Douwes Dekker: Kesetiaan yang Nyaris Tanpa Syarat


Setelah mengangguk-angguk sok menurut pada seorang pengurus Taman Makam Pahlawan (TMP) Cikutra Bandung, kami (saya dan seorang teman) akhirnya dibolehkan masuk juga. Tanpa menyebutkan alasannya, bapak pengurus makam ini telah mewanti-wanti agar kami tidak berfoto-foto di dalam lokasi pemakaman. Kami pun berjalan masuk dengan memasang wajah malaikat.
Douwes Dekker
Douwes Dekker

Akan tetapi, baru saja beberapa meter memasuki area permakaman, kamera digital poket yang tadi sudah sempat masuk kantong lagi gara-gara pelarangan tersebut, dengan bandelnya dikeluarkan lagi. Suasana TMP yang asri, bersih dan sejuk menjelang sore waktu itu, seolah mendukung kebandelan kami.
Setelah hampir satu jam berkeliling-keliling di lokasi pemakaman, makam yang ingin kami kunjungi belum juga ketemu. Kami tidak berani bertanya lebih lanjut mengenai lokasi makam yang dituju setelah pelarangan itu. Tiba-tiba—bagai Archimedes saat menemukan teorinya—saya merasa mendapat petunjuk ketika melihat deretan nisan yang tampak lebih tua dibandingkan yang lainnya.
Saya pun beranjak ke sana. Saya bacai nama-nama yang tertera pada nisan, tak ada nama yang saya kenal. Sampai kemudian pada kira-kira baris ke lima dari nisan terdepan, saya akhirnya menemukan nisan bertuliskan nama yang saya cari-cari itu: Dr Setiabudi Danudirdja, wafat pada 28-8-1950. Wah, serasa bertemu muka dengan orang ternama.
Setelah berdoa sejenak, kami lalu berlagak lupa pada wejangan sang “direktur” TMP untuk tidak mengambil foto. Maafkan kami pak, kami mungkin seumur hidup tak akan pernah kembali lagi ke sini. Entah kenapa, ada kepuasan setelah berhasil menziarahi makam beliau. Mungkin karena kekaguman saya pada kecintaan beliau terhadap negeri ini yang seperti tanpa syarat, sementara saya sendiri begitu gamang.
***
13524862121220581150
Makam Douwes Dekker di TMP Cikutra Bandung (foto: koleksi pribadi)
Setiabudi Danudirdja, lahir di Pasuruan, Jawa Timur, pada 8 Oktober 1879 dengan nama Ernest Francois Eugene Douwes Dekker. Nama tokoh ini cukup lekat dalam memori saya karena saya bersekolah di SMPN I Bandung. Hingga awal 2000-an, pada bangunan asli sekolah ini masih tertera tulisan “Gedung Dr Setiabudi Danudirdja”, berlokasi di Jalan Ksatrian No.12 Bandung. Nama Ksatrian diambil dari nama awal sekolah ini pada saat didirikan oleh Douwes Dekker pada 1924, yakni Ksatrian Instituut. Pada masa itu Jalan Ksatrian masih bernama Nieuwstraat.
Gedung yang kini berstatus cagar budaya ini, pada sekitar masa perang kemerdekaan pernah menjadi saksi perjuangan para pejuang nasional di Bandung. Salah seorang yang pernah menjadi guru di sini adalah Bung Karno (BK) yang tak lain adalah juga sahabat sekaligus teman seperjuangan Douwes Dekker (DD). Kedekatan ini bisa dilihat dari pengaruh BK dalam menyarankan nama-nama Indonesia untuk Douwes Dekker, istri, hingga anaknya: BK memberi nama Setiabudi Danudirdja untuk DD. Istri ketiga DD yang indo, blasteran Belanda dan Batak, saat masuk ke Hindia Belanda (nama Indonesia saat masih dijajah Belanda) juga menggunakan nama pilihan BK yakni Haroemi Wanasita—semula bernama Nelly Alberta Geertzema née Kruymel. Lalu anak dari DD dan Haroemi yang semula bernama Kees (nama ala Belanda), diberi nama Kesworo oleh BK. Tak heran DD menerima saja semua nama pemberian BK yang dianggapnya sebagai “juru selamat Indonesia”.
Pada satu waktu , tentara pemerintahan penjajahan Belanda mengepung gedung Ksatrian Instituut, sampai terjadi adu tembak. Kedua sahabat ini terlibat dalam adu tembak tersebut hingga berhasil mengusir para pengepung. Maklumlah, aksi BK dan DD dalam mengobarkan semangat perlawanan kaum bumi putera, baik melalui tulisan maupun pidato-pidatonya, selalu berhasil membuat gerah Belanda. Mereka dengan segala akivitasnya selalu menjadi sasaran pemberangusan oleh Belanda.
Multatuli dan Setiabudi
Mencermati kecintaan DD terhadap Indonesia sungguh membuat penasaran. Dia yang nyaris kaukasian tulen—hanya terciprat darah Jawa dari nenek (dari pihak ibu), selebihnya berdarah Prancis, Jerman, dan Belanda—mengapa bisa begitu mencintai negeri ini.
Dan yang lebih mengherankan, dia tetap teguh pada perjuangannya untuk Indonesia di saat seluruh sanak saudaranya termasuk istri dan anak-anaknya (kecuali Kesworo Setiabudi) memilih pergi ke Belanda saat negeri ini dikuasai Jepang. Padahal DD pernah berkata pada kakaknya, bahwa perjuangannya untuk Hindia Belanda adalah juga untuk memberi masa depan yang baik kepada anak-anaknya di Hindia Belanda kelak setelah merdeka.
Setiabudi Danudirdja masih memiliki hubungan darah dengan Multatuli, nama pena dari Eduard Douwes Dekker yang novel “Max Havelaar”-nya sempat menggemparkan Eropa. Novel ini berisi kritik atas perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang pribumi di Hindia Belanda. Multatuli adalah adik dari kakek Setiabudi. Kendati tidak memilik sejarah berjuang bersama meski sama-sama pernah menginjakkan kaki di Hindia Belanda, namun karakter mereka yang mudah terrenyuh melihat penderitaan rakyat kecil, serupa benar (keserupaan ini sempat membuat banyak orang menduga bahwa Multatuli dan Setiabudi adalah Douwes Dekker yang sama).
Ketika bekerja di perkebunan kopi di Malang selepas menyelesaikan sekolah di Gymnasium Willem III, satu sekolah elit di Batavia, DD seringkali membela para pekerja kebun yang diperlakukan semena-mena oleh mandor-mandor kebun. Hal ini membuat dia akhirnya dipecat dari perkebunan tersebut. Karakter DD yang mudah terenyuh pada penderitaan rakyat kecil ini semakin “terasah” ketika dia mulai bergiat di dunia jurnalistik.

Sepak Terjang Bersama Cipto dan Suwardi
Sebagai wartawan, dia begitu leluasa mengritik kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial yang tidak berperikemanusiaan. Seiring dengan itu, dia juga aktif dalam bidang politik, antara lain dengan mendirikan Indische Partij (IP) pada 1912 di Bandung bersama Dr Cipto Mangunkusumo dan Dr Soewardi Suryaningrat (ketiganya kemudian dikenal dalam sejarah Indonesia sebagai Tiga Serangkai). IP saat itu menjadi partai politik pertama di Hindia Belanda yang terang-terangan menuntut kemerdekaan Hindia Belanda, selain juga aktif membela kesetaraan bagi bumi putera dan kaum indo yang terdiskriminasi oleh sistem yang diterapkan pemerintahan kolonial.
Suwardi Suryaningrat, Cipto Mangunkusumo, dan Douwes Dekker
Suwardi Suryaningrat, Cipto Mangunkusumo, dan Douwes Dekker
Namun kiprahnya yang revolusioner bersama Cipto dan Suwardi ini harus dibayar dengan berkali-kali menerima hukuman pengasingan, dijauhkan dari interaksinya dengan rakyat yang dibelanya ini. Pada 1913, ketika pemerintah Hindia Belanda berrencana turut memperingati 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Prancis, Cipto dan Soewardi mencemooh rencana tersebut lewat artikel yang dimuat di surat kabar De Express. Inti artikel mereka adalah, betapa ironisnya jika Hindia Belanda yang dijajah Belanda harus ikut merayakan kemerdekaan negeri penjajahnya tersebut dari penjajahan oleh Prancis. Cipto dan Suwardi pun ditangkap. Melihat itu, DD tak tinggal diam. Di surat kabar yang sama dia menuliskan bahwa kedua rekannya itu adalah pahlawan. Maka, ketiganya kemudian sempat diasingkan ke negeri Belanda sebelum kemudian dipisah-pisah antara lain ke pulau Banda dan Kupang.
