Puasa Sebelum Nabi Muhammad Diutus Allah (1)
Ilustrasi.
Puasa Sebelum Nabi Muhammad Diutus Allah

Bangsa Arab terdahulu pada masa Jahiliah memiliki tradisi berpuasa beberapa hari yang dimulai pada pertengahan bulan Sya'ban untuk menyambut musim panas dan sarana mendekatkan diri kepada tuhan mereka.

Dalam kitab perjanjian lama dijelaskan banyak peristiwa puasa yang dilakukan oleh para nabi, seperti Nabi Yehezkiel, Daniel, dan Daud.
Seluruh kitab suci samawi diturunkan pada bulan Ramadhan. Islam sangat memuliakan dan mengutamakan bulan itu dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya.



BANYAK buku klasik dan modern yang membahas secara terpadu bahwa bulan Ramadhan merupakan bulan penuh kemuliaan pada masa Jahiliah dan sangat dikenal oleh berbagai bangsa dan agama terdahulu sebelum Islam datang. Islamlah satu-satunya agama yang mewajibkan puasa sebulan penuh pada bulan itu. Hal itu diperkuat melalui firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (al-Baqarah: 183)

Bangsa Arab terdahulu pada masa Jahiliah memiliki tradisi berpuasa beberapa hari yang dimulai pada pertengahan bulan Sya’ban untuk menyambut musim panas dan sarana mendekatkan diri kepada tuhan mereka. Mereka pun menjadikan musim panas sebagai musim subur dan waktu untuk bercocok tanam. Oleh karena itu, banyak dari mereka yang berpindah-pindah untuk mengekspresikan bahasa dan kesusasteraan pada saat itu.

Jika kita membaca karya Syekh Baquri tentang kesusasteraan Arab kuno, yang berjudul Ma’as Shaimin, ada catatan yang menjelaskan bahwa bangsa Arab pada masa Jahiliah sebelum Nabi Muhammad Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam diutus, telah mengenal ash-shiyam atau puasa, yang berarti berpindah-pindahnya orang dalam bersyair dan berpantun yang disampaikan oleh kaum muda dari para sesepuhnya. Arti lain dari puasa pada masa itu adalah menahan gerak, baik yang dilakukan oleh hewan, benda mati, maupun manusia. Itulah maksud yang disebutkan dalam budaya bahasa Arab kuno, seperti ungkapan syair berikut ini,

“Kuda yang berpuasa dan ada yang tidak berpuasa yang menebarkan debu, dan kuda dengan tali kekang yang ditarik di mulutnya”

Penyair tersebut membagi tiga macam kuda. Pertama, kuda yang berpuasa di kandangnya dan tidak bergerak. Kedua, kuda yang menebarkan debu sebelum dimulai pertempuran, dan ketiga kuda yang ditarik tali kekangnya untuk masuk ke dalam medan pertempuran.

Ada banyak syair pada masa Jahiliah yang menggambarkan shiyamurrih `puasa angin’. Maksud dari puasa angin adalah tunduk dan tidak bergerak, seperti orang yang mengatakan dalam bait syair shamatis syamsu `matahari berpuasa’. Artinya bahwa matahari itu ada, namun tidak bergeser dari tempatnya karena dalam posisi tegak lurus. Alat katrol digambarkan dengan berpuasa ketika berhenti dan tidak berputar mengeluarkan ember dari dalam sumur. Sebagaimana dikatakan dalam syair,

Seburuk-buruk ember adalah yang terus dipakal; tanpa diganti
Seburuk-buruk alat katrol, jika tidak berfungsi

Artinya adalah bahwa ember kecil yang terus dipakai pemiliknya dan tidak ada pengganti, diumpamakan dengan ember yang buruk dan katrol yang tidak dapat berputar adalah katrol yang buruk, menurut bangsa Arab pada masa Jahiliah.

Orang Arab juga menggunakan kata shiyam untuk tempat berdirinya kuda tanpa melakukan gerakan apa pun. Kata itu juga dipakai pada tempat yang ada di langit, tempat timbulnya bintang kecil bagi orang yang memandangnya, seakan-akan bintang itu tergantung, tidak berubah ataupun hilang, karena dari sudut pandangnya ia tetap di posisinya dan tidak bergerak. Itulah perkataan seorang yang cerdas dalam menggambarkan panjangnya malam. la menggambarkan di dalam syairnya bahwa sekumpulan bintang yang dikenal dengan bintang kecil tetap pada posisinya, tidak bergerak, seakan-akan terikat dengan batu besar dan talinya terbuat dari serabut yang kuat.

Kata as-shiyam disebutkan di dalam Al-Qur’an. Dari segi bahasa, dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, melalui mulut Maryam a.s.,

“… aku telah bernazar berpuasa untuk Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini.” (Maryam: 26)

Puasa dalam ayat itu berarti diam dan menahan diri untuk tidak berbicara. Arti kata tersebut telah dikenal sebelum Islam datang.

Bangsa Arab kuno menyambut Ramadhan dengan unta yang masih produktif sebagai bentuk penghormatan terhadap bulan ini, sehingga nama yang diambil untuk Ramadhan dalam bahasa Arab berasal dari kata ar-Ramdhu, yaitu hujan yang datang setelah musim kering, sehingga tanah terasa panas terbakar. Ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa kata itu berarti panas yang terik, ketika seseorang mengatakan ramadhat qadamahu, artinya kakinya terbakar karena panas yang terik. Dinamakan begitu agar merasakan haus dan lapar karena panas itu.

Dalam arti lain dikatakan bahwa dinamakan Ramadhan karena ia membakar dosa dan meleburnya dengan amal saleh. Dikatakan seperti itu karena hati manusia mengambil hikmah dan berpikir tentang kehidupan akhirat. Hal itu juga berarti menyelamatkan diri dari batu gurun dan pasirnya yang panas karena terkena terik matahari.

Ramadhan, menurut penyair Musthafa Abdurrahman berarti bahwa bangsa Arab memendam peralatan perang mereka dan menyembunyikannya di balik batu sebagai persiapan untuk berperang pada bulan Syawwal, sebelum tiba bulan yang diharamkan untuk berperang.*

DALAM pandangan Islam, Ramadhan diambil dari kata Ramadha yang berarti `panas terik di musim panas yang menyebabkan panasnya kerongkongan karena kehausan’. Arti tersebut memberikan kejelasan tentang musim yang terjadi pada bulan itu. Bangsa Arab kuno terbiasa memisahkan antara tahun qamariyah dan tahun syamsiah dengan mengambil patokan pada bulan yang telah terlewatkan.

Inilah arti puasa menurut aspek bahasa dan sastra Arab yang berhubungan erat maknanya dengan aspek hukum Islam. Puasa secara syar’i berarti ‘menahan diri dari hal yang membatalkan’, yaitu makan, minum, dan lainnya, yang dibarengi dengan niat sejak terbitnya fajar, hingga matahari terbenam. Kesempurnaan dan kelengkapan ibadah puasa itu adalah dengan menghindari segala larangan dan tidak terjerumus ke dalam perbuatan yang haram.

Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan yang keji dan perbuatannya, maka Allah tidak memiliki keperluan untuk meninggalkan makan dan minumnya.”

Sebelum bangsa Arab kuno mengenal puasa, ada bangsa sebelumnya yang telah mengenal puasa. Hal itu telah dilakukan oleh masyarakat Mesir kuno yang diikuti oleh bangsa Yunani dan Romawi. Tradisi puasa pun telah dikenal oleh agama lain selain agama samawi, seperti ajaran minyawi, Hindu, dan Budha.

Puasa juga diakui oleh Yahudi dan Kristen. Dalam kitab perjanjian lama dijelaskan banyak peristiwa puasa yang dilakukan oleh para nabi, seperti Nabi Yehezkiel, Daniel, dan Daud.

Dalam kitab Taurat bagian kedua, berbunyi, “Aku memanggil, di sana untuk berpuasa di sungai Ahwa, agar kami dapat merendah di hadapan Tuhan kami, untuk meminta jalan yang lurus kepadanya untuk kita, anak-anak, dan setiap harta kita.”

Dalam Al-Kitab dikatakan, `Adakanlah puasa yang kudus.. ..” (Perjanjian Lama, Yoel:1:14)

Pada bagian kedua dikatakan, “Tetapi sekarang juga,’Demikianlah firman Tuhan, ‘Berbaliklah kepada-Ku dengan segenap hatimu, dengan berpuasa, dengan menangis, dan dengan mengaduh. Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu, berbaliklah kepada Tuhan, Allahmu, sebab Ia pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia. Dan Ia menyesal karena hukuman-Nya. Adakanlah puasa yang kudus maklumkanlah perkumpulan raya, kumpulkan bangsa ini, kuduskanlah jemaah…: ” (Perjanjian Lama: Yoel: 2: 12-16)

Dalam Al-Kitab surat keluaran dikatakan, “Ditetapkan bahwa Musa berada pada Tuhannya selama empat puluh hari empat puluh malam, tanpa memakan roti dan tidak meminum seteguk air.”

Di dalam Al-Kitab surat raja-raja dikatakan, “Bahwa Nabi Elia berjalan dengan tergopoh, tanpa makan selama empat puluh hari empat puluh malam ke sebuah gunung, yang disebut Horeb.”

Di dalam Al-Kitab surat Zakaria dikatakan, “Beginilah firman Tuhan semesta alam kepadaku, ‘Waktu puasa dalam bulan keempat, dalam bulan yang kelima, dalam bulan yang ketujuh, dan dalam bulan yang kesepuluh akan menjadi kegirangan dan suka cita dan menjadi waktu-waktu perayaan yang menggembirakan bagi kaum Yehuda. Maka cintailah kebenaran dan damai!” (Perjanjian lama: Surat Zakharia: 8:19)

Dalam surat Matius dikatakan, “Dan apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata kepadamu, ‘Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu, dan cucilah mukamu. Supaya jangan dilihat oleh orang, bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.'” (Perjanjian baru: Mathius: 6:16-18)

Dalam bagian ketujuh belas surat Matius dikatakan, “Kemudian murid-murid Yesus datang dan ketika mereka sendirian dengan Dia, bertanyalah mereka, ‘Mengapa kami tidak dapat mengusir setan itu?’ Ia berkata kepada mereka, ‘Karena kamu kurang percaya. Sebab aku berkata kepadamu, ‘Sesungguhnya sekiranya kamu mernpunyai iman sebesar biji sawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: pindah dari tempat ini ke sana, maka gunung itu akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu. Jenis itu tidak dapat diusir kecuali dengan berdoa dan berpuasa.”‘

Dalam Injil Matius dikatakan bahwa Nabi Isa berpuasa selama empat puluh hari di daratan. Dan para hawariyyun (murid-murid Isa) berpuasa dari daging, ikan, telur, dan susu.

Dalam surat Paulus kedua kepada jemaat di Kornitus, dia berkata, “Sebaliknya, dalam segala hal kamu menunjukkan bahwa kami adalah pelayan Allah, yaitu dalam menahan dengan penuh kesabaran dalam penderitaan, kesesakan, dan kesukaran. Dalam menanggung dera, dalam penjara, dalam berjerih payah, dalam berjaga-jaga dan berpuasa….” (Perjanjian Baru, surat Paulus kepada jemaat di Kornitus: 6:4-5)

Inilah gambaran berbagai bentuk puasa yang telah diwajibkan kepada umat terdahulu. Di antara mereka ada yang hanya berpuasa dari makanan tertentu, ada yang berpuasa dari makan dan minum selama beberapa jam, ada yang berpuasa dari terbitnya bintang hingga terbit kembali di hari berikutnya, ada juga yang berpuasa dari berbicara selain bertasbih dan berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.*

DALAM Islam puasa memiliki arti begitu penting, bahkan tingkat penghargaan itu dapat dilihat melalui sabda Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam,

“Kitab Ibrahim diturunkan pada malam pertama di bulan Ramadhan, diturunkan Taurat pada hari keenam bulan Ramadhan, Injil diturunkan pada hari ketiga belas di bulan Ramadhan, dan Al-Qur’an diturunkan pada tanggal dua puluh empat di bulan Ramadhan.”

Artinya seluruh kitab suci samawi diturunkan pada bulan Ramadhan. Bahkan, Islam sangat memuliakan dan mengutamakan bulan itu dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Sebagian cendekiawan dan ulama muslim berpendapat bahwa Ramadhan merupakan salah satu dari nama Allah. Mereka beralasan bahwa setiap bulan Ramadhan disebutkan di dalam ayat, belum pernah disebutkan secara terpisah, tanpa diberikan tambahan, seperti yang disebutkan pada bulan-bulan Hijriah lainnya seperti Sya’ban, Shafar, atau Muharram.

Diriwayatkan oleh penulis kamus Lisanul Arab dari Mujahid r.a. bahwa menjamakkan kata ramadhan sangat dibenci, karena bentuk jamaknya, seperti jamak muannast salim, jadi disebut dengan ramadhanat. Hal itu tidak diperbolehkan karena termasuk salah satu dari nama Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Inilah gambaran yang tentang bulan Ramadhan, sebelum dan pada masa Islam.*

Dari tulisan Samih Kariyyam dalam buku Indahnya Ramadhan Rasulullah.

Rep: Admin Hid
Editor: Syaiful Irwan

No comments: