Zwarte Hollanders Alias Londo Ireng di Purworejo
Tak
banyak perihal sejarah kota kelahiran saya yang diceritakan oleh bapak.
Dan memang waktu itu saya juga tak terlalu tertarik untuk tahu seluk
beluk Purworejo walau 4 rumah di sebelah timur tempat tinggal saya
bermukim sosok tua yang kami sebut sebagai Eyang Bupati. Entah Eyang
Bupati yang adalah kakek dari teman sepermainan saya itu menjabat
sebagai bupati ke berapa di Purworejo. Purworejo sendiri sebagai
kabupaten dimulai sejak tahun 1831, tepatnya tanggal 27 Februari yang
ditandai dengan jumenengan bupati pertama yaitu RAA Cokronagoro 1.
Semenjak
kecil saya sudah mendengar cap yang umum terhadap Purworejo yaitu
sebutan sebagai Kota Pensiunan. Dan rasanya memang benar karena
perkembangan kotanya sangat pelan, ayem tentrem saja. Keramaian
Purworejo hanya di sekitar alun-alun depan Kantor Bupati yang di sisi
lainnya berdiri Masjid dengan bedug yang sangat besar.
Tempat
favorit saya dan teman-teman bermain selain lapangan dan sungai, adalah
Kerkop, kuburan Belanda yang kemudian menjadi kuburan untuk umat
Katolik. Kerkop terletak persis di belakang Lembaga Permasyarakatan
Purworejo. Siang hari duduk-duduk di kuburan Belanda itu terasa silir
dan teduh karena dinaungi oleh pohon-pohon pinus yang tinggi. Kerkop
menjadi tempat yang aman untuk saya dan teman-teman belajar merokok
karena jauh dari amatan siapapun.
Kalau
ngumpul-ngumpul di kuburan, sesekali kami bicara juga soal Purworejo.
Salah satu yang saya ingat adalah bahasan kami tentang Gang Afrikan yang
ada di Pangen Juru Tengah. Berdasarkan pengetahuan sejarah yang
terbatas, kami menduga sebutan Gang Afrikan muncul karena dulu di tempat
itu bermukim serdadu tentara bayaran sekutu yang disebut Pasukan
Gurkha. Tentara Gurkha yang berkulit hitam itu kemudian dikira sebagai
orang Afrika.
Namun
seiring dengan perjalanan waktu akhirnya saya sadar bahwa yang salah
duga justru saya dan teman-teman. Ternyata di Purworejo, dulu memang
pernah ada Kampung Afrika, pemukiman yang didiami oleh tentara bayaran
Belanda yang didatangkan dari Afrika Barat, tepatnya Ghana dan Burkina
Fasso. Tentara yang kebanyakan bujang ini diijinkan untuk memenuhi
kebutuhan biologis dengan menikahi wanita Purworejo, namun ada juga yang
hanya kumpul kebo. Mereka kemudian berdiam di luar tangsi militer
Belanda yang terletak di Kedung Kebo. Tangsi itu kini masih ada dan
menjadi tangsi Kostrad, 412 Purworejo. Dulu sewaktu kecil saya suka
pergi berenang di kolam renang yang ada dalam kompleks itu.
Sejarah
kedatangan para Zwarte Hollanders itu diawali dari jaman perang
Diponegoro dimana pada saat itu Belanda banyak kehilangan pasukan kulit
putihnya akibat gugur di medan pertempuran maupun karena serangan
penyakit tropis. Untuk menganti mereka yang gugur Belanda merekrut
tentara bayaran dari negara-negara Eropa lainnya. Namun kemudian selain
ongkosnya mahal, negara-negara asal mereka melarang perekrutan dari
Belanda untuk menjadi tentara bayarannya.
Atas
inisiatif Van Den Bosch, Gubernur Jenderal Belanda saat itu yang juga
dikenal sebagai pencetus Cultuur Stelsel disampaikan solusi untuk
mendatangkan tentara bayaran dari Afrika Barat. Alasannya disamping
ongkosnya murah, tentara dari Afrika dipandang lebih berani berperang
serta tahan atau cocok menghadapi iklim dan penyakit tropis. Belanda
memberikan kompensasi kepada Raja Raja setempat di Afrika Barat sana
sebesar 100 gulden per kepala.
Berdasarkan Nationaliteitsregelingen (Peraturan Kewarganegaraan) para
tentara bayaran yang tak lebih adalah budak ini harus dianggap sebagai
warga negara Belanda. Oleh karenanya mereka disebut sebagai Zwartre
Hollanders, Belanda Hitam alias Londo Ireng. Dan para Londo Ireng ini
terbukti tangguh dan tahan menghadapi iklim di Indonesia. Sebagian besar
dari mereka ini kemudian ditempatkan di Purworejo.
Penempatan
serdadu Londo Ireng di Purworejo bukan tanpa alasan. Karena di daerah
Bagelen, Belanda kalah besar-besaran saat menghadapi pasukan Diponegoro.
Ada kurang lebih 25 benteng dibangun mulai dari Kedung Kebo (Purworejo)
hingga Petanahan (Kebumen). Strategi pembangunan benteng yang disebut
sebagai ‘benteng stetsel’ oleh Jenderal de Kock dimaksudkan untuk
mengepung dan mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro. Selesainya
perang Diponegoro belum membuat Belanda lega, daerah Bagelen (Purworejo
dan sekitarnya) dianggap sebagai daerah yang rawan dan masih memerlukan
perhatian khusus. Penempatan serdadu asal Afrika disini dilakukan untuk
menjamin rasa aman bagi Belanda.
Para
serdadu Afrika ini dikontrak antara 10 hingga 12 tahun. Ketika kontrak
mereka habis ada sebagian yang tak ingin kembali pulang ke Afrika,
mereka memilih menetap di Purworejo bersama keluarga barunya. Mereka
kemudian hidup di luar tangsi dan membaur bersama masyarakat Purworejo
lainnya. Anak-anak hasil perkawinan antara serdadu Afrika dan wanita
Purworejo kemudian disebut sebagai Indo Afrika. Perkampungan mereka
disebut sebagai Kampung Afrikan, kampung yang tumbuh dari sebidang tanah
yang dibeli oleh pemerintah Belanda untuk ditempati para mantan serdadu
bayarannya.
Kejatuhan
pemerintahan Hindia Belanda akibat serangan dari pasukan Jepang yang
tak lama kemudian disusul dengan pernyataan kemerdekaan dari bangsa
Indonesia membuat kampung Afrikan di Purworejo surut. Saat pendudukan
Jepang mereka didiamkan saja oleh tentara Jepang karena tidak dianggap
sebagai orang Belanda. Hanya sebagian yang masih aktif sebagai tentara
yang ditangkap Jepang dan dimasukkan dalam kamp tahanan. Namun setelah
Indonesia merdeka, orang-orang kampung Afrikan dianggap sama dan
digolongkan sebagai orang Belanda yang hak tinggalnya tidak diakui.
Kampung ini kemudian dikosongkan dan warganya dibawa ke Jakarta atau
Bandung untuk kemudian di repatriasi ke negeri Belanda.
Dan
pada saat itulah berakhir catatan sejarah kehidupan di kampung Afrikan,
yang tersisa hanyalah beberapa bangunan yang masih terpelihara dan
sedikit cerita yang kian lama kian kabur. Jejak keturunan juga sulit
ditelusuri lagi. Kini yang tersisa hanyalah sebuah papanbertuliskan gang
Afrikan I dan Afrikan II. Dan petilasan yang berupa pusara di Kerkop
yang entah masih ada atau sudah dibongkar karena konon pekuburan umat
Katolik itu sudah dipindahkan.
Pondok Wiraguna, 2 Maret 2013
@yustinus_esha
No comments:
Post a Comment