Ketika Laut Mereh Terbelah (Seri Keilmiahan Al-Qur’an: jasad Fir’aun)
Perkenalkan Namanya “Fir’aun”
Orang-orang memanggilnya dengan sebutan Fir’aun. Sebuah gelar kehormatan untuk para pembesar negeri seribu menara zaman dahulu kala. Setiap raja yang menduduki tahta kehormatan, secara otomatis akan mendapatkan gelar fir’uan, sebagaimana gelar kisra untuk para raja Persia dan kaisar untuk para raja Romawi. Fir’aun, yang memiliki nama asli Ramses III merupakan raja yang hidup pada zaman Musa As. Ada juga versi yang mengatakan Ramses II adalah raja yang berkuasa di saat Musa lahir, kemudian digantikan dengan anaknya Ramses III yang hidupnya berujung di tengah ganasnya ombak laut merah.
Di Mesir kala itu, terdapat dua komunitas besar. Komunitas pertama adalah penduduk asli tanah seribu pyramid itu, yang terkenal dengan sebutan Qibti. Sedangkan komunitas kedua adalah bangsa Keturunan Israel (Bani Israel) yang mondar-mandir kesana kemari tidak punya tanah air yang jelas sampai hari ini. Kerajaan Fir’aun merupakan kerajaan Qibtiyah. Para pengguasanya berasal dari suku Qibti asli. Sedangkan Bani Israel hanyalah pendatang yang mencari sesuap nasi di tengah ganasnya padang pasir dan bengisnya Ramses III. Bani Israel merupakan bangsa yang sangat dihinakan oleh para pengguasa Mesir kala itu. Mereka dijadikan budak yang dipaksa mengangkut balokan-balokan batu raksaksa untuk pembangunan makam raja-raja qibti di dalam pyramid yang disucikan, diperintah unutk memeras anggur-anggur sebagai minuman kebanggaan meeka, dipaksa untuk menggarap lahan-lahan pertanian tanpa imbalan yang pantas, dan sederet kerja paksa berat lainnya.
Sebenarnya Fir’aun tidak hanya raja yang keras dan bengis terhadapa Bani Israel semata. Namun akan menghukum siapa saja yang berani menentang dan melanggar perintahnya. Sangking bengis dan kejamnya Fir’aun sampai mengklaim bahwa dirinya adalah seorang raja, sekaligus maha raja alam semesta. Fir’aun dengan kebodohannya, memproklamirkan dirinya sebagai Tuhan yang harus di sembah. Untuk menyakinkan bahwa dia adalah tuhan, maka dia mengunakan akal ciutnya untuk mengelabuhi masyarakat oase terjal seribu menara tersebut. Sudah menjadi lanjim, bahwa tuhan adalah dzat yang mematikan dan menghidupkan. Untuk itulah Fir’aun membunuh dan membiarkan yang lainnya hidup, dengan maksud ingin menunjukkan bahwa dialah yang dimaksud dengan penentu kematian dan pemberi kehidupan.
Orang yang bersujud di kaki Fir’aun akan mendapatkan imbalan, mendapatkan harta, bahkan akan mendapatkan kedudukan. Dengan tipauan seperti itupula, Fir’aun ingin menunjukan bahwa dia adalah pemberi rahmat. Pemberi rizeqi, penolong bagi kaum bawah. Dan sebagainya. Begitula tipauan licik Fir’aun untuk mengelabuhi kaum padang pasir tersebut.
Mimpi Buruk di tengah istana
Di tengah kerlap-kerlip lampu istana yang mega, dengan ribuan pasukan penjaga yang menenteng tombak, pedang dan anak panah. Dengan selir yang tak terhitung jumlahnya. Dengan kuasa Allah, Allah memasukkan sebuah mimpi kedalam tidur nyenyak Fir’aun di atas ranjang sutranya. Hembusan mimpi bak angin malam yang menghanyutkan, memasuki cela-celas istana tanpa satu penjaga pun yang tahu, menyelinap menerobos dinding kuat kamar Fir’aun dan segera menemukan sasaran, Fir’aun yang tengah terlelap.