Setelah masa pengasingannya berakhir, pada 1922 Douwes Dekker pulang ke Bandung. Dia lalu melamar pekerjaan sebagai pengajar di satu sekolah rendah partikelir yang beraliran komunis. Meski ada ganjalan ihwal komunisnya itu, namun Belanda merasa mungkin pekerjaan sebagai pengajar di sekolah tersebut akan meredam jiwa gelisah seorang DD.
Tapi dasar pembangkang, ada saja jalan untuk menjadi “pemberontak”. Kenaikan karir di sekolah tersebut membuatnya bisa leluasa mengatur manajemen sekolah tersebut. Sekolah yang semula bernama Preanger Instituut van de Vereeniging Volksonderwijs (Institut Priangan dari Perkumpulan Pengajaran Rakyat) ini, kemudian digantinya menjadi Ksatrian Instituut—kampus perjuangan yang memberi peluang pendidikan setara bagi kaum pribumi, keturunan Tionghoa, dan indo, yang mendapatkan diskriminasi pendidikan dari pemerintah kolonial.
Akibat sepak terjangnya yang selalu bikin gerah pemerintahan kolonial ini, DD kembali ditangkap dan kali ini diasingkan ke Suriname. Jiwa gelisahnya ini, selain telah membuatnya pernah diasingkan ke Suriname dan Belanda, juga pernah ke Yogyakarta dan Prapat. Bagi pemerintah kolonial sendiri, upaya pengasingan itu adalah untuk menjauhkan DD dari rakyat yang dibelanya. Ketika Indonesia merdeka, DD kembali ke Bandung hingga meninggal dengan tenang pada tahun 1950, di usia 70 tahun.
Nasib Anak Douwes Dekker
Duapuluh lima tahun sudah berlalu sejak saya bersekolah di SMPN I Bandung, hingga kemudian terdengar kabar sakitnya Kesworo Setiabudi pada 2011. Siapa dia? Kesworo adalah anak kandung Douwes Dekker dari Haroemi Wanasita, istri ketiganya.
Berita sakitnya satu-satunya keturunan Douwes Dekker yang masih berada di Indonesia ini semakin membikin hati saya miris, pasalnya lelaki kelahiran Belanda, 2 Oktober 1945 ini harus masuk ke RSCM dengan menggunakan surat keterangan miskin. Hingga tak lama kemudian terdengar juga kabar bawa Kesworo akhirnya meninggal dunia.
Wow, seorang anak pahlawan nasional yang nama bapaknya digunakan sebagai nama jalan-jalan protokol di berbagai kota di tanah air, masuk rumah sakit dengan menggunakan surat keterangan miskin? Ajaib sekali negeri ini. Ah, kenapa jadi saya yang sakit hati mendengar berita ini?
Meskipun tidak mendapat penghargaan apa-apa seperti sang ayah, Kesworo bagi sebagian masyarakat di Cihideung Bogor juga terbilang pahlawan. Dengan mempertahankan pabrik kerupuk palembang-nya kendati dalam keadaan sakit, Kesworo telah membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat di sana. Meski dalam skala kecil, seolah-olah ada jiwa merakyat yang diturunkan dari Multatuli, Setiabudi, lalu ke Kesworo.
Hingga meninggalnya, tidak terdengar kabar pemerintah Indonesia memberikan bantuan bagi keturunan pahlawan nasional ini. Pahlawan nasional yang tidak meninggalkan warisan tujuh turunan untuk anak-anaknya, pahlawan nasional yang lebih fokus pada perjuangannya untuk rakyat banyak, bahkan dibanding untuk keluarganya sendiri. ***
Sumber pendukung:
Sejarah SMPN I Bandung
Artikel tulisan Kesworo Setiabudi
Beberapa media online lainnya

No comments: