Haluoleo, Sosok Pemersatu Sulawesi Tenggara

1352348545379138368
Patung Haluoleo di depan Makorem 143/Haluoleo, Kendari (foto: widikurniawan)
“Selamat datang di Bandar Udara Haluoleo Kendari…” demikian kata-kata dari pramugari sesaat setelah roda pesawat mendarat di bumi Sulawesi Tenggara.
Tak jarang setelah itu bisik-bisik sesama penumpang terdengar, berbincang tentang siapakah Haluoleo, atau bahkan ada yang bertanya, nama apakah Haluoleo itu? Tentu bisa ditebak jika mereka baru pertama kali datang berkunjung ke Kendari. Nama Haluoleo sendiri baru resmi digunakan sebagai nama Bandara sejak awal tahun 2010 menggantikan nama Wolter Monginsidi.
Selain Bandara, sebelumnya nama Haluoleo telah melekat pada nama universitas negeri di Kendari, yakni Universitas Haluoleo (Unhalu) serta nama markas Komando Resor Militer (Korem) 143 Haluoleo.
Namun, menelusuri jejak sejarah Haluoleo tidak semudah yang dibayangkan. Haluoleo lebih dikenal dalam tradisi lisan yang melahirkan beberapa versi cerita yang berbeda satu sama lain. Sebuah penelitian oleh Rustam Tamburaka, dosen yang juga politisi, mengungkapkan bahwa Haluoleo adalah orang yang sama dari penyebutan nama La Kilaponto, Murhum dan La Tolaki.
La Kilaponto, dikenal sebagai seorang raja yang pernah memimpin di lima kerajaan besar di jazirah Sulawesi Tenggara pada masa silam. Pada masa sekitar abad 17, terdapat ratusan kerajaan dan dari sekian kerajaan itu sekurang-kurangnya terdapat lima kerajaan besar sebagai kerajaan induk dan kelimanya pernah dipimpin oleh La Kilaponto yakni Kerajaan Buton, Kerajaan Wuna, Kerajaan Kaledupa, Kerajaan Konawe dan Kerajaan Moronene.
La Kilaponto diterima sebagai raja di setiap kerajaan yang dipimpinnya bukan semata-mata karena kharismatik jiwa kepemimpinannya, tetapi juga karena kedekatan hubungan keluarga dengan raja-raja di tempat dia diangkat menjadi raja. Dia tidak saja memiliki hubungan keluarga dengan raja-raja besar di Sulawesi Tenggara, akan tetapi lebih jauh juga memiliki hubungan dengan raja-raja Bugis, Jawa dan China.
Nama La Kilaponto umumnya lebih dikenal di kalangan masyarakat Muna (salah satu kabupaten di Sulawesi Tenggara). La Kilaponto adalah putra Raja Muna keenam bernama Sugi Manuru. Nama Murhum populer di di kalangan masyarakat Buton karena Murhum adalah gelar yang diberikan kepada La Kilaponto setelah diangkat menjadi Sultan Buton. Sementara La Tolaki adalah nama gelar yang diberikan kepada La Kilaponto setelah diangkat menjadi Mokole (raja) di Konawe (kini salah satu kabupaten di Sulawesi Tenggara).
Semasa hidupnya, Haluoleo atau La Kilaponto dikenal sebagai ksatria yang berani, gigih dan tak kenal menyerah membela tanah tumpah darahnya. La Kilaponto pernah memimpin perlawanan terhadap perompak laut yang pada masa itu sering mengganggu di sekitar perairan Flores-Selayar. Konon ia bertempur dengan kelompok bajak laut Tobelo di laut lepas hingga terdampar sampai di Pulau Marege, Australia. Bajak laut Tobelo sebagian terdiri dari orang-orang Portugis dan kerap menggangu aktivitas pelayaran pengangkutan rempah-rempah di wilayah timur nusantara baik di Sulawesi Tenggara maupun Sulawesi Selatan.
Haluoleo saat ini memang belum ditetapkan sebagai pahlawan nasional karena rekam jejaknya sebagai pejuang nusantara masih terus digali. Namun, bagi masyarakat Sulawesi Tenggara, Haluoleo adalah tokoh pemersatu yang menginspirasi. Haluoleo adalah pahlawan bagi masyarakat Sulawesi Tenggara yang terdiri dari banyak suku dan hidup tersebar di wilayah yang berciri kepulauan.
“Bagi kami tak terlalu penting apakah Haluoleo diakui sebagai pahlawan nasional atau tidak, yang penting nama Haluoleo tertanam di hati masyarakat Sultra sebagai pemersatu,” cetus seorang warga Kendari saat berbincang dengan penulis tentang sosok Haluoleo.
Bahkan dengan namanya yang melekat di simbol-simbol penting Sulawesi Tenggara, Haluoleo telah mampu menumbuhkan kebanggaan terhadap daerahnya. Inilah makna utama dari semangat kepahlawanan, ia tidak harus dilabeli embel-embel pahlawan nasional untuk bisa terus dikenang dan diteladani jasa-jasanya. Haluoleo yang hidup berabad-abad silam dan tak banyak ditulis di buku sejarah, nyatanya terus harum sebagai pahlawan di hati masyarakat Sulawesi Tenggara.
Sumber :
Bahan Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara di Baruga Keraton Buton Sulawesi Tenggara tanggal 5-8 Agustus 2005 oleh Prof. Mahmud Hamundu (blog munakita)
 KendariNews.com
 Wawancara dengan warga setempat

Widi Kurniawan

1 comment:

Unknown said...

perlu diralat dikerajaan konawe, tidak mengenal haluoleo sebagai raja,,tetapi dia seorang panglima perang, asli daratan konawe,,