“Apa yang kusaksikan di dalamnya sungguh menegakkan bulu roma,” ungkap Roswita Tanis Djajadiningrat dalam buku hariannya. “Sembilan orang terkapar di tanah mati dengan tengkoraknya pecah.”
Roswita, atau yang kerap disapa dengan Zus Wiet atau Sweet, bersandar pada dinding sambil menangis. “Wajahnya rusak tak dapat dikenali lagi,” ungkapnya. “Pada yang seorang biji matanya dicongkel, pada yang lain sisa lidahnya yang dipotong terjulur keluar, yang lain lagi hidungnya dipotong.”
Buku hariannya, yang ditulis dalam bahasa Belanda pada Kamis 4 September 1947, melukiskan salah satu kengerian pada masa Aksi Polisional 1947.
Pada pukul lima pagi, demikian Roswita berkisah, terdengar tembakan sekitar tiga kilometer dari Turen di selatan Malang. Pasukan
yang tengah tidur nyenyak dalam sebuah rumah. Para pemuda Indonesia yang malang itu tewas dibantai dengan keji.
itu terjadi sepanjang Juli hingga Agustus 1947. Meskipun ada kesepakatan gencatan senjata, pada bulan-bulan berikutnya terjadi lagi serangkaian pertempuran kecil. Bagi Indonesia, aksi ini merupakan pengkhianatan hasil Perundingan Linggajati. Bagi Belanda, aksi ini merupakan usaha penertiban dari hasil perundingan tersebut.
Para perempuan Palang Merah yang siap menolong korban pertempuran dengan tandu bambu, sekitar 1946. Perempuan turut dalam perjuangan, baik di lini belakang maupun lini depan. (
Album Perang Kemerdekaan 1945-1950, Badan Penerbit Almanak R.I.,1983
Roswita memang berlatar pendidikan Belanda dan semasa sekolah
terkenal dekat dengan orang-orang Belanda. Namun, peristiwa pembantaian
tadi membuatnya benci kepada orang-orang Balanda yang menganggap diri
mereka mempunyai peradaban yang lebih tinggi ketimbang orang Timur.
“Untuk pertama kalinya aku merasakan kebencian,” ungkapnya, “kebencian
yang dalam dan tidak terkekang.”
Dia merupakan gadis perawat
berusia 28 tahun dengan paras menarik, setidaknya dari pengakuan teman
seperjuangannya, terlahir dari keluarga terpandang asal Jakarta. Gadis
pecandu rokok yang menyadari bahwa katup jantungnya tidak bekerja
sempurna, dani rela meninggalkan kotanya untuk bergabung bersama pejuang
Republik.
Dia merawat korban luka-luka
karena pertempuran yang diderita warga sipil dan pejuang, hingga lelaki
korban pelacuran—yang menderita ulcus penis.
Selama
Agustus hingga Desember 1947, dia bertugas di beberapa pos di Malang,
Jawa Timur: Turen, Ngerejo, Sumberpucung, Pujon, hingga Tumpang. Dia
merawat korban luka-luka karena pertempuran yang diderita warga sipil
dan pejuang, hingga lelaki korban pelacuran—yang menderita
ulcus penis.
Sebagai
perawat yang membantu para dokter, Roswita bertugas mengidentifikasi
luka-luka pejuang yang malang itu. Dia ingin menempuh jalan hidupnya
dengan menyerahkan diri kepada pekerjaan sosial dan meringankan
penderitaan orang lain. Meskipun dia tidak mengikari bahwa putus cinta
menjadi salah satu motivasinya. “Bekerja, bekerja keras, hingga akhirnya
lupa akan penderitaan sendiri.”
“Kini aku memandang semua itu
dengan pikiran tenang dan rasionil,” tulisnya. Dia mempertanyakan
solidaritas dalam perjuangan, dan mengkritik pemerintah Yogyakarta yang
tak memberikan perhatian lebih banyak soal pasokan militer dan logistik
mereka.
Dalam desingan peluru, Roswita dan para perawat lainnya
membawa korban dengan tandu, berjalan beberapa kilometer jauhnya.
Sementara, belahan lain di Jawa, dia menyaksikan warga Yogyakarta masih
melenggang dengan mobilnya.
Dia juga mengungkapkan dalam buku
hariannya bahwa para pejuang telah tiga bulan lebih di medan
pertempuran, namun belum juga diganti. “Sementara di kota-kota besar
masih banyak pemuda-pemuda yang menghabiskan waktunya dengan
berjalan-jalan kian kemari dan bermalas-malasan.”
Begitu juga dengan para dokter yang bekerja merawat dan menjahit luka
korban hingga detik-detik terakhir jelang kedatangan musuh. Roswita
mempertanyakan mengapa para dokter lain, yang tinggal di kota-kota dan
sedang memperkaya diri, tidak bersedia menggantikan rekan mereka di
garis depan pertempuran?
Setelah kejadian pembantaian kala subuh 4 September tadi, Roswita
memang membenci orang-orang Belanda yang dengan keji merusak jenazah
para pemuda Mobiele Brigade Kepolisian. Namun, pada Selasa 11 November,
dia menulis bahwa pemuda-pemuda Republik juga telah melakukan tindakan
serupa terhadap jenazah tiga pemuda Belanda.
“Haruskan aku
menyaksikan ini untuk dapat melihat dengan mata-kepalaku sendiri
mengenai kekejaman dalam peperangan?” tulis Roswita. “Kekejaman, yang
dilakukan oleh kedua pihak? Sungguh mengerikan!”
Dia
ingin menempuh jalan hidupnya dengan menyerahkan diri kepada pekerjaan
sosial dan meringankan penderitaan orang lain. Meskipun dia tidak
mengikari bahwa putus cinta menjadi salah satu motivasinya.
Buku harian Roswita pertama kali terbitkan oleh Martinus Nijhoff di Den Haag, Belanda, dengan judul
Herinneringen van een Vrijheidsstrijdster
(Kenangan Pejuang Kemerdekaan) pada 1974. Beberapa bulan kemudian pada
tahun yang sama, Balai Pustaka menerbitkan buku hariannya dalam bahasa
Indonesia,
Pengalamanku di Daerah Pertempuran Malang Selatan. Tebalnya 111 halaman.
Roswita adalah adalah anak dari pasangan
Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat dan Raden Ajeng Soewitaningrat. Gadis intelektual itu masih terhitung keponakan dari
Hoessein Djajadiningrat, orang Indonesia pertama yang bergelar doktor, yang dikenal juga sebagai “bapak metodologi penelitian sejarah Indonesia”.
Aksi
Polisional pada pertengahan 1947 bukanlah yang pertama dan terakhir.
Tampaknya naluri Roswita telah menduga bahwa dirinya dan rakyat
Indonesia masih harus menghadapi satu pertempuran lagi sebelum mereka
mencapai kemerdekaan penuh. Sejarah menyuratkan takdirnya, pada Desember
1948, Belanda melakukan
Operatie Kraai, sebuah Aksi Polisional Kedua yang bertujuan melemahkan kedudukan Republik di Yogyakarta.
“Gencatan
senjata telah diumumkan. Namun, aku tahu dengan pasti bahwa ini tidak
akan berarti perdamaian bagi kita,” tulis Roswita pada bulan September
1947—sekitar setahun lebih sebelum Aksi Polisional Kedua. "Dalam waktu
dekat kita akan dihadapkan kembali pada aksi polisionil yang lebih
ganas.”
(Mahandis Yoanata Thamrin)
No comments:
Post a Comment