Allah memperlihatkan kepada Fir’aun dalam mimpinya, sebauh nyala api raksaksa, dengan merah menyala siap menyantap apa saja muncul dari arah baitul maqdis di Palestina. Tempat Maryam beriktikaf menyembah Tuhannya. Nyala api tersebut sedikit demi sidikit melahap bangunan-bangunan qibti bersama isinya. Tak satupun qibti yang selamat hingga nyala raksaksa api yang merah berlari bagai halilintar menuju istana Fir’aun yang perkasa. Dalam mimpinya tersebut. Fir’aun melihat sebuah keanehan yang luar biasa. Semua orang qibti mati terpangangan bagai sosis di penggorengan, sedangkan orang-oran bani Israel tengan santai melahap jus mangga di atas dipan-dipan padang pasir. Seoalah api-api tersebut takut dengan orang-orang dari bani Israel dan tidak ada satupun yang kehilangan anggota keluarganya. Kejadian itu seperti kejadian api yang sama sekali tidak membarikan madhorot terhadap Ibarahim As. Ketika para penyembah berhala mengumpulkan kayu bakar, menyalakanya, dan kemudian melemparkan jasad suci Ibrahim di tengah kobaran api yang membara. Namun setelah diamati beberapa saat, saat api mulai padam dan kayu-kayu mulai menghitam menjadi arang, mereka melihat Ibrahim As masih bisa benafas segar bagai seorang lelaki yang sedang menghabiskan senjanya dipingir sungai nil dengan panorama matahari yang mulai menghilang di ufuk barat nan jauh di sana.
Fir’aun pun terbangun dari tidur nyenyak yang berakhir dengan mimpi buruk tersebut. Rasa gundah mulai mengelayuti pikiran Fir’aun. Raja yang terkenal bengis yang juga memproklamirkan diri sebagai pengguasa alam semesta itu berubah menjadi orang yang linglung. Bagai bunga matahari yang tersenyum dipagi hari namun berubah layu tak berdaya di sora hari. Fir’aun yang kejam menjadi pendiam, Fir’aun yang bengis hanya bisa meneteskan air mata dan menagis. Menebak, menerawang ke sudut candela istana, seolah-olah berusaha menunggu jawaban atas mimpinya dari burung gereja yang biasa singga di atas plafont istana.
Tak sabar, dan tidak juga menemukan jawaban, sedangkan jiwanya sudah semakin berkecamuk diliputi ketakutan dan kebingungan. Fir’aun mengumpulkan pendekar-pendekar sihirnya di istana. Maka datanglah satu persatu dukun-dukun Fir’aun tersebut, dan langsung mengambil tempat di tempat utama istana, di mana disana terletak singgasana kehormatannya.
Fir’aun pun memulai pembicaraan. Menceritakan apa yang ada di dalam mimpinya dengan detail. Tanpa mengurangi satu peristiwa atau menambah satu peristiwa. Namun kali ini dia menampakkan sikap biasa-biasa saja. Mencoba untuk menghilangkan raut ketakutan dalam wajahnya. Supaya Fir’aun tetap terlihat gagah, perkasa yang pantas jadi penguasa.
Selesailah Fir’aun dengan basa basinya terhadap para tukang sihirnya. Setelah mendengarkan dengan seksama, tukang-tukang sihir tersebutpun mulai menerawang jauh ke atas. Mencoba untuk mengulik pengetahuan dari jin-jin peliharaan mereka. Setelah wahyu dari syetan turun kejantung hati para penyihir, mulailah mereka berbicara dan mengabarkan bahwa nanti akan lahir seorang anak lelaki dari bani Israel yang akan menghancurkan istanamu. Merobohkan kekuasaanmu dan juga menghabisi nyawamu.
Mendengar takwil mimpi dari para tukang sihirnya, Fir’aun kembali pucat puti menggigil ketakutan. Bingung dengan apa yang akan terjadi, maka Fir’aun mengumpulkan para panglima dan prajuritnya. Segera memberikan intruksi untuk menghabisi semua anak laki-laki yang lahir dari rahim wanita bani Israel.
Peti kematian dari suangai Nil
Perintahpun mulai dilaksanakan. Para prajurit dengan menenteng senjatanya mulai meninggalkan istana Fir’aun. Mereka menerobos jalanan-jalanan kecil, pasar, dan tempat keramaian dengan kecongkakan sebagaimana kecongkakan rajanya. Satu persatu rumah diketuk, dobrakan kasar akan didapatkan penghuni rumah jika tidak juga membuka pintunya.
Dengan raut muka kasar bagai tanah yang baru dibajak, para perajurit mengintrogasi masyarakat bani israil. Menanyakakan ikhwal mereka. Apakah ada diantara mereka yang melahirkan anak laki-laki. Jika sang empunya rumah mengatakan tidak ada dan tidak tahu, rumah akan digeladeh. Sudut-sudut kecilpun tidak terlewatkan, bahkan sampai kandang ternakpun tak lepas dari pemeriksaan. Jika mereka menemukan bayi laki-laki. Perajurit Fir’aun akan segera membelah dadanya menjadi dua. Tidak peduli dengan raungan ibunda tercintanya. Yang telah mengandungnya Sembilan bulan sepuluh hari. Yang telah mempertarukan nyawanya demi kelahiran yang putra tercinta.
Para wantia bani Israel dilanda kesedihan mendalam. Ketakutan yang sangat. bagaimana mungkin mereka bisa teger melihat buah hatinya sekarat tercincang menjadi dua bagian, dan darah segar mengalir dari tubuh halus dan lembutnya. Hanya tangisan. Hanya kesedihan yang tidak tahu kapan akan berakhir dan tidak tahu pula obat apa yang bisa digunakan. Ya, mereka hanya bisa menangis sesengukan. Tidak bisa berbuat apa-apa.
Lain halnya dengan keluarga Imron bin Qohis. Di tengah rumah sederhananya, istrinya sedang kebingungan dengan apa yang akan dilakukannya. Pasalnya, dia juga seoerang wanita yang baru saja melahirkan seorang anak laki-laki. Takut dan tidak rela anaknya tewas meregang nyawa di tangan para serdadu Fir’aun. Ibunda tercinta berfikir keras untuk menemukan ide. Maka terbesitlah ide untuk menghanyutkan buah hatinya yang kecil manis tersebut. Ide untuk menghanyutkan bayi kecil itu bukanlah tamu yang datang tidak diundang. Melainkan sebuah wahyu dan sekenario maha dasyat dari Tuhan Alam Semesta yang sesungguhnya.
Maka mulailah dibuatkan peti kecil dan dibuat senyaman mungkin untuk sang bayi. Setelah selesai dibuat dan dilapisi dengan kain sebagai penghangat badan, mulailah sang ibu manaruh bayi mungil nan lucu tersebut ke dalam peti diiringi dengan bulir-bulir berlian ari mata. Setelah melatakkan bayinya dengan posisi senyaman mungkin, mulailah sang ibu membawanya ke tepi sungai, sungai yang mengalir menuju istana yang ada di oase kinanah tersebut.
Bersama sang saudara, atau bibik dari sang bayi. Ibundanya melapas kepergiannya diatas deruan angin sungai yang sejuk, mulailah peti tersebut berjalan sedikit-demi sidikit, dan menjauh, mengikuti arus tenang sungai. Tak tega dengan apa yang akan terjadi terhadapa bayinya, ibundanya memerintahkan saudara perempuannya untuk mengikuti laju peti yang membawah bayi kecilnya tanpa ada seorangpun yang melihatnya mengikuti peti tersebut.
Maka mengalirlah peti tersebut mengikuti hukum alam ke daerah yang lebih rendah hingga sampai di daerah yang sangat dekat dengan istana Fir’aun. Tak disangka, di sungai sedang ada para pembantu Fir’aun yang sedang mandi dan mencuci. Melihat ada sebuah peti berjalan dari arah depan menuju mata mereka, mereka mencoba untuk menagkap peti terebut dan membawanya ke tepian. Dengan rasa was-was para pembantu tersebut membuka tutup peti tersebut. Dan wah, mereka dibuat kaget dengan apa yang dilihatnya. Seorang anak laki-laki mungil dengan paras tampan penuh pesona dan wibawah. Maka dibawalah bayi kecil tersebut kepada salah satu istri Fir’aun. Setelah melihat paras bangsawan bayi kecil tersebut, istri Fir’aun jatuh hati dan berniat untuk mengadopsi anak tersebut.
Namun Fir’aun menolak, marah-marah, sekaligus bergumang. “ bagaimana mungkin aku memelihara anak laki-laki bani Israel, sedangkan ramalan bahwa kekuasaanku ini akan runtuh dibuatnya, aku mendatangi rumah-rumah bani Israel dan memenggal anak-anak lelaki mereka, dan sekarang ada anak lelaki datang sendiri ke istanakan, aku harus merawatnya ?”. Fir’aun juga segera memerintahkan perajuritnya untuk menghabisi nyawa bayi mungil tersebut. Tak putus asa istri Fir’aun dengan argumentasi diplomatis Fir’aun. Mencoba untuk merayu dan merubuhkan keangkuhan dan kekeras kepalaan Fir’aun. “ Mungkin kita bisa mengangkat bayi ini menjadi anak angkat, barang kali takdir berkehendak lain, dia bisa membantu kerajaan dan menjadi kebanggan kita”. Maka lululah hati Fir’aun yang keras dengan rayuan maut sang istri. “ Baiklah, engkau yang urus dia”. Mendengar jawaban dan keputusan Fir’aun yang menyenangkan. Bergembiralah sang istri dan mulai merawat bayi kecil tersebut seperti anaknya sendiri.
Makar Allah versus Makar Fir’aun
“ Maka mereka menipu Allah, Allahpun menipu mereka, dan Allah adalah sebaik-baik pembuat tipu daya”. Begitulah kalam Illahi dalam surah ali-Imran ayat 54. Fir’aun dan bala tentaranya memasuki gang-gang kecil untuk mencari bayi laki-laki yang baru dilahirkan kemudian dibunuh. Namun dalam sisi yang tidak diduga-duga, malah ada seorang bayi dari bani Israel yang datang ke istananya dan menjadi dewasa di sana.
Bayi tersebut adalah Musa As. Anak dari Imran bin Qohis. Kakek ketiganya adalah Lawi, saudara Yusuf yang perna menceburkan Yusuf ke sebuah Sumur. Kakek keempatnya adalah Ya’qub, seorang yang buta karena kesedihan mendalan akibat ulah anak-anaknya, yang juga dari namanyalah disematkan nama bani Israel. Kakek kelimanya adalah ishaq, saudara bedah ibu dari Ismail. Seorang akan disembelai tapi diganti dengan domba, dan kakak keenamnya adalah Ibrahim As. Seorang nabi Agung yang dari keturunanyalah banyak nabi bermunculan.
Sebagaimana bayi pada umumnya. Musa kecil sangat memerlukan Asi. Maka dicarilah para wanita untuk memberikan air susunya kepada Musa kecil. Semua wanita sudah dicoba, tapi tidak ada satupun wanita yang diterima oleh Musa kecil. Dia menangis. Makin menjadi karena kehausan. Maka diadakanlah sayembara. Siapa yang berhasil menenagkan Musa kecil dengan Asinya, akan diberi imbalan yang besar luar biasa.
Maka disebarlah sayembara tersebut oleh para serdadu Fir’aun. Mereka menyebarkannya di tempat-tempat umum seperti pasar. Saat itu, kebetulan bibik Musa kecil, yang dahulu membuntuti petinya, berada di pasar dan mengetahui sayembara tersebut. Maka bergegaslah pulang dengan secepatnya untuk menemui kakaknya, Ibunda Musa kecil. Tak berfikir panjang. Datanglah ibu Musa ke istana dan langsung diserahkan kepadanya Musa kecil yang makin menjadi tangisannya. Didekatkanlah bibirnya ke puting susu sang ibu yang tidak ada satupun yang tahu kalau wanita itu adalah ibu kandungnya, kecuali bibiknya.
Maka, seketika Musa kecil diam dan menyedot asi dari puting susu ibundanya dengan aman tanpa ada rasa takut. Setelah kenyang, dikembalikanlah Musa kecil kepangkuan istri Fir’aun. Maka, diberilah imbalan yang besar kepada ibu Musa kecil. Istri Fir’aun meminta ibundanya tersebut untuk datang tiap hari untuk menyusuinya dan akan diberi imbalan yang sama banyaknya. Begitu seterusnya sampai masa penyapihan datang.
Kejadian yang terjadi tersebut, merupakan sebuah bentuk makar yang luar biasa. Tatkala wanita bani Israel ketakutan dan bertangisan karena anaknya dipenggal, ibunda Musa dan Musa kecil mala bisa hidup damai tentram dengan harta yang melimpah, imbalan dari istana. Padahal sebelumnya Ibunda Musa sangat ketakutan terhadap nasibnya dan nasib anaknya, Musa. Begitualah tipudaya Allah, jika sudah berkehendak, tidak akan ada yang bisa menolaknya. Jika Allah ingin memberikan sesuatu, tidak akan ada yang bisa menahan-Nya. Dan jika Allah ingin menahan sesuatu, tidak ada yang bisa memaksa-Nya.
Berlanjut >>>Musa As VS Fir’aun
Chil So
Orang-orang memanggilnya dengan sebutan Fir’aun. Sebuah gelar kehormatan untuk para pembesar negeri seribu menara zaman dahulu kala. Setiap raja yang menduduki tahta kehormatan, secara otomatis akan mendapatkan gelar fir’uan, sebagaimana gelar kisra untuk para raja Persia dan kaisar untuk para raja Romawi. Fir’aun, yang memiliki nama asli Ramses III merupakan raja yang hidup pada zaman Musa As. Ada juga versi yang mengatakan Ramses II adalah raja yang berkuasa di saat Musa lahir, kemudian digantikan dengan anaknya Ramses III yang hidupnya berujung di tengah ganasnya ombak laut merah.
Di Mesir kala itu, terdapat dua komunitas besar. Komunitas pertama adalah penduduk asli tanah seribu pyramid itu, yang terkenal dengan sebutan Qibti. Sedangkan komunitas kedua adalah bangsa Keturunan Israel (Bani Israel) yang mondar-mandir kesana kemari tidak punya tanah air yang jelas sampai hari ini. Kerajaan Fir’aun merupakan kerajaan Qibtiyah. Para pengguasanya berasal dari suku Qibti asli. Sedangkan Bani Israel hanyalah pendatang yang mencari sesuap nasi di tengah ganasnya padang pasir dan bengisnya Ramses III. Bani Israel merupakan bangsa yang sangat dihinakan oleh para pengguasa Mesir kala itu. Mereka dijadikan budak yang dipaksa mengangkut balokan-balokan batu raksaksa untuk pembangunan makam raja-raja qibti di dalam pyramid yang disucikan, diperintah unutk memeras anggur-anggur sebagai minuman kebanggaan meeka, dipaksa untuk menggarap lahan-lahan pertanian tanpa imbalan yang pantas, dan sederet kerja paksa berat lainnya.
Sebenarnya Fir’aun tidak hanya raja yang keras dan bengis terhadapa Bani Israel semata. Namun akan menghukum siapa saja yang berani menentang dan melanggar perintahnya. Sangking bengis dan kejamnya Fir’aun sampai mengklaim bahwa dirinya adalah seorang raja, sekaligus maha raja alam semesta. Fir’aun dengan kebodohannya, memproklamirkan dirinya sebagai Tuhan yang harus di sembah. Untuk menyakinkan bahwa dia adalah tuhan, maka dia mengunakan akal ciutnya untuk mengelabuhi masyarakat oase terjal seribu menara tersebut. Sudah menjadi lanjim, bahwa tuhan adalah dzat yang mematikan dan menghidupkan. Untuk itulah Fir’aun membunuh dan membiarkan yang lainnya hidup, dengan maksud ingin menunjukkan bahwa dialah yang dimaksud dengan penentu kematian dan pemberi kehidupan.
Orang yang bersujud di kaki Fir’aun akan mendapatkan imbalan, mendapatkan harta, bahkan akan mendapatkan kedudukan. Dengan tipauan seperti itupula, Fir’aun ingin menunjukan bahwa dia adalah pemberi rahmat. Pemberi rizeqi, penolong bagi kaum bawah. Dan sebagainya. Begitula tipauan licik Fir’aun untuk mengelabuhi kaum padang pasir tersebut.
Mimpi Buruk di tengah istana
Di tengah kerlap-kerlip lampu istana yang mega, dengan ribuan pasukan penjaga yang menenteng tombak, pedang dan anak panah. Dengan selir yang tak terhitung jumlahnya. Dengan kuasa Allah, Allah memasukkan sebuah mimpi kedalam tidur nyenyak Fir’aun di atas ranjang sutranya. Hembusan mimpi bak angin malam yang menghanyutkan, memasuki cela-celas istana tanpa satu penjaga pun yang tahu, menyelinap menerobos dinding kuat kamar Fir’aun dan segera menemukan sasaran, Fir’aun yang tengah terlelap.
Allah memperlihatkan kepada Fir’aun dalam mimpinya, sebauh nyala api raksaksa, dengan merah menyala siap menyantap apa saja muncul dari arah baitul maqdis di Palestina. Tempat Maryam beriktikaf menyembah Tuhannya. Nyala api tersebut sedikit demi sidikit melahap bangunan-bangunan qibti bersama isinya. Tak satupun qibti yang selamat hingga nyala raksaksa api yang merah berlari bagai halilintar menuju istana Fir’aun yang perkasa. Dalam mimpinya tersebut. Fir’aun melihat sebuah keanehan yang luar biasa. Semua orang qibti mati terpangangan bagai sosis di penggorengan, sedangkan orang-oran bani Israel tengan santai melahap jus mangga di atas dipan-dipan padang pasir. Seoalah api-api tersebut takut dengan orang-orang dari bani Israel dan tidak ada satupun yang kehilangan anggota keluarganya. Kejadian itu seperti kejadian api yang sama sekali tidak membarikan madhorot terhadap Ibarahim As. Ketika para penyembah berhala mengumpulkan kayu bakar, menyalakanya, dan kemudian melemparkan jasad suci Ibrahim di tengah kobaran api yang membara. Namun setelah diamati beberapa saat, saat api mulai padam dan kayu-kayu mulai menghitam menjadi arang, mereka melihat Ibrahim As masih bisa benafas segar bagai seorang lelaki yang sedang menghabiskan senjanya dipingir sungai nil dengan panorama matahari yang mulai menghilang di ufuk barat nan jauh di sana.
Fir’aun pun terbangun dari tidur nyenyak yang berakhir dengan mimpi buruk tersebut. Rasa gundah mulai mengelayuti pikiran Fir’aun. Raja yang terkenal bengis yang juga memproklamirkan diri sebagai pengguasa alam semesta itu berubah menjadi orang yang linglung. Bagai bunga matahari yang tersenyum dipagi hari namun berubah layu tak berdaya di sora hari. Fir’aun yang kejam menjadi pendiam, Fir’aun yang bengis hanya bisa meneteskan air mata dan menagis. Menebak, menerawang ke sudut candela istana, seolah-olah berusaha menunggu jawaban atas mimpinya dari burung gereja yang biasa singga di atas plafont istana.
Tak sabar, dan tidak juga menemukan jawaban, sedangkan jiwanya sudah semakin berkecamuk diliputi ketakutan dan kebingungan. Fir’aun mengumpulkan pendekar-pendekar sihirnya di istana. Maka datanglah satu persatu dukun-dukun Fir’aun tersebut, dan langsung mengambil tempat di tempat utama istana, di mana disana terletak singgasana kehormatannya.
Fir’aun pun memulai pembicaraan. Menceritakan apa yang ada di dalam mimpinya dengan detail. Tanpa mengurangi satu peristiwa atau menambah satu peristiwa. Namun kali ini dia menampakkan sikap biasa-biasa saja. Mencoba untuk menghilangkan raut ketakutan dalam wajahnya. Supaya Fir’aun tetap terlihat gagah, perkasa yang pantas jadi penguasa.
Selesailah Fir’aun dengan basa basinya terhadap para tukang sihirnya. Setelah mendengarkan dengan seksama, tukang-tukang sihir tersebutpun mulai menerawang jauh ke atas. Mencoba untuk mengulik pengetahuan dari jin-jin peliharaan mereka. Setelah wahyu dari syetan turun kejantung hati para penyihir, mulailah mereka berbicara dan mengabarkan bahwa nanti akan lahir seorang anak lelaki dari bani Israel yang akan menghancurkan istanamu. Merobohkan kekuasaanmu dan juga menghabisi nyawamu.
Mendengar takwil mimpi dari para tukang sihirnya, Fir’aun kembali pucat puti menggigil ketakutan. Bingung dengan apa yang akan terjadi, maka Fir’aun mengumpulkan para panglima dan prajuritnya. Segera memberikan intruksi untuk menghabisi semua anak laki-laki yang lahir dari rahim wanita bani Israel.
Peti kematian dari suangai Nil
Perintahpun mulai dilaksanakan. Para prajurit dengan menenteng senjatanya mulai meninggalkan istana Fir’aun. Mereka menerobos jalanan-jalanan kecil, pasar, dan tempat keramaian dengan kecongkakan sebagaimana kecongkakan rajanya. Satu persatu rumah diketuk, dobrakan kasar akan didapatkan penghuni rumah jika tidak juga membuka pintunya.
