Dilupakan, kreator lambang Aceh dan miniatur pulau-pulau di TMII


CHAIRUL Bahri adalah sosok yang dilupakan, begitu kata Fikar W Eda, penyair sekaligus wartawan salah satu media cetak terkenal di Aceh. Dia tergelitik membuka kembali arsip catatannya setelah ditanya tentang pelukis lambang Pemerintah Aceh Pantja Tjita. “Iya saya masih mengingatnya dengan baik,” kata Fikar, beberapa waktu lalu.
1412539970893297239
Chairul Bahri. (Foto : Doc. Fikar W. Eda)

Jasanya sangat besar untuk Aceh, kata Fikar. Chairul Bahri adalah orang yang menciptakan lambang pemerintah Aceh ”Pantja Tjita” yang sempat digunakan sebagai lambang daerah bagi Aceh selama puluhan tahun.
Pria kelahiran ujung paling timur Danau Lut Tawar, Bintang, Aceh Tengah, 1927, memang seperti hilang ditelan sejarah. Peran dan partisipasinya dalam proses penciptaan lambang Pemerintah Provinsi Aceh nyaris tanpa penghargaan hingga lambang Aceh “Pantja Tjita” itu akan benar-benar hilang tergantikan dengan lambang Aceh yang baru.
Sosok ini, meninggal dunia dalam usia 81 tahun di Jakarta, Minggu 23 November 2008 lalu dan dikebumikan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Kemiri, Rawamangun Jakarta Timur.
”Kita kehilangan tokoh penting,” kata Ketua Masyarakat Gayo di Jakarta, Hasan Daling saat ikut mengurusi pemakaman sang maestro yang terlantarkan dari sejarah itu.
Sosok Chairul Bahri tak hanya penting untuk Aceh tapi juga sebagai sosok penting dalam seni rupa Indonesia. Ini dinyatakan kurator seni rupa, Merwan Yusuf yang merekomendasikan keikutsertaan Chairul Bahri dalam Festival Istiqlal Jakarta pada 1992.
”Sayangnya nama Chairul Bahri kemudian hilang lagi, karena ditentang oleh orang-orang yang berbeda haluan politik,” ujar Merwan Yusuf kepada Fikar W. Eda.
Seingat Fikar, Pemerintah Aceh sendiri memang ”melupakan tokoh ini.” Saat peringatan Hari Jadi Provinsi Aceh pada tahun 1994 lalu, saat itu Gubernur Aceh dijabat Profesor Syamsuddin Mahmud dan Wakilnya Zainuddin AG, pernah memberi penghargaan berupa medali tanda jasa kelas satu kepada dewan juri sayembara lambang ”Pantja Tjita”. Tapi dari deretan nama-nama penerima medali, tak tertera nama Chairul Bahri, sang pencipta lambang tersebut.
Saat penjurian terhadap lomba penciptaan lambang Aceh di tahun 1961 tidak menemukan pemenang, sehingga Chairul Bahri juga salah seorang anggota dewan juri yang kemudian ditugasi secara khusus untuk melukis Lambang ”Pantja Tjita” tersebut.
Fakta penting ini tertera dalam laporan badan juri tertanggal 17 Mei 1961 pada angka III. Lengkapnya dokumen panitia itu berbunyi “Menetapkan bahwa lambang dari Daerah Istimewa Aceh harus dilukis oleh Sdr Chairul Bahri, anggota dari badan juri, seseorang yang telah mendapat pendidikan dalam jurusan dimaksud (seni lukis, red.) di Roma, dengan mengindahkan lukisan-lukisan dari para pemenang kelima orang itu. Istimewa dari Sdr Iman Santoso…”. Demikian dibeberkan Fikar.
Proses penciptaan Lambang Pemda Aceh tersebut, diselenggarakan pada saat Gubernur dijabat Ali Hasjmy. Mula-mula, gubernur membentuk sebuah panitia yang diketuai sendiri oleh gubernur.
Selanjutnya dibuat sayembara penciptaan lambang. Setelah diseleksi dan kemudian dipamerkan, ternyata tak ada pemenang. Chairul sendiri masuk dalam jajaran panitia belakangan. Ia dipercaya juga menjadi ketua pameran karya-karya peserta lomba.
14125383571598450642
Lambang Aceh “Pancacita” dan peta Indonesia. (Sumber : internet)
Karena tak ada juara pertama, panitia kemudian berembuk dan memutuskan agar Chairul Bahri yang meluksikan lambang tersebut berdasarkan referensi dari karya-karya yang dilombakan.
Peran Chairul Bahri, selain sebagai juri lomba juga melukis dan merakit lambang ”Pantja Tjita” itu sehingga berbentuk seperti sekarang.
Ya, hebatnya sang Chairul Bahri tidak pernah kecewa mengalami perlakuan diskriminasi seperti itu.
Kepada Fikar, keponakannya, Usman Nuzuly yang sempat memamerkan karya-karya Chairul Bahri di ”Cafe Gayo” Mal Puri Indah Jakarta Barat, beberapa tahun silam pernah mengatakan Chairul Bahri hanya ingin meluruskan sejarah.
Dalam upayanya itu, Chairul Bahri pernah menyurati pihak terkait di Aceh, dari Gubernur Aceh hingga Ketua MUI Aceh sehubungan dengan ”pelurusan sejarah” tersebut. Tapi sampai akhir hayatnya, tak pernah mendapat sekerat surat balasanpun. Surat-surat yang dikirimkan tidak pernah mendapat respon.
Tahun 1961, Chairul Bahri adalah pegawai bidang Kebudayaan Kantor Pendidikan dan Kebudayaan Aceh. Tapi, selang setahun kemudian, memilih keluar dari pegawai negeri setelah sebelumnya sempat pindah kerja ke Jakarta.
Selama setahun di Aceh, selain diminta sebagai pegawai negeri, ia juga merangkap kurir dari Kodam Iskandar Muda untuk berhubungan dengan tokoh-tokoh DI/TII. Ia pernah dikirim ke Aceh Tengah untuk bertemu dengan tokoh-tokoh DI/TII setempat. Ya tentu tiada lain selain Tgk. Ilyas Leube dan rekan-rekan kala itu.
Penelusuran FIkar W. Eda, di Indonesia, ratusan kali pameran telah dilakukan sang pelukis Chairul Bahri. Pameran lain pernah dilakukan di tahun 1955 di Roma bersama-sama dengan pelukis Asia lainnya, lalu Pameran Bertiga di Galeri Scheider Roma 1956.
Chairul Bahri mulai belajar melukis di Yogyakarta. Termasuk angkatannya adalah Edi Sunarso, G Sidharta, Abbas Alibasyah, Fajar Siddik dan lain-lain.
Mulai belajar melukis tahun 1950 di Yogyakarta. Ketika itu ia baru saja menunaikan tugas sebagai anggota TNI AD (1945-1950). Menteri P dan K, M Yamin kemudian mengirim Chairul Bahri belajar di Akademi Seni Rupa Roma.
Terakhir karya Chairul Bahri untuk Indonesia adalah relief Kepulauan Indonesia yang terletak di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta.
Boleh jadi tak banyak yang menyadari bahwa danau kecil yang di dalamnya tersembul pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua merupakan buah karya dari putra Gayo ini. Relief lima pulau besar itu sangat jelas terlihat pada saat pengunjung berada dalam kereta gantung yang melintasi kawasan tersebut. “Proyek ini dikerjakan tahun 1973,” ujar Fikar.

