Sejarah Berdirinya Muhammadiyah
Sebelum mendirikan Muhammadiyah K.H. Ahmad Dahlan sering terlibat dialog dengan sahabat-sahabatnya berkaitan kondisi umat Islam dan solusinya. Solusinya adalah, pertama, menegakkan kembali peranan Al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber utama agama islam, kedua, dibutuhkannya sekelompok ummat guna menegakkan ajaran agama Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan as Sunnah. Surat Ali Imran ayat 104 dan mendorong umat Islam dan K.H. Ahmad Dahlan untuk mendirikan sebuah organisasi.
Pada tanggal 8 dzulhijjah 1330 H. bertepatan dengan 18 Nopember 1912 M. persyarikatan Muhammadiyah didirikan. Peresmian berdirinya Muhammadiyah 20 Desember 1912 di Jalan Malioboro Yogyakarta dihadiri sekitar 60-70 orang haji, priyayi, kalangan pangreh praja, beberapa orang umum, pengurus Budi Utomo dan pejabat pemerintah kolonial Belanda.
Faktor subjektif berdirinya Muhammadiyah berupa kerisauan K.H. Ahmad Dahlan terhadap permasalahan yang dihadapi umat Islam; keterbelakangan, kemiskinan, dan kebodohan. Baginya ayat-ayat al-Qur’an harus diamalkan seperti terekspressi dalam surat al-Ma’un. Dalam pandangan K.H. Ahmad Dahlan Surat al-Ma’un merupakan perintah terhadap umat Islam untuk marealisasikan kepedulian sosial melalui tindakan-tindakan nyata.
Faktor Objektif berdirinya Muhammadiyah adalah lemahnya pemahaman umat Islam dalam mempraktikkan ajaran Islam. Umat Islam masih sangat berpegang kuat pada tradisi-tradisi peninggalan zaman purba, Hindu, dan Budha serta tidak berani melakukan pembaharuan (ijtihad). Berpikir jumud (konsevatif), sangat formilistik dalam beragama, siklus-siklus dalam perjalanan kehidupan manusia; ketika masih dalam rahim sang ibu, lahir, khitan, nikah, dan mati selalu ditandai dengan ritual-ritual keagamaan tradisional. Sedang kesemarakan keagamaan lebih bersifat seremonal.
Menurut Ponsen, sampai akhir abad ke-19 mayoritas orang Jawa masih belum mengenal Islam dengan baik. Mereka dekat dengan Islam hanya pada praktik-praktik sunatan, puasa, larangan makan daging babi, peringatan hari-hari besar Islam dan menganggap orang kristen sebagai kapir landa. Sinkritisme masih sangat kuat dalam sistem keyakinan dan budaya Islam Jawa. Sebelum Islam masuk ke Indonesia, masyarakat telah memiliki sistem kepercayaan yang bersifat lokal, selain itu agama Hindu dan Budha telah masuk dan berkembang serta dipraktikkan dalam tatanan kehidupan masyarakat. Oleh karena itu pencampuran (sinkritisme) Islam dengan kepercayaan lokal, Hindu dan Budha tidak dapat dihindari.
K.H. Ahmad Dahlan memandang bahwa pencampuran itu akan menimbulkan persoalan manakala terjadi penyimpangan dan bertentangan dengan syari’at Islam. Akibatnya, ajaran Islam kehilangan keasliannya (kabur). Masyarakat Islam Jawa pada waktu itu, meskipun telah memeluk Islam namu masih memiliki kepercayaan yang bersifat animistis. Islam Jawa masih percaya pada roh-roh halus, takut pada tempat angker, karma dan kualat, tachayu, bidah, dan khurafat.
Lembaga pendidikan Islam sangat lemah. Terjadi dualisme dalam sistem pendidikan; sekolah dan pesanten, ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum. Model persekolahan yang dikembangkan oleh Belanda yang hanya memberikan pelajaran umum saja dengan menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar dianggap kafir. Oleh karenanya pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua yang diselanggarakan oleh pribumi yang menjadi tumpuan orang tua. Padahal pada lembaga pendidikan ini hanya diberikan pelajaran agama saja. Pelajaran umum tidak diberikan dengan alasan ilmu umum berasal dari Barat yang kafir. Mempelajari sesuatu yang berasal dari orang kafir berarti menyerupainya. Menyerupai orang kafir berarti kafir.
Faktor objektif yang lain yang mendorong didirikannya Muhammadiyah adalah persoalan Kristenisasi oleh Belanda. Pemerintah Belanda berasussi bahwa Kristenisasi akan memperlunak perlawanan pribumi. Berangkat dari pemikiran semacam ini Belanda kemudian mendukung penuh kegiatan misionaris. Berbagai fasilitas diberikan oleh Belanda baik dalam bentuk kebijakan maupun finansial. Bagi K.H. Ahmad kenyatan ini harus dihambat agar umat Islam terhindar dari upaya-upaya pemurtadan.
K.H. Ahmad Dahlam mliha bahwa telah terjadi gelombang pembaharuan di Timur Tengah yang dipelopori oleh Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyyim, Muhammad bin Abdul Wahab, Jamaluddin al Afghany, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan lain sebagainya. Pemahaman K.H. Ahmad Dahlan dengan ide gerakan pembaharuan ini sangat mempengaruhinya dan mendorongnya mendirikan Muhammadiyah.
Walhasil kelahiran Muhammadiyah, menurut Amin Abdullah merupakan sebuah “eksperimen sejarah umat Islam Indonesia” yang berusaha untuk mengawinkan pendekatan normatif-doktrinal yang cenderung rasionalistis dan inteltualistis dengan pendekatan historis-empiris-praktis (cenderung bersifat praksis). Tuntutan beragama secara murni dan kritis mendorong untuk mengamalkan ajaran agama berdasarkan sumber aslinya dan meninggalkan taqlid serta terbuka bagi kemajuan dan perubahan pada aspek implementasi dan operasional merupakan karakteristik Muhammadiyah. Dengan cara ini Muhammadiyah meyakini dapat dan mampu menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam demi terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Parlindungan Siregar
Pada tanggal 8 dzulhijjah 1330 H. bertepatan dengan 18 Nopember 1912 M. persyarikatan Muhammadiyah didirikan. Peresmian berdirinya Muhammadiyah 20 Desember 1912 di Jalan Malioboro Yogyakarta dihadiri sekitar 60-70 orang haji, priyayi, kalangan pangreh praja, beberapa orang umum, pengurus Budi Utomo dan pejabat pemerintah kolonial Belanda.
Faktor subjektif berdirinya Muhammadiyah berupa kerisauan K.H. Ahmad Dahlan terhadap permasalahan yang dihadapi umat Islam; keterbelakangan, kemiskinan, dan kebodohan. Baginya ayat-ayat al-Qur’an harus diamalkan seperti terekspressi dalam surat al-Ma’un. Dalam pandangan K.H. Ahmad Dahlan Surat al-Ma’un merupakan perintah terhadap umat Islam untuk marealisasikan kepedulian sosial melalui tindakan-tindakan nyata.
Faktor Objektif berdirinya Muhammadiyah adalah lemahnya pemahaman umat Islam dalam mempraktikkan ajaran Islam. Umat Islam masih sangat berpegang kuat pada tradisi-tradisi peninggalan zaman purba, Hindu, dan Budha serta tidak berani melakukan pembaharuan (ijtihad). Berpikir jumud (konsevatif), sangat formilistik dalam beragama, siklus-siklus dalam perjalanan kehidupan manusia; ketika masih dalam rahim sang ibu, lahir, khitan, nikah, dan mati selalu ditandai dengan ritual-ritual keagamaan tradisional. Sedang kesemarakan keagamaan lebih bersifat seremonal.
Menurut Ponsen, sampai akhir abad ke-19 mayoritas orang Jawa masih belum mengenal Islam dengan baik. Mereka dekat dengan Islam hanya pada praktik-praktik sunatan, puasa, larangan makan daging babi, peringatan hari-hari besar Islam dan menganggap orang kristen sebagai kapir landa. Sinkritisme masih sangat kuat dalam sistem keyakinan dan budaya Islam Jawa. Sebelum Islam masuk ke Indonesia, masyarakat telah memiliki sistem kepercayaan yang bersifat lokal, selain itu agama Hindu dan Budha telah masuk dan berkembang serta dipraktikkan dalam tatanan kehidupan masyarakat. Oleh karena itu pencampuran (sinkritisme) Islam dengan kepercayaan lokal, Hindu dan Budha tidak dapat dihindari.
K.H. Ahmad Dahlan memandang bahwa pencampuran itu akan menimbulkan persoalan manakala terjadi penyimpangan dan bertentangan dengan syari’at Islam. Akibatnya, ajaran Islam kehilangan keasliannya (kabur). Masyarakat Islam Jawa pada waktu itu, meskipun telah memeluk Islam namu masih memiliki kepercayaan yang bersifat animistis. Islam Jawa masih percaya pada roh-roh halus, takut pada tempat angker, karma dan kualat, tachayu, bidah, dan khurafat.
Lembaga pendidikan Islam sangat lemah. Terjadi dualisme dalam sistem pendidikan; sekolah dan pesanten, ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum. Model persekolahan yang dikembangkan oleh Belanda yang hanya memberikan pelajaran umum saja dengan menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar dianggap kafir. Oleh karenanya pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua yang diselanggarakan oleh pribumi yang menjadi tumpuan orang tua. Padahal pada lembaga pendidikan ini hanya diberikan pelajaran agama saja. Pelajaran umum tidak diberikan dengan alasan ilmu umum berasal dari Barat yang kafir. Mempelajari sesuatu yang berasal dari orang kafir berarti menyerupainya. Menyerupai orang kafir berarti kafir.
Faktor objektif yang lain yang mendorong didirikannya Muhammadiyah adalah persoalan Kristenisasi oleh Belanda. Pemerintah Belanda berasussi bahwa Kristenisasi akan memperlunak perlawanan pribumi. Berangkat dari pemikiran semacam ini Belanda kemudian mendukung penuh kegiatan misionaris. Berbagai fasilitas diberikan oleh Belanda baik dalam bentuk kebijakan maupun finansial. Bagi K.H. Ahmad kenyatan ini harus dihambat agar umat Islam terhindar dari upaya-upaya pemurtadan.
K.H. Ahmad Dahlam mliha bahwa telah terjadi gelombang pembaharuan di Timur Tengah yang dipelopori oleh Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyyim, Muhammad bin Abdul Wahab, Jamaluddin al Afghany, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan lain sebagainya. Pemahaman K.H. Ahmad Dahlan dengan ide gerakan pembaharuan ini sangat mempengaruhinya dan mendorongnya mendirikan Muhammadiyah.
Walhasil kelahiran Muhammadiyah, menurut Amin Abdullah merupakan sebuah “eksperimen sejarah umat Islam Indonesia” yang berusaha untuk mengawinkan pendekatan normatif-doktrinal yang cenderung rasionalistis dan inteltualistis dengan pendekatan historis-empiris-praktis (cenderung bersifat praksis). Tuntutan beragama secara murni dan kritis mendorong untuk mengamalkan ajaran agama berdasarkan sumber aslinya dan meninggalkan taqlid serta terbuka bagi kemajuan dan perubahan pada aspek implementasi dan operasional merupakan karakteristik Muhammadiyah. Dengan cara ini Muhammadiyah meyakini dapat dan mampu menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam demi terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Parlindungan Siregar
No comments:
Post a Comment