Dengan raut muka kasar bagai tanah yang baru dibajak, para perajurit mengintrogasi masyarakat bani israil. Menanyakakan ikhwal mereka. Apakah ada diantara mereka yang melahirkan anak laki-laki. Jika sang empunya rumah mengatakan tidak ada dan tidak tahu, rumah akan digeladeh. Sudut-sudut kecilpun tidak terlewatkan, bahkan sampai kandang ternakpun tak lepas dari pemeriksaan. Jika mereka menemukan bayi laki-laki. Perajurit Fir’aun akan segera membelah dadanya menjadi dua. Tidak peduli dengan raungan ibunda tercintanya. Yang telah mengandungnya Sembilan bulan sepuluh hari. Yang telah mempertarukan nyawanya demi kelahiran yang putra tercinta.
Para wantia bani Israel dilanda kesedihan mendalam. Ketakutan yang sangat. bagaimana mungkin mereka bisa teger melihat buah hatinya sekarat tercincang menjadi dua bagian, dan darah segar mengalir dari tubuh halus dan lembutnya. Hanya tangisan. Hanya kesedihan yang tidak tahu kapan akan berakhir dan tidak tahu pula obat apa yang bisa digunakan. Ya, mereka hanya bisa menangis sesengukan. Tidak bisa berbuat apa-apa.
Lain halnya dengan keluarga Imron bin Qohis. Di tengah rumah sederhananya, istrinya sedang kebingungan dengan apa yang akan dilakukannya. Pasalnya, dia juga seoerang wanita yang baru saja melahirkan seorang anak laki-laki. Takut dan tidak rela anaknya tewas meregang nyawa di tangan para serdadu Fir’aun. Ibunda tercinta berfikir keras untuk menemukan ide. Maka terbesitlah ide untuk menghanyutkan buah hatinya yang kecil manis tersebut. Ide untuk menghanyutkan bayi kecil itu bukanlah tamu yang datang tidak diundang. Melainkan sebuah wahyu dan sekenario maha dasyat dari Tuhan Alam Semesta yang sesungguhnya.
Maka mulailah dibuatkan peti kecil dan dibuat senyaman mungkin untuk sang bayi. Setelah selesai dibuat dan dilapisi dengan kain sebagai penghangat badan, mulailah sang ibu manaruh bayi mungil nan lucu tersebut ke dalam peti diiringi dengan bulir-bulir berlian ari mata. Setelah melatakkan bayinya dengan posisi senyaman mungkin, mulailah sang ibu membawanya ke tepi sungai, sungai yang mengalir menuju istana yang ada di oase kinanah tersebut.
Bersama sang saudara, atau bibik dari sang bayi. Ibundanya melapas kepergiannya diatas deruan angin sungai yang sejuk, mulailah peti tersebut berjalan sedikit-demi sidikit, dan menjauh, mengikuti arus tenang sungai. Tak tega dengan apa yang akan terjadi terhadapa bayinya, ibundanya memerintahkan saudara perempuannya untuk mengikuti laju peti yang membawah bayi kecilnya tanpa ada seorangpun yang melihatnya mengikuti peti tersebut.
Maka mengalirlah peti tersebut mengikuti hukum alam ke daerah yang lebih rendah hingga sampai di daerah yang sangat dekat dengan istana Fir’aun. Tak disangka, di sungai sedang ada para pembantu Fir’aun yang sedang mandi dan mencuci. Melihat ada sebuah peti berjalan dari arah depan menuju mata mereka, mereka mencoba untuk menagkap peti terebut dan membawanya ke tepian. Dengan rasa was-was para pembantu tersebut membuka tutup peti tersebut. Dan wah, mereka dibuat kaget dengan apa yang dilihatnya. Seorang anak laki-laki mungil dengan paras tampan penuh pesona dan wibawah. Maka dibawalah bayi kecil tersebut kepada salah satu istri Fir’aun. Setelah melihat paras bangsawan bayi kecil tersebut, istri Fir’aun jatuh hati dan berniat untuk mengadopsi anak tersebut.
Namun Fir’aun menolak, marah-marah, sekaligus bergumang. “ bagaimana mungkin aku memelihara anak laki-laki bani Israel, sedangkan ramalan bahwa kekuasaanku ini akan runtuh dibuatnya, aku mendatangi rumah-rumah bani Israel dan memenggal anak-anak lelaki mereka, dan sekarang ada anak lelaki datang sendiri ke istanakan, aku harus merawatnya ?”. Fir’aun juga segera memerintahkan perajuritnya untuk menghabisi nyawa bayi mungil tersebut. Tak putus asa istri Fir’aun dengan argumentasi diplomatis Fir’aun. Mencoba untuk merayu dan merubuhkan keangkuhan dan kekeras kepalaan Fir’aun. “ Mungkin kita bisa mengangkat bayi ini menjadi anak angkat, barang kali takdir berkehendak lain, dia bisa membantu kerajaan dan menjadi kebanggan kita”. Maka lululah hati Fir’aun yang keras dengan rayuan maut sang istri. “ Baiklah, engkau yang urus dia”. Mendengar jawaban dan keputusan Fir’aun yang menyenangkan. Bergembiralah sang istri dan mulai merawat bayi kecil tersebut seperti anaknya sendiri.
Makar Allah versus Makar Fir’aun
“ Maka mereka menipu Allah, Allahpun menipu mereka, dan Allah adalah sebaik-baik pembuat tipu daya”. Begitulah kalam Illahi dalam surah ali-Imran ayat 54. Fir’aun dan bala tentaranya memasuki gang-gang kecil untuk mencari bayi laki-laki yang baru dilahirkan kemudian dibunuh. Namun dalam sisi yang tidak diduga-duga, malah ada seorang bayi dari bani Israel yang datang ke istananya dan menjadi dewasa di sana.
Bayi tersebut adalah Musa As. Anak dari Imran bin Qohis. Kakek ketiganya adalah Lawi, saudara Yusuf yang perna menceburkan Yusuf ke sebuah Sumur. Kakek keempatnya adalah Ya’qub, seorang yang buta karena kesedihan mendalan akibat ulah anak-anaknya, yang juga dari namanyalah disematkan nama bani Israel. Kakek kelimanya adalah ishaq, saudara bedah ibu dari Ismail. Seorang akan disembelai tapi diganti dengan domba, dan kakak keenamnya adalah Ibrahim As. Seorang nabi Agung yang dari keturunanyalah banyak nabi bermunculan.
Sebagaimana bayi pada umumnya. Musa kecil sangat memerlukan Asi. Maka dicarilah para wanita untuk memberikan air susunya kepada Musa kecil. Semua wanita sudah dicoba, tapi tidak ada satupun wanita yang diterima oleh Musa kecil. Dia menangis. Makin menjadi karena kehausan. Maka diadakanlah sayembara. Siapa yang berhasil menenagkan Musa kecil dengan Asinya, akan diberi imbalan yang besar luar biasa.
Maka disebarlah sayembara tersebut oleh para serdadu Fir’aun. Mereka menyebarkannya di tempat-tempat umum seperti pasar. Saat itu, kebetulan bibik Musa kecil, yang dahulu membuntuti petinya, berada di pasar dan mengetahui sayembara tersebut. Maka bergegaslah pulang dengan secepatnya untuk menemui kakaknya, Ibunda Musa kecil. Tak berfikir panjang. Datanglah ibu Musa ke istana dan langsung diserahkan kepadanya Musa kecil yang makin menjadi tangisannya. Didekatkanlah bibirnya ke puting susu sang ibu yang tidak ada satupun yang tahu kalau wanita itu adalah ibu kandungnya, kecuali bibiknya.
Maka, seketika Musa kecil diam dan menyedot asi dari puting susu ibundanya dengan aman tanpa ada rasa takut. Setelah kenyang, dikembalikanlah Musa kecil kepangkuan istri Fir’aun. Maka, diberilah imbalan yang besar kepada ibu Musa kecil. Istri Fir’aun meminta ibundanya tersebut untuk datang tiap hari untuk menyusuinya dan akan diberi imbalan yang sama banyaknya. Begitu seterusnya sampai masa penyapihan datang.
Kejadian yang terjadi tersebut, merupakan sebuah bentuk makar yang luar biasa. Tatkala wanita bani Israel ketakutan dan bertangisan karena anaknya dipenggal, ibunda Musa dan Musa kecil mala bisa hidup damai tentram dengan harta yang melimpah, imbalan dari istana. Padahal sebelumnya Ibunda Musa sangat ketakutan terhadap nasibnya dan nasib anaknya, Musa. Begitualah tipudaya Allah, jika sudah berkehendak, tidak akan ada yang bisa menolaknya. Jika Allah ingin memberikan sesuatu, tidak akan ada yang bisa menahan-Nya. Dan jika Allah ingin menahan sesuatu, tidak ada yang bisa memaksa-Nya.
Berlanjut >>>Musa As VS Fir’aun
Chil So
No comments:
Post a Comment