artagnan merupakan pemimpin tertinggi the musketeers, pasukan elit pengaman Raja Prancis saat itu Raja Louis XIV. Kisah the musketeers ini sendiri sangat dikenal di tanah air berkat film the three musketeers yang diangkat dari novel karya Alexandre Dumas tentang pasukan elit kerajaan Prancis ini. Film ini sendiri telah berulang kali ditayangkan di saluran televisi dalam negeri.
D’Artagnan terlahir di Lupiac bagian barat daya Prancis dari ayah seorang niagawan ningrat dan ibu keturunan bangsawan dari keluarga Montesquiou D’Artagnan. Dari keluarga ayahnya inilah ia akhirnya dapat masuk kedalam anggota pasukan elit the musketeers di tahun 1632M.
Sebagai anggota pasukan elit, D’Artagnan bertugas terutama dibawah Kardinal Mazarin, menteri utama Prancis sejak 1643M dibawah Raja Louis XIV. D’Artagnan menjadi jendral yang terpercaya karena perannya sebagai mata-mata dalam rentetan perang sipil di Prancis antara tahun 1648 hingga 1653. Setelah berperan penting dalam penangkapan Nicholas Fouquet, seorang bendahara keuangan dibawah Raja Louis XIV, yang dituduh mencuri harta kerajaan untuk membangun kediaman bak istana, D’Artagnan dinobatkan sebagai Kapten-Letnan atas pasukan Musketeers di tahun 1667. Raja merupakan pemimpin militer tertinggi atas pasukan elit ini.
Ditugaskan sebagai Gubernur kota Lille, D’Artagnan rupanya tidak betah dengan pekerjaan ini, dia merindukan untuk kembali ke medan perang. Kesempatan itu tiba ketika Raja Louis XIV mengumumkan perang dengan Republik Belanda (Dutch Republic) dalam Perang Prancis-Belanda.
D’Artagnan akhirnya menemui ajalnya dalam perang pada tanggal 25 Juni, 1673, ketika sebuah peluru senapan merobek tenggorokannya dalam pengepungan di Maastricht.
Dalam perang ini, Prancis berhasil menduduki Kota Maastricht dari tahun 1673 sampai 1678. Di sinilah dia akhirnya dikebumikan dan di kota ini pula patung D’Artagnan dapat disaksikan di sebuah taman di kawasan Tongerstraat.
Figur D’Artagnan ini berhasil menjadi sebuah figur yang melegenda di dunia Barat berkat novel fiksi yang ditulis oleh Gatien de Courtilz de Sandras berjudul Les mémoires de M. D’Artagnan (Memori tentang D’Artagnan, terj) dan karya fiksi Alexandre Dumas yang menulis D’Artagnan Romances (Roman D’Artagnan, terj) yang berisi tiga serial novel, yakni The Three Musketeers, Twenty Years After dan The Vicomte de Bragelonne.
Kisah Guan Yu
Merenungi kisah keperwiraan D’Artagnan ini saya pun teringat kepada Jendral perang kedua yang melegenda diantara warga keturunan Tionghoa di tanah air. Jendral perang itu adalah Guan Yu (atau terkenal dengan nama Dewa Guan Gong/Kwan Kong di antara suku Tionghoa di Indonesia).
Ia adalah seorang jendral perang yang mengabdi kepada Liu Bei (lahir 161M- wafat 10 Juni 223M), cucu dari Kaisar Jing dari Dinasti Han. Guan Yu dipuja-puji dan bahkan disembah oleh orang-orang China dan figurnya sangat dikenal dalam agama tradisional China, maupun Konfusianisme, Taoisme dan agama Budha di China.
Guan Hu dikenal karena dipandang memiliki kualitas moral yang tinggi, loyalitas dan kebajikan yang besar semasa hidupnya mengabdi Liu Bei. Kisah sejarah hidupnya bahkan telah ditulis dalam karya novel sejarah terkenal Roman Tiga Kerajaan oleh Luo Guanzhong (1330M-1400M) yang hidup di zaman dinasti Yuan dan Ming. Diantara kisah-kisah fiksi paling dramatis yang menjulangkan nama besar Guan Yu diantaranya adalah:
Pertama,kisahnya mengawal dua orang istri Liu Bei dari Kota Xuchang di China bagian tengah untuk kembali menemui Liu Bei yang saat itu berada di wilayah Runan, Henan, China.
Dalam perjalanan ini Guan Yu harus melewati lima perbatasan yang dijaga oleh jendral dibawah kekuasaan Cao-Cao. Karena ia tidak memiliki izin lewat, maka ia dilarang melintasi perbatasan ini oleh jendral yang menjaga perbatasan.
Tidak kurang dari enam orang jendral penjaga perbatasan ini yang akhirnya tewas mengenaskan dengan kepala terpenggal ataupun badan terbelah dua karena menghalangi jendral ini. Guan Yu sendiri akhirnya dapat bertemu dengan Liu Bei dan Zhang Fei di Runan.
Kedua, adalah kisah Guan Yu terluka oleh panah beracun dalam Perang Fancheng, seorang tabib masyhur Hua Tuo datang ke tendanya dan hendak mengobatinya, namun sebelumnya memintanya untuk menutup mata dan mengikat tangannya, namun Guan Yu menolak dan memintanya langsung mengoperasi tangannya tanpa obat bius ataupun menutup matanya, sementara ia bermain catur tanpa sedikitpun mengerang kesakitan.
Akhir hidup Guan Yu pun tidak kalah dramatis. Setelah kehilangan kota Jiangling kepada pasukan Sun Quan (182M-252M), Raja dari Kerajaan Wu Timur. Ia harus menelan kenyataan pahit bahwa pasukannya kehilangan semangat perang karena pasukan Sun Quan menyandera sanak keluarga dari anggota-anggota pasukannya.
Mayoritas pasukan meninggalkannya untuk kembali ke keluarga mereka di Jiangling. Dengan sisa pasukannya, putranya Guan Ping dan pengikut setianya Zhao Lei, Guan Yu berusaha untuk mundur ke arah Barat yang berada dibawah kekuasaan Liu Bei, saudara angkatnya yang telah menjadi Raja Hanzhong di Ibu Kotanya Chengdu. Akan tetapi kali ini ia harus dihadang oleh pasukan kiriman Sun Quan dibawah pimpinan Pan Zhang. Cidera akibat panah beracun di lengan kanannya masih belum juga pulih dan terus meneteskan darah sehingga keperkasaannya di medan perang pun telah jauh berkurang dibandingkan ketika ia menewaskan enam jendral musuh sebelumnya.
Guan Yu dan putranya pun berhasil ditangkap hidup-hidup. Tidak berapa lama didalam tahanan, Guan Yu dan putra angkatnya Guan Ping dieksekusi yang menutup kisah hidup Guan Yu seorang jendral perang yang sangat ditakuti di seantero China masa itu.
Sampai saat ini, patung Guan Yu (atau Guan Gong) disembah oleh orang-orang China. Tidaklah sulit oleh karenanya menjumpai patung Guan Yu di kelenteng-kelenteng dan kuil-kuil yang ada di seantero daratan Asia. Patung Guan Yu dipercaya oleh penganut agama Konghucu, Taoisme ataupun Budha sebagai dewa perang yang mampu menjaga dari roh-roh jahat.* Panglima bergelas Pedang Allah yang Terhunus..
No comments:
Post a Comment