Rumah Kuno Semarangan Harus Dipertahankan

13548728051470100903
RUMAH KUNO: Warga Kampung Kebonsari, Kelurahan Bangunharjo, Kecamatan Semarang Tengah, menunjukkan rumah kuno Semarangan yang masih asli dan terawat.
KOTA Semarang memiliki kawasan permukiman bersejarah yang lengkap dan unik, seperti Kauman, Kampung Melayu, Pecinan, dan kawasan Kota Lama yang juga dikenal dengan sebutan Little Netherland. Sayang, kawasan-kawasan tersebut terancam dari berbagai penjuru sehingga perlu usaha ekstra cerdas untuk melestarikannya.
Bagi para arsitektur, Semarang memiliki segudang laboratorium alam ilmu desain yang bernilai sejarah tinggi. Ya, dari Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah ini telah melahirkan berbagai karya desain bangunan yang berasal dari penggalian Kota Semarang tempo dulu.
Kita tengok saja di Kampung Kauman yang terletak di pusat Kota Semarang. Kawasan ini terdiri atas kampung-kampung kecil Bangunharjo, Patihan, Kepatihan, Book, Jonegeran, Getekan, Mustaram, Glondong, Butulan, Pompa, Krendo, Masjid, Kemplongan, Pungkuran, Suromenggalan, dan Kadipaten.
Tak ketinggalan di sepanjang Jalan Plampitan. Kampung-kampung kecil seperti Kampung Plampitan, Kampung Kebonsari, Malang, Ayam, Bokoran juga memiliki sejarah nan eksotis. Setiap kampung memiliki karakteristik masyarakat dan arsitektur bangunan yang khas. Kekayaan pengetahuan ini dapat menjadi modal utama dalam rangka pencarian jati diri bagi sebuah kota.
Hilangnya kampung-kampung seperti Kampung Morojayan, Petroos, Mijen yang ada di Jalan Gendingan, maupun kampung yang terancam hilang yakni Kampung Sekayu, Basahan, diharapkan tidak menjalar ke kampung-kampung yang menyimpan segudang kenangan dan sejarah. Seperti harapan Muhammad Ridwan (69), sesepuh Kampung Kebonsari, Kelurahan Bangunharjo, Kecamatan Semarang Tengah dan 15 warga lainnya yang sejak Juni 2011 resah dengan kampung mereka hendak direbut oleh seorang spekulan tanah, yang merasa memegang hak guna bangunan di kampung itu.
‘’Dulu, kampung ini ada 26 rumah. Warga di sini adalah generasi kelima dan secara turun-temurun menempati kampung ini. Tiba-tiba lahan yang ditempati oleh almarhum Marsidin sejak 1896 ini digugat oleh Bambang Nugroho Sanjoto yang mengaku telah membeli lahan itu sejak 1970-an. Bahkan, Bambang mengklaim sebagai pemilih hak tanah yang sebelumnya digunakan untuk bangunan Yayasan Societeit Milik Hua Yoe Hwee Kwan. Tapi dia tidak bisa membuktikan secara sah, saksi pun juga direkayasa,’’ katanya.
Dijelaskan, lahan permukiman berbentuk huruf L itu kini tinggal 16 rumah karena 10 lainnya telah dibeli oleh pihak hotel. Padahal, kata Ridwan, status tanah dahulu dipinjamkan ke warga oleh ahli waris bernama Liem Hin Ien pada 1908. Didampingi Ketua RW III, Muhammad Ihsan (52) dan warga lainnya, Ridwan pun menunjukkan bukti surat kuasa dengan huruf asli Jawa, dan berbahasa Belanda yang ditandatangi pejabat masa itu.
Menurut Ridwan, munculnya gugatan atas lahan di kampung tua itu terjadi saat di kawasan tersebut dibangun Hotel Plampitan. Informasinya, rumah milik 16 keluarga hendak digunakan untuk mess karyawan hotel. Karena tidak terima dan ingin mempertahankan kampung bersejarah itu, dia dan warga telah mengadu ke DPRD Kota Semarang dan meminta bantuan hukum kepada LBH Mawar Sharon.
‘’Dari cerita turun temurun, sebelum menjadi kampung, wilayah ini merupakan kebun tebu dan pohon asem. Setelah menjadi permukiman, kehidupan masyarakat pun damai, tenteram. Masa remaja saya juga dikampung ini, sampai saya berjodoh dengan anak tetangga sendiri alias pek nggo,’’ tutur ayah dua anak dan empat cucu itu sambil tertawa.
Muhammad Ihsan menambahkan, kampung yang ada tepat di samping kanan Hotel Plampitan itu juga menyimpan sejarah. Berdirinya rumah kuno khas Semarangan menjadi salah satu ciri khas dan kekayaan budaya Kota Semarang yang dikenal sebagai Little Netherland.
Salah satunya rumah yang kini dihuni oleh Muji Hartini (50) maupun Khusnun (51). Jendela, pintu, kusen, dari kayu jati, ukiran besi hingga plafon yang masih asli itu masih tetap dirawat keasliannya. Bahkan cermin kaca dengan pigura kayu jati pun masih terpajang di ruang tamu. Muji maupun Khusnun sejak dahulu juga tidak pernah merubah warna cat maupun bentuk, kecuali jika terjadi kerusakan.
‘’Kalau kampung ini hilang karena tergusur oleh pemetaan tata ruang kota yang tak mungkin diajak berpihak pada sejarah dan ketika kekuatan modal berbicara, sejarah dan jejaknya hanya akan menjadi catatan kecil yang akan tergilas roda kepentingan yang mengatasnamakan investasi. Maka, sampai titik darah penghabisan, warga akan tetap bertahan dan meminta dukungan kepada media maupun masyarakat yang lain,’’ papar ayah dua anak itu.

 (Kang Syukron)

No comments: