Sepenggal Kisah Kezuhudan Ali bin Abi Thalib

Ali bin Abi Thalib adalah sepupu Rasulullah SAW yang demikian taqwa kepada Allah SWT. Ketakwaannya, tak sekadar terlihat ketika dalam keluarganya bersama istrinya Siti Fatimah. Tetapi juga nyata ketika di mendatangi masyarakat, atau para pedagang di pasar. Selalu Ali mengajak mereka untuk beriman kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW.

Ajakannya untuk terus beribadah dan membesarkan nama Allah di antara kaumnya yang saat itu masih cukup banyak yang belum beriman, tidaklah mulus. Melinkan banyak yang menentang bahkan sampai menunjukkan kedengkian kepada Ali. Bahkan lebih dari itu mengganggunya hingga melalui fisik. Namun, Ali tetap tabah dan senyum melihat tingkah laku dari kaumnya yang masih jahiliyah atau bodoh itu.

Dalam Buku Kisah Para Sahabat, yang ditulis oleh Muhhammad Faqih dari Universitas Alazhar, 1989, mengemukakan Ali adalah orang kedua yang memeluk agama Islam setelah Siti Khadijah. Dan kedua sahabat ini menunjukkan Keislamannya yang militan dan mereka tak segan-segan meluangkan tenaga, bahkan menginfaqkan harta bendanya untuk menyebarkan dan menggelorakan agama Allah ke seluruh negeri di Tanah Arab.

Ali adalah anak dari paman Rasulullah SAW, Abdul Muththalib bin Hasyim. Paman yang membesarkan Rasulullah ini, juga membuat Ali dan Muhammad SAW memiliki tali persahabatan yang sangat erat. Bukan saja karena mereka bersaudara, tetapi karena persahabatan mereka yang begitu akrab, sehingga keduanya sejak kecil selalu membantu satu sama lainnya.

Kisah Ali terlalu banyak untuk diungkapkan, tetapi diantaranya banyak pula yang menggugah hati, atas ketaqwaanya. Ali adalah orang yang tidak pernah mengandalkan harta dalam kehidupannya. Ia dengan istrinya Siti Fatimah putri Rasulullah SAW, selalu memiliki pola hidup sederhana.

Bahkan, pernah suatu hari mereka tak punya roti untuk dimakan. Kendati saling bertatapan muka Ali dan Fatimah, namun mereka juga menyebulkan senyum di bibir mereka atas kehidupan keluagranya yang miskin itu. Tiada tampak kesedihan yang terlalu yang pada wajah Ali kendati Ia menjalani hidup yang penih dengan kepedihan itu. “Allah telah mengatur hidupku,”ujarnya sembari tersenyum kepada setiap sahabat yang bertanya tentang kehidupannya.

Suatu hari Ali, diminta Fatimah untuk pergi membeli roti ke pasar, karena pagi itu tidak ada lagi yang harus mereka makan. Tetapi di tengah jalan Ali bertemu dengan seorang peminta-minta, lalu Ali menyerahkan uangnya untuk orang miskin yang lebih membutuhkan itu.

Ali pulang dengan tangan hampa. Lalu istrinya Fatimah, bertanya. “Mengapa engkau pulang begitu cepat wahai suamiku. Dan saya tidak melihat ada roti di tanganmu.” Ali menjawab, “Tadi ada seorang sahabat yang lebih memerlukan uang kita, karen telah lama tidak makan,”jawab Ali dengan senyum. Istrinya, tidak marah, melainkan berkata.”Kalaulah demi Allah, uang itu sangat dibutuhkan oleh sahabat itu, tak menjadi soal wahai suamiku. Mari kita puasa hari ini,”ujar Siti Fatimah.

Demikian mulia hati Ali dan Fatimah dengan kondisi mereka yang begitu berkekurangan, namun masih sempat-sempatnya untuk menginfaqkan uangnya bagi orang yang lebih membutuhkan.(*)


Bangun Lubis

No comments: