Buya : Merantau

buya_hamka
MALIK sering menempuh perjalanan jauh sendirian, berkelana ke sejumlah tempat di Minangkabau sehingga ayahnya memberi julukan “Si Bujang Jauh”. Dalam usia baru menginjak 15 tahun, Malik telah berniat pergi ke pulau Jawa. Ia kabur dari rumah, pergi tanpa meminta izin ayahnya. Ia hanya pamit kepada anduangnya di Maninjau.
Dari sana Malik memulai perjalanan dengan bekal ongkos yang diberikan andungnya. Ia menempuh perjalanan melalui darat dengan singgah terlebih dahulu di Bengkulu, berencana menemui kerabat satu suku dari ibunya untuk meminta tambahan ongkos. Ketika sampai di pelabuhan dekat Bengkulu, Malik yang merasakan tubuhnya panas sempat bermalam sampai dua hari. Ia mendapat pertolongan dari seorang saudagar yang mengantarnya sampai ke Ketahun.
Dalam kondisi sakit, Malik meneruskan perjalan ke Napal Putih dan setelah itu diantarkan ke kerabatnya, sementara tubuhnya mulai diserang cacar. Setelah dua bulan meringkuk menunggu kesehatannya pulih, Malik dipulangkan ke Maninjau. Ia menemui neneknya, sebelum pulang ke Padangpanjang. Bekas luka cacar menyisakan bopeng di sekujur tubuhnya membuat Malik dihindari teman dan kerabatnya.
Pada Juli 1924, Malik memulai perjalanannya ke Jawa. Malik mengungkapkan keinginannya dan meminta restu kepada ayahnya untuk merantau, berjanji akan belajar agama kepada Ahmad Rasyid Sutan Mansur. Dalam perhentian pertama di Yogyakarta, Malik bertemu dengan pamannya Jafar Amrullah.
Malik mengambil waktu belajar kepada Bagoes Hadikoesoemo, mempelajari tafsir Baidhawi. Setelah diperkenalkan dengan Sarekat Islam, ia bergabung menjadi anggota dan mendapat kelas belajar kepada HOS Tjokroaminoto, Fakhruddin, dan Suryopranoto. Malik mengikuti kelas dengan tekun, sering bertanya dan menyalin pelajaran yang didapatnya. Dari keterlibatannya dengan perserikatan Islam, Malik melihat perhatian umat Islam di Jawa terhadap pendidikan, berbeda dengan di Minangkabau—karena telah seragam memeluk Islam—yang saat itu memperdebatkan penyimpangan praktik Islam.
Setelah melewatkan waktu enam bulan di Yogyakarta, Malik meneruskan perjalanan ke Pekalongan, memenuhi janjinya untuk bertemu kakak iparnya Ahmad Rasyid Sutan Mansur. Dari kakak iparnya, Malik mendapatkan kesempatan mengikuti berbagai pertemuan Muhammadiyah dan berlatih berpidato di depan umum. Menyusul ditundanya Kongres Kekhalifahan Internasional pada 1924, ayahnya yang urung berangkat ke Mesir menyempatkan berkunjung ke Pekalongan, meninggalkan pesan kepada Hamka agar kembali ke Padangpanjang untuk membantu membendung penyebaran paham komunis. “Kamu harus terus berada di sini bagi meneruskan tanggung jawab menjaga ummah,” pesan ayahnya.
Saat kembali ke Padangpanjang, propoganda Partai Komunis Indonesia telah memengaruhi murid-murid Thawalib. Malik menjalankan pesan ayahnya. Ia menuangkan pengetahuannya ke dalam majalah Tabligh Muhammadiyah yang dirintisnya. Gurunya Zainuddin dan pemilik percetakan Bagindo Sinaro ikut membantu pembuatan dan distribusi majalah.
Pada saat yang sama, Malik harus membagi waktu untuk berpidato, bolak-balik dari Maninjau ke Padangpanjang. Malik mengambil kesempatan untuk tampil berpidato setiap ayahnya usai memberikan tausyiah. Malik rutin berpidato di Padangpanjang. Ia masih menyempatkan waktunya untuk memberikan pelajaran berpidato.
Beberapa orang yang belajar kepada Malik, membuat materi pidato sendiri yang akan dikumpulkan Malik untuk diterbitkan dalam sisipan kumpulan pidato majalah Tabligh Muhammadiyah. Malik melengkapi dan menyunting bagian pidato yang diterimanya sebelum diterbitkan, tetapi tetap mencantumkan nama mereka sendiri. Dari kesibukannya menulis dan menyunting naskah pidato, Malik mulai mengetahui dan menuangkan kemampuannya dalam menulis.
Meskipun mendapatkan sambutan baik saat kepulangannya, penerimaan masyarakat terhadap Malik adalah sebatas mubalig yang hanya berpidato. Dalam membacakan ayat atau kalimat bahasa Arab, Malik tidak fasih karena tidak memahami tata letak bahasa, ilmu nahu dan sharaf.
Hal tersebut dikaitkan karena Malik tidak pernah menyelesaikan pendidikannya di Thawalib. Ia pernah dikatakan sebagai “tukang pidato yang tidak berijazah”. Ayahnya mengakui bahwa Malik masih belum cukup ilmu walaupun pandai berceramah dan berdebat dalam hal agama. “Pidato-pidato saja adalah percuma, isi dahulu dengan pengetahuan, barulah ada arti dan manfaatnya pidato-pidatomu itu.” Malik berasa kecil hati dengan sindiran ayahnya, merenung nasib dirinya yang tak pernah tamat belajar meski telah berpindah-pindah sekolah. Saat Muhammadiyah membuka sekolah di Padangpanjang, dibuka penerimaan guru.
Malik bersama banyak teman-temannya yang pulang dari Jawa ikut melamar. Para pelamar diharuskan mengisi formulir yang menerangkan nama, alamat, dan pendidikan disertai lampiran bukti kelulusan seperti diploma atau ijazah. Pada hari pengumuman pelamar yang lolos sebagai guru, Malik tidak lolos karena tidak memiliki diploma. Hal ini menambah kekecewaan Malik sejak kepulangannya, berpikir untuk kembali pergi meninggalkan kampung halamannya. []

Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Abdul_Malik_Karim_Amrullah

No comments: