Tulis Ulang Sejarah Nusantara: Nanggroe Atjeh Darussalam ( bagian 3 dan 4)
“Sebab itu, ketika Muhammad diangkat menjadi Rasul dan mendakwahkan Islam, maka para pedagang di Nusantara sudah mengenal beliau dengan baik dan dengan cepat dan tangan terbuka menerima dakwah beliau itu,” ujar Mansyur yakin.
Dalam literatur kuno asal Tiongkok tersebut, orang-orang Arab disebut sebagai orang-orang Ta Shih, sedang Amirul Mukminin disebut sebagai Tan mi mo ni’. Disebutkan bahwa duta Tan mi mo ni’, utusan Khalifah, telah hadir di Nusantara pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah dan menceritakan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dengan telah tiga kali berganti kepemimpinan. Dengan demikian, duta Muslim itu datang ke Nusantara di perkampungan Islam di pesisir pantai Sumatera pada saat kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan (644-656 M). Hanya berselang duapuluh tahun setelah Rasulullah SAW wafat (632 M).
Catatan-catatan kuno itu juga memaparkan bahwa para peziarah Budha dari Cina sering menumpang kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang Arab sejak menjelang abad ke-7 Masehi untuk mengunjungi India dengan singgah di Malaka yang menjadi wilayah kerajaan Budha Sriwijaya.
Jelas, Islam di Nusantara termasuk generasi Islam pertama. Inilah yang oleh banyak sejarawan dikenal sebagai Teori Mekkah. Jadi Islam di Nusantara ini sebenarnya bukan berasal dari para pedagang India (Gujarat) atau yang dikenal sebagai Teori Gujarat yang berasal dari Snouck Hurgronje, karena para pedagang yang datang dari India, mereka ini sebenarnya berasal dari Jazirah Arab, lalu dalam perjalanan melayari lautan menuju Sumatera (Kutaraja atau Banda Aceh sekarang ini) mereka singgah dulu di India yang daratannya merupakan sebuah tanjung besar (Tanjung Comorin) yang menjorok ke tengah Samudera Hindia dan nyaris tepat berada di tengah antara Jazirah Arab dengan Sumatera.
Bukalah atlas Asia Selatan, kita akan bisa memahami mengapa para pedagang dari Jazirah Arab menjadikan India sebagai tempat transit yang sangat strategis sebelum meneruskan perjalanan ke Sumatera maupun yang meneruskan ekspedisi ke Kanton di Cina. Setelah singgah di India beberapa lama, pedagang Arab ini terus berlayar ke Banda Aceh, Barus, terus menyusuri pesisir Barat Sumatera, atau juga ada yang ke Malaka dan terus ke berbagai pusat-pusat perdagangan di daerah ini hingga pusat Kerajaan Budha Sriwijaya di selatan Sumatera (sekitar Palembang), lalu mereka ada pula yang melanjutkan ekspedisi ke Cina atau Jawa.
Disebabkan letaknya yang sangat strategis, selain Barus, Banda Aceh ini telah dikenal sejak zaman dahulu. Rute pelayaran perniagaan dari Mekkah dan India menuju Malaka, pertama-tama diyakini bersinggungan dahulu dengan Banda Aceh, baru menyusuri pesisir barat Sumatera menuju Barus. Dengan demikian, bukan hal yang aneh jika Banda Aceh inilah yang pertama kali disinari cahaya Islam yang dibawa oleh para pedagang Arab. Sebab itu, Banda Aceh sampai sekarang dikenal dengan sebutan Serambi Mekkah.
Dari Sriwijaya Hingga Aceh Darussalam Berdiri
Sebelum kedatangan ekspedisi salib yang dipelopori Portugis lalu Spanyol, hubungan antar pemeluk agama—kaum Muslim yang kebanyakan para pedagang Arab dan beberapa penduduk pribumi Sumatera, umat Hindu dari yang diwakili para pedagang India, dan umat Budha yang diwakili kerajaan Sriwijaya—berlangsung dengan damai dan tentram. Bahkan sejarah mencatat, kerajaan Sriwijaya yang kuat hingga wilayahnya sampai merambah Malaka ini mempunyai hubungan diplomatik yang sangat erat dengan Daulah Islamiyah
01Sekitar abad ke-7 M, pada masa kekuasaan Khulafa-Arrasyidin, setelah Khalifah Umar bin Al-Kahattab berhasil membebaskan Kerajaan Persia dan beberapa wilayah Imperium Romawi Timur seperti Mesir, Syiria, dan Palestina—dua kerajaan superpower dunia saat itu—Daulah Islamiyah jadi mercusuar peradaban dunia.
Pada perkembangannya, di masa Bani Umayyah (661-750 M) dan Bani Abbasiyah (750-1256 M), Daulah Islamiyah mengirim duta-duta resminya ke berbagai pusat peradaban yang bersahabat seperti Cina dan Sriwijaya yang dalam pengucapan lidah mereka disebut sebagai Zabaj atau Sribuza. Kala itu Sriwijaya sendiri tengah menapaki zaman keemasan dengan wilayah kekuasaannya di utara sampai ke Semenanjung Malaka dan di selatan merambah hingga Jawa Barat.
Keakraban antara Sriwijaya dengan Daulah Islamiyah salah satunya bisa dibuktikan dengan adanya dua pucuk surat yang dikirimkan oleh Raja Sriwijaya kepada khalifah masa Bani Umayyah. Surat pertama dikirim kepada Muawiyyah, dan surat kedua dikirim kepada Umar bin Abdul Aziz.[1]
Surat pertama ditemukan dalam sebuah lemari arsip Bani Umayyah oleh Abdul Malik bin Umayr, yang disampaikan kepada Abu Ya’yub Ats-Tsaqofi, yang kemudian disampaikan lagi kepada Al-Haytsam bin Adi. Yang mendengar surat itu dari Al-Haytsam menceriterakan kembali pendahuluan surat tersebut:
“Dari Raja Al-Hind yang kandang binatangnya berisikan seribu gajah, (dan) yang istananya terbuat dari emas dan perak, yang dilayani putri raja-raja, dan yang memiliki dua sungai besar yang mengairi pohon gaharu, kepada Muawiyah….”[2]
Buzurg bin Shahriyar al Ramhurmuzi pada tahun 1000 Masehi menulis sebuah kitab yang menggambarkan betapa di zaman keemasan Kerajaan Sriwijaya sudah berdiri beberapa perkampungan Muslim. Perkampungan itu berdiri di dalam wilayah kekuasaan Sriwijaya. Hanya karena hubungan yang teramat baik dengan Dunia Islam, Sriwijaya membolehkan orang-orang Islam yang sudah ada di wilayahnya sejak lama hidup dalam damai dan memiliki perkampungannya sendiri di mana di dalamnya berlaku syariat Islam.[3]
Hubungan yang amat baik tersebut terus berlanjut hingga di masa kekuasaan Bani Umayyah dengan khalifahnya Umar bin Abdul Aziz (717-720 M). Ibnu Abdul al Rabbih secara lebih lengkap memuat korespondensi antara Raja Sriwijaya kala itu, Raja Sri Indravarman (Sri Indrawarman) dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz itu.[4]
Salah satu isi suratnya berbunyi, “Dari Raja di Raja (Malik al amlak) yang adalah keturunan seribu raja; yang beristeri juga cucu seribu raja; yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah; yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu nan harum, bumbu-bumbu wewangian, pala, dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil; kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan. Dengan setulus hati, saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya.”
Ini adalah surat dari Raja Sri Indrawarman kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang baru saja diangkat menggantikan Khalifah Sulaiman (715-717 M).
Khalif Sulaiman sendiri merupakan khalifah yang memerintahkan Trariq Bin Ziyad memasuki Spanyol. Pada masa kekuasaannya yang hanya selama dua tahun, Khalif Sulaiman telah memberangkatkan satu armada berkekuatan 35 armada kapal perang dari Teluk Persia menuju pelabuhan Muara Sabak (Jambi) yang saat itu merupakan pelabuhan besar di dalam lingkungan Kerajaan Sriwijaya. Armada tersebut transit di Gujarat dan juga di Pereulak (Aceh), sebelum akhirnya memasuki pusat Kerajaan Zabag atau Sribuza (Sriwijaya).
Menanggapi surat dari seorang raja besar Kerajaan Budha yang sangat bersahabat, Khalifah Umar bin Abdul Aziz segera mengutus salah seorang ulama terbaiknya untuk mengajarkan Islam kepada Raja Sriwijaya Sri Indrawarman, seperti yang diminta olehnya. Menurut catatan H. Zainal Abidin Ahmad, pada tahun 718, Raja Sri Indrawarman akhirnya dengan penuh kesadaran menyatakan dirinya memeluk Islam dan sejak itu kerajaannya dikenal orang sebagai “Kerajaan Sribuza yang Islam”. Pada tahun 726 M, Raja Jay Sima dari Kalingga (Jepara, Jawa Tengah), putera dari Ratu Sima juga memeluk agama Islam.[5]
Sampai sejauh ini, belum ditemukan catatan sejarah tentang masa di mana Kerajaan Sriwijaya dipimpin oleh seorang raja Muslim seperti Sri Indrawarman. Namun besar kemungkinan, Sri Indrawarman mengalami tentangan yang sangat hebat sehingga raja-raja setelahnya kembali berasal dari kalangan Budha. H. Zainal Abidin Ahmad hanya menulis, “Perkembangan Islam yang begitu ramainya mendapat pukulan yang dahsyat semenjak Kaisar-Kaisar Cina dari Dinasti Tang, dan juga Raja-Raja dari Sriwijaya dari Dinasti Syailendra melakukan kezaliman dan pemaksaan keagamaan.”[6] (Bersambung/Rizki Ridyasmara)
—————–
[1] Prof. Uka Tjandrasasmita, “Hubungan Perdagangan Indonesia-Persia Pada Masa Lampau (Abad VII-XVII M) dan Dampaknya terhadaap Beberapa Unsur kebudayaan”, Jauhar Vol. 1, No. 1, Desember 2000 hal. 32
[2] Azyumardi Azra, “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII”, Edisi Revisi, Jakarta 2004, hal. 27-28.
[3] Buzurg bin Shahriyar al Ramhurzi, “Aja’ib al Hind”.
[4] Ibnu Abdul Al Rabbih, “Al Iqd al Farid.”
[5] H. Zainal Abidin Ahmad; Ilmu Politik Islam V, Sejarah Islam dan Umatnya Sampai Sekarang; Bulan Bintang; Cet.1; 1979; hal.136-137.
[6] Ibid, hal. 137.
Pada abad ke-14 M, Kerajaan Budha Sriwijaya mulai mengalami kemunduran. Penyerangan yang dilakukan Majapahit tahun 1377 atas Sriwijaya membuat kerajaan besar ini limbung dan sekarat. Apalagi banyak bandar mulai melepaskan diri dan menjadi otonom. Raja, adipati, atau penguasa setempat yang telah memeluk Islam kemudian mendirikan kerajaan Islam kecil-kecil. Beberapa kerajaan Islam di Utara Sumatera pada akhirnya bergabung menjadi Kerajaan Aceh Darussalam.
PERJANJIAN TORDESILAS, SAAT PAUS RESTUI PERAMPOKAN
Di saat hampir bersamaan, akibat Perang Salib yang berkepanjangan dan persinggungannya dengan para pedagang dan orang Islam, Eropa mulai bernafsu untuk mencari emas, rempah-rempah, kain, dan segala macam kebutuhannya ke dunia lain yang selama ini belum pernah dijangkaunya. Orang Eropa mendengar adanya suatu dunia baru yang sangat kaya dengan rempah-rempah, karet, dan kekayaan alam lainnya, termasuk emas permata. Dunia baru itu terletak di selatan.
Tahun 1494 Paus Alexander VI memberikan mandat resmi gereja kepada Kerajaan Katolik Portugis dan Spanyol melalui Perjanjian Tordesillas.[1] Dengan adanya perjanjian ini, Paus Alexander dengan seenaknya membagi dunia di luar daratan Eropa (Christendom atau Terra Biblica) menjadi dua kapling untuk dirampok sekaligus tujuan penyebaran misi salib, satu untuk Portugis dan yang lainnya untuk Spanyol.
Kedua kerajaan itu, terutama Spanyol, dalam periode tersebut adalah bangsa penjelajah terkenal di Eropa (Congquestadores). Garis demarkasi dalam perjanjian Tordesilas itu mengikuti lingkaran garis lintang pada 100 liga dari Tanjung Pulau Verde, melampaui kedua kutub bumi.
Pembagian ini memberikan Dunia Baru—kini disebut Benua Amerika—kepada Spanyol. Afrika serta India diberikan pada Portugal. Perjanjian yang disepakati di kota Tordesillas (Castile) pada 7 Juni menggeser garis demarkasinya Paus Alexander VI ke arah timur sejauh 1.170 kilometer dari Tanjung Pulau Verde. Brazil pun jatuh ke tangan Portugal. Jalur eksplorasi (baca: perampokan) bangsa Eropa ke arah timur jauh menuju kepulauan Nusantara pun terbagi dua. Katolik Spanyol berlayar ke Barat dan Katolik Portugis ke Timur. Keduanya akhirnya bertemu di Maluku, di Laut Banda.
Jika sebelumnya dua kekuatan yang tengah berlomba memperbanyak harta rampokan berjumpa tepat di satu titik maka mereka berkelahi, maka ketika mereka bertemu di Maluku, mereka mencoba untuk menahan diri. Pada 5 September 1494, Spanyol dan Portugal membuat perjanjian Saragossa yang menetapkan garis anti-meridian atau garis sambungan pada setengah lingkaran yang melanjutkan garis 1.170 kilometer dari Tanjung Verde. Garis itu berada di timur dari kepulauan Maluku, di sekitar Guam.
Menyaksikan Portugis dan Spanyol yang gemilang melakukan perampokan di berbagai wilayah dunia membuat bangsa-bangsa Eropa lainnya tergiur. Perancis, Inggris, dan Jerman kemudian juga mencoba untuk mengirimkan armadanya masing-masing untuk menemukan dunia baru yang kaya-raya.
Ketika Eropa mengirim ekspedisi laut untuk menemukan dunia baru, pengertian antara perdagangan, peperangan, dan penyebaran agama Kristen nyaris tidak ada bedanya. Misi imperialisme Eropa ini sampai sekarang kita kenal dengan sebutan “Tiga G”: Gold, Glory, dan Gospel. Emas yang melambangkan Eropa tengah mencari daerah kaya untuk dirampok, Glory dan Gospel dinisbatkan untuk penyebaran dan kejayaan agama Kristen. Di mana pun bangsa-bangsa Barat ini mendarat dan menjajah, maka mereka juga menyebarkan salib dan iman Kristiani dengan pedang berlumuran darah. Kenyataan ini terus dilakukan hingga sekarang, seperti yang terjadi ketika tentara Salib Amerika menginvasi Afghanistan dan Irak.
Salah satu bukti bahwa misi penyebaran salib senantiasa mengikuti misi imperialisme dan kolonialisme kaum penjajah, maka sejarahwan Belanda J. Wils menemukan bahwa pendirian pos-pos misionaris awal di Nusantara selalu mengikuti perkembangan gerak maju armada Portugis dan Spanyol. J. Wils menulis, “…pos-pos misi yang pertama-tama di Indonesia secara praktis jatuh bersamaan dengan garis-garis perantauan pencarian rempah-rempah dan ‘barang-barang kolonial’. Dimulai dari Malaka, yang ditaklukkan pada tahun 1511, perjalanan menuju ke Maluku (Ambon, Ternate, Halmahera), dan dari situ selanjutnya ke Timor (1520), Solor dan Flores, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara (1544, 1563), dan berakhir di paling Timur Pulau Jawa (1584-1599).”[2]
Setelah Sriwijaya mengalami kemunduran, perannya langsung digantikan oleh Kesultanan Aceh Darussalam. Sebelum besar, Kerajaan Islam Aceh Darussalam ini sebenarnya berasal dari penggabungan kerajaan-kerajaan Islam kecil seperti Kerajaan Islam Pereulak, Samudera Pase/Pasai, Benua, Lingga, Samainra, Jaya, dan Darussalam. Ketika Portugis merebut Goa di India, lalu Malaka pun akhirnya jatuh ke tangan Portugis, maka kerajaan-kerajaan Islam yang telah berdiri di pesisir utara Sumatera seperti kerajaan Aceh, Daya, Pidie, Pereulak (Perlak), Pase (Pasai), Teumieng, dan Aru dengan sendirinya merasa terancam oleh armada Salib Portugis.
Dalam salah satu bukunya, sejarahwan Aceh A. Hasjmi mengutip M. Said (Aceh Sepanjang Abad, hal.92-93) menulis, “Untuk mencapai nafsu jahatnya itu, dari Malaka yang telah dirampoknya, Portugis mengatur rencana perampokan tahap demi tahap. Langkah yang diambilnya, yaitu mengirim kaki tangan-kaki tangan mereka ke daerah-daerah pesisir utara Sumatera untuk menimbulkan kekacauan dan perpecahan dalam negeri yang akan dirampoknya itu, kalau mungkin menimbulkan perang saudara, seperti yang terjadi di Pase, sehingga ada pihak-pihak yang meminta bantuan kepada mereka, hal mana menjadi alasan bagi mereka untuk melakukan intervensi.”[3]
Strategi licik Portugis ini dikemudian hari diadopsi oleh Snouck Hurgronje untuk memecah belah Aceh dan daerah-daerah lainnya agar bisa dengan mudah dikuasai Belanda (Devide et impera). Politik pecah belah ini juga digunakan oleh Belanda dalam banyak peperangan, antara lain perang melawan Diponegoro dan Imam Bonjol.
Akibat strategi liciknya, Portugis menjelang akhir abad ke 15 dan awal abad ke 16 telah menguasai kerajaan Aru (Pulau Kampai), Pase, Pidie, dan Daya. Di wilayah yang didudukinya, Portugis mendirikan kantor-kantor dagang dengan pengawalan sejumlah pasukan.
Perkembangan yang kurang menguntungkan ini terus dipantau oleh Panglima Perang Kerajaan Islam Aceh, Ali Mughayat Syah. Panglima Perang yang juga putera mahkota Kerajaan Aceh ini yakin jika suatu waktu dalam waktu yang tidak terlalu lama tentara Portugis pasti akan menyerang kerajaannya. Sebab itu, Mughayat Syah mengemukakan hal yang dicemaskannya ini kepada Raja Kerajaan Islam Aceh, Sultan Alaiddin Syamsu Syah yang sudah uzur. Sultan yang sudah tua ini sadar bahwa untuk menghadapi Portugis yang licik dan telah berpengalaman dengan kekuatan armada perangnya yang besar dan kuat, maka Kerajaan Aceh harus dipimpin oleh seorang yang muda, cekatan, dan cakap.
Sebab itu, dengan segera Sultan Alaiddin Syamsu Syah melantik anaknya untuk menggantikan kedudukan dirinya. Sultan Alaiddin Syamsu Syah sangat memahami hakikat jabatan. Dalam Islam jabatan adalah amanah, sebab itu jika diri sudah merasa tidak sanggup lagi memikul amanah yang berat, maka wajib diberikan kepada yang lebih kuat memikulnya. Maka Ali Mughayat Syah menjadi raja baru dengan gelar Sultan Alaiddin Mughayat Syah.
Setelah dilantik, Sultan Alaiddin Mughayat Syah bertekad akan mengusir Portugis dari seluruh daratan pantau utara Sumatera, dari Daya hingga ke Pulau Kampai. Untuk melaksanakan tekadnya memang bukan pekerjaan yang mudah. Sultan yang masih muda ini menganggap adalah mustahil mengusir Portugis yang besar, jika kerajaan-kerajaan Islam yang kecil-kecil itu tetap berdiri sendiri-sendiri, tidak bersatu dalam kerajaan yang besar dan kuat.
Dengan pemikiran seperti itulah, maka begitu menjadi sultan, Alaiddin Mughayat segera mengumumkan berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam yang wilayah kekuasaannya meliputi Aru hingga ke Pancu di pantai utara, dan dari Daya hingga ke Barus di pantai Barat dengan beribukota kerajaan di Banda Aceh Darussalam. Padahal waktu itu kerajaan-kerajaan Aru, Daya, Pase, Pidie, dan sebagainya masih diperintah oleh raja-raja lokal.
Bersama Turki Utsmani Hancurkan Tentara Salib Portugis
Setelah mengumumkan secara sepihak, Sultan yang pemberani ini segera mengirim surat berisi seruan kepada raja-raja lokal di Pidie, Daya, Pase, dan Aru agar mereka secepatnya mengusir Portugis dari wilayahnya masing-masing dan bersatu menjadi satu kerajaan Islam yang kuat dan besar. Peringatan Sultan yang baru ini disalah artikan oleh raja-raja itu sehingga mereka mengira Kerajaan Aceh akan menyerang mereka. Sebab itu, bukannya menggabungkan diri ke Aceh, mereka malah memberi hati kepada Portugis. Melihat perkembangan yang tidak bagus, dengan cepat Sultan Alaiddin Mughayat Syah mengirim bala tentaranya untuk melakukan penyerangan ke kantong-kantong Portugis yang berada di sekitar kerajaan Aceh Darussalam.
Dalam waktu relatif singkat, kekuatan Portugis yang berpusat di Daya berhasil dihancurkan sehingga Raja Daya bersama Portugis kabur ke Pidie. Laskar Islam kerajaan Aceh terus memburu mereka. Di Pidie, laskar Islam kembali berhasil menghancurkan musuh hingga Raja Daya, Raja Pidie, dan Portugis kembali melarikan diri ke Pase. Di belakangnya, laskar Islam Aceh terus mengejar tanpa ampun. Di Pase, angkatan perang Portugis juga mengalami kehancuran total, sebagian besar serdadunya tengelam di Teluk Pase.
A. Hasjmi mencatat, dalam suatu pertempuran antara Aceh melawan Portugis di Teluk Aru, Laksamana Raja Ibrahim menemui syahid pada tanggal 21 Muharram 930 H (Minggu, 29 November 1523). Laksamana Ibrahim digantikan oleh Laksamana Malik Uzair (Putera Sultan Salatin Meureuhom Daya, ipar Sultan Alaiddin Ali Mughayat Syah), yang kemudian juga menemui syahid dalam satu pertempuran pada bulan Jumadil Awal 931H. Jika laskar Islam Aceh hanya kehilangan dua laksamananya, maka di pihak tentara Portugis, mereka kehilangan banyak sekali perwiranya. Di antaranya adalah Laksamana Jorge de Brito yang mati konyol dalam pertempuran (927 H), Laksamana Simon de Souza (934 H), dan lain-lain. Rizki Ridyasmara)
[1] Ahmad Mansyur Suryanegara, Ulama dan Perkembangan Islam di Nusantara, Suara Hidayatullah, Juli, 2001.
[2] J. Wils, artikel berjudul “Kegiatan Penyiaran Agama Katolik”, salah satu tulisan dalam buku “Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan”; Obor Indonesia; Jakarta; cet.1; 1987; hal. 356.
[3] A. Hasjmi, 59 Tahun Aceh Merdeka Dibawah Pemerintahan Ratu, Bulan Bintang, cet.1, 1977, hal. 13-14.
No comments:
Post a Comment