Tulis Ulang Sejarah Nusantara: Nanggroe Atjeh Darussalam (Part 25)
Presiden Gospel for Asia (GFA) K.P. Yohannan dalam Philadelphia Inquirer seperti dikutip situs www.news-leader.com pada tangal 10 Januari 2005 terang-terangan menyatakan, “Bencana ini merupakan salah satu kesempatan terbesar Tuhan yang diberikan pada kami untuk berbagi cinta-Nya dengan orang-orang itu.”
Koordinator Southern Baptist, Pat Julian Robertson juga mengatakan, tsunami telah menyediakan kesempatan fenomenal bagi para penginjil untuk menyebarkan misi Yesus. Pendeta fundamentalis Jerry Falwell bahkan mengaku akan membagikan Injil kepada Muslim Aceh.
Hanya sepekan paska tsunami, 2 Januari 2005, organisasi Islam Hilal Merah menemukan email yang isinya menyerukan agar umat Kristen dunia segera membantu Aceh dengan alasan bahwa tragedi tsunami merupakan cara tuhan untuk membuka dan merebut Aceh yang selama ini pintunya terkunci rapat.
Bukan tanpa alasan yang kuat Aceh disebut Serambi Mekkah. Hal ini sesungguhnya sangat dipahami oleh para penginjil dan aktivis gereja. Sebab itu, tanpa kenal lelah mereka terus menggedor pintu baja yang terkunci rapat bernama “Aceh” agar bisa masuk ke dalam dan menyebarkan misinya.
Sejarah juga telah membuktikan, mereka mengetuk pintu Aceh bukan dengan jari tangan, tetapi juga dengan meriam dan bom seperti yang dilakukan oleh salib Portugis dan Salib Belanda. Keduanya ternyata gagal menaklukkan Aceh.
Dalam logika penginjilan, bencana tsunami yang telah menewaskan ratusan ribu manusia dan ratusan ribu lainnya yang kehilangan pekerjaan, tempat tinggal, harta, pendidikan, dan sebagainya merupakan momentum yang sangat bagus untuk menyebarkan iman Kristiani.
Dengan adanya tsunami, maka semua rintangan untuk masuk ke Aceh selama ini menjadi terbuka luas. Jika Portugis dan Belanda gagal menaklukkan Aceh, maka sekaranglah saat yang tepat untuk menyerang akidah rakyat Aceh karena rakyat Aceh tengah dalam keadaan sangat lemah, sangat papa, sangat lelah. Ini kondisi yang amat menguntungkan untuk menyebarkan kasih Yesus ke tengah-tengah mereka.
Hampir dua pekan setelah bencana tsunami menerjang Aceh, saya baru bisa mendapat pesawat untuk terbang kembali ke sana. Itu pun setelah tertahan sekitar enam jam di ruang tunggu Bandara Soekarno Hatta dan transit semalaman di Bandara Polonia Medan.
Beberapa menit sebelum mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh, Boeing 727 yang saya tumpangi miring ke kanan, tepat di atas Ulee-Lheue. Ketika pertama ke Aceh tahun 2002, dari atas pesawat akan terlihat betapa kampung nelayan itu sangat ramai, banyak kapal tradisionil dan bermotor yang merapat. Namun sekarang, dari jendela pesawat ini saya menyaksikan betapa kampung itu sudah hilang berganti dengan air laut yang sudah menjorok jauh ke daratan. Puing-puing berserakan di atas air.
Yang tersisa hanyalah sebuah masjid yang masih berdiri utuh. Sekarang, masjid itu bagai berdiri sendirian di laut, seolah ingin berkata bahwa dahulu di tempat itu ada sebuah kehidupan.
Dari Bandara Sultan Iskandar Muda, saya menumpang mobil relawan menuju sebuah rumah panggung di seberang lapangan Neusu Jaya, Banda Aceh, di mana rumah tersebut dijadikan salah satu pos bagi para volunteer Tsunami. Sebelumnya kami sempat mampir di Pendopo Gubernuran yang telah disulap menjadi pusat komando penanganan bencana tsunami Banda Aceh.
Pendopo ini adalah bangunan bersejarah buatan Belanda, setelah menghancurkan Istana Kerajaan Aceh Darussalam di lokasi yang sama. Jarak Pendopo hanya sekitar duaratusan meter dari base camp Neusu. Seluruh relawan, baik militer maupun sipil dari berbagai negara, wartawan, dan para pejabat negara bekerja dari Pendopo.
Karena hari sudah sore, saya menginap di Neusu. Menjelang subuh, rumah panggung yang saya tumpangi bergetar hebat selama dua menit. Lantai kayu tempat saya tidur berderak-derak. Kami langsung siaga. Saya yang tidur dekat jendela sudah siap untuk melompat keluar jika terjadi hal-hal yang buruk. Seorang senior menenangkan kami.
“Tenang, tenang, setelah tsunami, tiap menjelang Subuh selalu terjadi gempa. Ini cara Allah membangunkan kita agar segera sholat Subuh,” ujarnya setengah bergurau. Namun selama saya berada di Banda, gempa menjelang subuh memang selalu terjadi dengan kadar yang berbeda. Nun jauh di dalam permukaan bumi, lapisan tanah tengah mentransformasikan diri entah hingga kapan.
Hari kedua, pagi-pagi sekali saya sudah berada di Pendopo dan bertemu dengan rekan-rekan wartawan dari Jakarta maupun dengan para relawan. Di Masjid Pendopo, saya berjumpa dengan Ustadz Gufron, aktivis Gerakan Pemuda Islam (GPI) Jakarta. Kebetulan, Ustadz Gufron selama di Aceh tinggal di kamar pengurus masjid yang masih berada di dalam areal komplek Pendopo.
“Ente di sini saja nginapnya,” ujar ustadz yang masih saja betah melajang kala itu. Saya akhirnya pindah ke masjid ini. Sebagai wartawan, saya memang harus selalu dekat dengan pusat informasi. Di Pendopo ini segala informasi tentang korban tsunami Aceh dan segalanya berpusat. Akses telepon dan internet wireless gratis juga telah tersedia. Tinggal buka notebook, internet otomatis sudah bisa diakses, walau sinyalnya kadang-kadang drop. Tapi ini sudah sangat meringankan pekerjaan.
Kasus Penculikan Anak-Anak Aceh
Tak sampai sehari menempati “base camp” di masjid, saya telah mengetahui jika informasi soal penculikan anak Aceh telah menjadi pembahasan serius para relawan lokal. Di salah satu tiang masjid dan di tembok pinggir jalan dekat Museum Aceh juga ditempel kertas pengumuman. Isinya sebuah tulisan tangan dari spidol, mengajak seluruh warga Aceh agar mewaspadai penculikan anak-anak oleh orang-orang yang menangguk keuntungan dari musibah ini.
Ada dua hal yang patut diwaspadai: penculikan anak oleh mafia perdagangan anak dan penculik anak yang akan memurtadkan anak Aceh yang saat itu tersiar kabar akan di bawa ke Medan.
Saya teringat ketika bertemu dua orang pengungsi Aceh di Bandara Polonia Medan, sehari sebelum tiba di Aceh. Ketika itu pesawat yang saya tumpangi dari Jakarta transit di Medan pas tengah malam. Sambil menunggu pagi di ruang tunggu bandara dan melihat tentara Australia hilir-mudik membawa kotak-kotak bantuan dan alat-alat berat, saya mendengar kisah dua warga Aceh itu. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah informasi soal penculikan anak-anak Aceh yang dilakukan oknum-oknum tertentu dengan tujuan untuk dimurtadkan.
“Kami dengar sudah puluhan anak-anak Aceh yang dibawa kabur ke Medan ini, tapi kami tidak tahu mereka disembunyikan di mana di sini,” ujar salah seorang dari pengungsi Aceh bernama Lukman.
Malam telah berganti pagi. Sekitar pukul 03.00 wib, kantuk mulai menyerang. Selain letih, saya juga baru makan sekali di pesawat. Sedang air minum dalam botol besar yang tersimpan di dalam tas yang masuk bagasi pesawat raib entah kemana. Sambil memangul ransel besar di punggung, kami akhirnya berjalan menuju mushola bandara Polonia untuk memejamkan mata barang semenit.
Di atas karpet hijau tipis dalam mushola, mata ini ternyata tidak bisa dipejamkan. Sambil berbaring pikiran saya terus menerawang memikirkan kondisi anak-anak Aceh yang saya dengar banyak yang diculik untuk diperdagangkan atau pun di murtadkan.
“Ini tentu bukan sekadar isapan jempol, tak kan ada asap jika tidak ada apinya,” bathin saya. Tak lama kemudian muadzin melantunkan adzan Subuh dengan merdunya. Saya dan orang-orang yang juga menginap di mushola ini segera bangun dan bersujud di pagi yang dingin itu.
Setelah berkemas, tanpa sempat mandi, saya masuk ke ruang tunggu bandara. Sambil menunggu pesawat pertama yang berangkat ke Aceh dari Polonia, take-off pukul 07.00 wib, saya membeli harian Waspada. Tak ada informasi soal penculikan. Tidak lama kemudian saya sudah berada di dalam pesawat menuju ke Banda Aceh.
Di Pendopo Gubernuran Aceh banyak hal-hal yang menarik. Salah satunya adalah papan pengumuman yang penuh berisi kertas-kertas fotokopian yang ditempel. Isinya sebagian besar seragam, foto anak-anak lengkap dengan identitasnya dengan keterangan “Dicari” atau “Anak Hilang”. Jumlahnya sangat banyak.
Setelah berhari-hari di Aceh, kertas-kertas ini ternyata tidak saja banyak dijumpai di Pendopo dan sekitarnya, tapi juga di seantero tempat-tempat keramaian di Banda Aceh. Foto anak-anak Aceh itu manis-manis dan lucu-lucu. Mereka sekarang entah di mana. Jumlahnya belasan bahkan bisa jadi puluhan ribu. Rizki Ridyasmara)
No comments:
Post a Comment