Calon Penerima Anugerah Budaya

Pada Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-5 Provinsi Aceh yang digelar awal Agustus 2009 di Banda Aceh, sebanyak 6 budayawan asal Gayo diusulkan Pemkab Aceh Tengah mewakili Rakyat Gayo untuk menerima anugerah budaya, salah seorangnya Chairul Bahri bersama AR.Moese (musikus), Sali Gobal (sastra tradisional), dan Abdurrahim Daudy (sastra tradisional). Sementara untuk Bidang Meuketa Alam, tercatat nama Chairul Bahri (pelukis) dan M. Yunus Melala Toa selaku Kritikus Budaya.
Menanggapi para nominator penerima Anugerah Budaya yang diusulkan itu, pemerhati seni budaya Gayo dan Aceh, Mukhlis Gayo, SH menyatakan pemerintah Aceh seharusnya mengusulkan sejumlah budayawan asal tanah Aceh berdarah Gayo untuk menerima Anugerah Budaya tingkat Nasional seperti Chairul Bahri, seorang pelukis yang membidani lambang daerah Provinsi Aceh, Panca Tjita.
”Sejak menjadi provinsi, nama Aceh sudah berulang kali berubah-ubah dan lambangnya tetap Panca Tjita. Namun, semua lupa akan jasa bidan yang melahirkannya, Almarhum Chairul Bahri,” kata Mukhlis Gayo sebagaimana dilansir The Globe Journal, 28 Juli 2009 lalu.
Pun dengan berbagai kelebihan, Chairul Bahri tidak berhasil mendapat nilai terbaik dari pihak penentu penerima Anugerah Budaya PKA V. Syukurlah, penyair asal Gayo lainnya, Fikar W Eda terpilih menerima anugerah Budaya di event budaya bergengsi di Aceh itu.
Saat PKA VI tahun 2013, Pemkab Aceh Tengah tidak lagi mengusulkan Chairul Bahri, syukurlah sosok seniman Gayo serba bisa Syeh Kilang berhasil memperoleh nilai tertinggi di ajang pemilihan tersebut dan menerima anugerah budaya “Meukuta ‘Alam”.
Sejarah tinggal sejarah. Karena ungkapan ini mungkin generasi sekarang tidak lagi cerdas menapaki hidup. Padahal, sejarah itu mengajar kita agar cerdas menjalani hidup di masa depan. Demikian kata sejawaran Aceh dan Gayo nun jauh dari luar negeri di Denmark, Yusra Habib Abdulgani.[]
Khlais U

No comments: