Berkaca pada Jalan Hidup Muhammad Natsir Muda (Part 2)
SELAMA masa sekolah AMS, Natsir juga banyak membaca buku-buku para orientalis. Terutama orientalis yang cukup tersohor seperti Snouck Hurgronje. Di situlah Natsir dan kawan-kawannya berkesimpulan bahwa pendidikan yang diberikan oleh Pemerintah Kolonial adalah cara untuk menjauhkan Umat Islam dari agamanya, menjadi sekuleris, dan liberalis, juga berbudaya mengikuti eropa.
Dengan begitu, cengkraman penjajahan tidak hanya secara fisik semata namun juga pemikiran dan sikap hidup. Jika pemikiran dan sikap hidup sudah terjajah, semakin berkuasalah si penguasa. Hanya dengan Islam -berakidah, bertingkah laku, bermasyarakat, hingga berpolitik- penjajahan ini dapat dilawan.
Ditengah kesibukannya menjalakan aktivitas dakwah; berorganisasi dan mengajar, Natsir berhasil menamatkan pendidikan AMS dengan nilai yang cukup baik. Tak sungkan Sang Rektor AMS memanggilnya dan menjelaskan bahwa Natsir berhak mendapatkan beasiswa kuliah ke Fakultas Hukum di Batavia agar mendapat gelar Mr. atau pilihan lainnya kuliah ke Fakultas Ekonomi di negeri Belanda. Impiannya di masa kecil terwujud. Inilah prestasi yang tak semua anak pribumi bisa mendapatkannya.
“Tetapi sejak terlibat dalam kegiatan untuk membela Islam dan umatnya, keinginan untuk mencantumkan gelar Mr. di depan namanya itu menjadi pudar. Juga kehendak untuk menyenangkan hati kedua orang tuanya dengan mengirimkan belanja bulanan dari gaji kalau dia bekerja setelah tamat AMS, tidak lagi menarik untuk dipikirkan.
Timbul kesadaran pada dirinya bahwa ada kewajiban yang lebih penting dari pada menyenangkan orang tuanya saja. Ada kewajiban yang lebih mulia yang menunggu, yaitu kewajiban melakukan syiar agama.” Tulis Ajip Rosjidi dengan menarik di buku M.Natsir Sebuah Biografi.
Mungkin baginya, jika tetap melanjutkan ke universitas waktunya untuk memperdalam Islam tidak bisa total. Mungkin juga, ia khawatir tak punya waktu bebas bergerak dalam aktivitas dakwahnya. Tapi itulah pilihan Natsir. Ia memilih dengan pertimbangan yang matang. Masa depannya ia serahan hanya kepada Allah.
Keputusan pilihan hidupnya ia sampaikan kepada kedua orang tuanya untuk meminta izin dan memohon pengertian melalui sebuah surat. Alhamdulillah, surat balasan dari orang tuanya tidak menunjukkan kekecewaan. Orang tua Natsir ikhlas dengan jalan yang dipilihnya. Adanya dukungan dari kedua orang tuanya membuat ujian berat Natsir menjadi ringan. Atas dukungan tersebut, langkah pilihan hidupnya memilih sebagai penyeru dakwah semakin berkobar.
Memang tak mudah atas pilihan itu. Gaya hidup Natsir meski berubah. Konsumsi pun mesti dikurangi. Yang awalnya mendapat uang saku sebesar F 30 per bulan dari beasiswa pemerintah, kini ia harus menerima F 20 dari upah menulis di Majalah Pembela Islam.
Bagi kebanyakan teman-temannya yang tidak mengerti motivasi Natsir, apa yang dilakukannya adalah langkah yang bodoh. Semua orang ingin bersekolah agar bisa hidup layak. Semua orang ingin bersekolah agar bisa memiliki penghasilan yang lebih baik. Namun, Natsir tetap tak peduli apa kata teman-temannya. Yang penting orang tua sudah ridho dan yakin Allah akan memberikan jalan yang terbaik. Bagi teman-temannya yang paham akan motivasi dan tujuannya Natsir justru kagum dan menghargainnya.
Natsir pun menjadi manusia bebas. Bebas mengatur waktunya. Tak ada lagi jadwal untuk ia duduk di bangku kelas. Juga, tak ada ikatan sebagai seorang pekerja jika ia memilih bekerja dengan ijazah AMS. Padahal, jika pun ia memilih bekerja dari ijazah AMS di kantor pemerintahan, penghasilan melebihi kebutuhan bisa didapatkan. Orang tua di kampung bisa merasakan rezekinya. Tapi itu juga tak menjadi pilihan Natsir. Mungkin ia takut waktunya berkhidmad kepada Islam terbagi.
Sejak lulus itulah Natsir banyak mencurahkan waktunya untuk memperdalam Islam. Beberapa kitab baik berbaha Arab mapun Inggris milik Ahmad Hasan ia pelajari. Malam harinya menela’ah tabsir Al Qur’an. Majalah-majalah Islam dari berbagai bahasa pun ia baca. Setiap harinya ia pergi ke rumah sang guru tersebut untuk mengurusi penerbitan Majalah Pembela Islam (karena berkantor di rumah tersebut). Semuanya itu benar-benar dilakukan untuk menambah kapasitasnya sebagai seorang Intelektual Muslim.
Natsir juga mengisi waktunya dengan mengajar dan mendirikan sekolah yang dinamakan Pendis (Pendidikan Islam), yaitu sekolah Islam modern yang menggabungkan pendidikan di sekolah modern dengan pendidikan Islam. Ia mendirikan sekolah tersebut ketika umurnya masih 24 tahun. Inilah sekolah Islam modern yang dicita-citakan Natsir. Ada misi idealis dibalik lahirnya sekolah tersebut.
Sejarah sudah mencatat, pilhan jalah hidup Natsir mengantarkannya menjadi sosok manusia besar dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Meski tak bergelar “Mr”, jabatan Perdana Mentri Republik Indonesia pernah disandangnya. Selama beberapa tahun Ketua Partai Masyumi dijabatnya. Soekarno menjadi kawan juga lawan dalam perdebatan ideologi politik dalam bernegaranya.
Dia termasuk diantara sedikit tokoh Indonesia dengan reputasi internasional. Pernah jadi Presiden Liga Muslim se-Dunia (World Moslem Congress), Ketua Dewan Masjid se-Dunia, anggota Dewan Eksekutif Rabithan Alam Islamy yang berpusat di Mekkah. Akhir tahun 1979 Raja Fadh dari Saudi Arabia memberi anugerah Faisal Award melalui King Faisal Foundation di Ryadh karena dedikasi hidupnya untuk dakwah dan umat. Masya Allah.
Itu pilihan jalan hidup Natsir yang mempengaruhi perjalanan sejarah bangsa ini. Bagaimana dengan pilihan jalan hidup kita? Sudahkah berkhidmad untuk Islam? []
Ridwan Hd
No comments:
Post a Comment