Tarekat Freemasonry dan Keterlibatan Elit Pribumi

 

Pameran Jejak Memori “Hikayat Tarekat Mason Bebas (Freemason) di Indonesia? di Museum Taman Prasasti Jakarta, Rabu (1/11/2023)/KOMPAS

Di buku karangan Dr Th Stevens memuat bukti keterlibatan tokoh Boedi Oetomo, elit keraton di Kadipaten Paku Alam, Yogyakarta dan elit pribumi di dalamnya

 BANYAK sinyalemen menyatakan bahwa perkumpulan rahasia Freemasonry terdiri dari para penyembah setan yang melakukan pesta pora dalam aktivitas ritual mereka.

 Para anggotanya konon terdiri dari para pejabat tinggi yang diam-diam bekerja sama untuk suatu agenda dan rancangan besar tertentu.

Dalam literatur sejarah, organisasi Freemasonry sudah masuk ke Indonesia sejak abad ke-16 bersama dengan banyak tentara Belanda yang juga menjadi anggotanya. Beberapa jejaknya terlihat jelas di Museum Taman Prasasti di Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Museum yang dulunya merupakan pemakaman Belanda itu memamerkan lebih dari 1.300 nisan yang terbuat dari batu padat, marmer, dan perunggu. Seluruh jenazah yang terkubur di dalamnya telah dipindahkan ke lokasi lain ketika tempat itu dijadikan museum pada tahun 1974.

Tercatat bahwa Gubernur Raffles, pernah pula diangkat menjadi anggota Freemason di Buitenzorg (sekarang daerah Bogor) sejak bulan Juli 1812. Kita mengenal Raffles, dulunya adalah seorang letnan jenderal pada masa pemerintahan Inggris di Indonesia.

Di Museum Taman Prasasti, juga terdapat makam istri Raffles (Olivia Mariamne), dan penasihat kepercayaannya (John Leyden).

Freemasonry mendirikan unit organisasi lokal, yang disebut loji atau gedung sekretariat, di setiap negara tempat mereka tinggal. Sejak masa kolonial, terdapat lebih dari 20 loji Freemasonry di Nusantara.

Banyak dari sekretariat itu dirancang seperti kuil Romawi Kuno dengan pilar-pilar besar menghiasi pondasinya. Sekretariat pertama di Hindia Belanda adalah De Ster in het Oosten (Bintang di Timur), yang dibangun di Batavia pada tahun 1830. Saat ini, gedung yang sama menampung kantor cabang Kimia Farma.

Meskipun banyak anggotanya yang memegang peran penting di lembaga-lembaga kenegaraan, namun sejak tahun 1962 Soekarno memandang organisasi ini memiliki nilai-nilai yang tak sesuai dengan jati diri bangsa.

Untuk itu, Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 264 Tahun 1962 yang melarang perkumpulan Freemasonry, bersama tujuh organisasi lain yang dianggap berseberangan dengan nilai-nilai keindonesiaan.

Misi Freemason

Pada tahun 1994 lalu, telah diluncurkan sebuah buku berjudul “Vrijmetselarij en Samenlaving in Nederlands Indie en Indonesie 1764-1962” (Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962).

Buku itu ditulis oleh Dr Th Stevens, seorang peneliti yang juga mengaku sebagai anggota Freemason.

Berbeda dengan buku-buku tentang Freemason lainnya, buku karangan Dr Th Stevens ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 2004 lalu.

Selain itu, ada buku berjudul “Kenang-kenangan Freemason di Hindia Belanda 1767-1917” yang memuat secara lengkap operasional, para tokoh, dokumentasi foto, dan aktivitas loji-loji yang berada langsung di bawah pengawasan organisasi Freemason di Belanda.

Buku setebal 700 halaman yang ditulis oleh Tim Komite Sejarah Freemason itu adalah bukti tak terbantahkan tentang keberadaan jaringan mereka di seluruh Nusantara.

Keterlibatan elit-elit pribumi, di antaranya para tokoh Boedi Oetomo dan elit keraton di Kadipaten Paku Alam, Yogyakarta, terekam jelas dalam buku kenang-kenangan tersebut.

Radjiman Wediodiningrat, orang yang pernah menjabat sebagai pimpinan Boedi Oetomo, adalah satu-satunya tokoh pribumi yang artikelnya dimuat dalam buku kenang-kenangan yang menjadi pegangan anggota Freemason di Hindia Belanda.

Radjiman telah bergabung sebagai anggota Freemason sejak tahun 1913. Tulisan artikelnya yang terkenal berjudul Een Bro derketen der Volken (Persaudaraan Rakjat).

Lalu, apa misi Freemasonry yang sesungguhnya? Dalam buku “Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962”, karya Dr Th Steven dijelaskan misi organisasi yang bersimbol Bintang David ini, bahwa setiap anggota Mason Bebas harus mengemban tugas, di mana pun dia bekerja, untuk memajukan segala sesuatu yang mempersatukan dan menghapus pemisah antar manusia.

Untuk itu, paham yang dikembangkan Freemason adalah humanisme sekuler yang bersemboyan pada prinsip liberty, equality and fraternity.

Freemason di Pasundan

Ada sekitar tiga sekretariat (loji) Freemason dibangun di tanah Pasundan, seperti di Bandung (Sint Jan) didirikan pada 1896, di Bogor (Excelsior) didirikan pada 1891, dan di Sukabumi (De Hoeksteen) didirikan pada 1933.

Sumber lainnya menyatakan, bahwa loji-loji itu dibangun sesuai urutan penomoran, misalnya di Sukabumi terdapat angka 151: De Hoeksteen. Sumber lainnya masih sulit dilacak, karena rapatnya organisasi Freemason dalam menyimpan rahasia organisasinya

Tapi pada prinsipnya, para tokoh Freemason tak lepas dari ide dan pemahaman akan pentingnya solidaritas internasional, yang juga mereka namakan “Free and Accepted Masons”, di mana persaudaraan didasarkan pada ikatan cinta (love), keyakinan (faith), dan kedermawanan (charity).

Seluruh anggotanya saling terhubung bahkan saling berkomunikasi melalui berbagai ritual dan sistem yang rumit berupa tanda-tanda rahasia (secret signs), kata sandi tertentu, bahkan cara berjabat tangan yang aneh dan berbeda.

Berdasarkan sejumlah literasi, pada setiap acara, sebelum memulai acara pertemuan khusus, ada beberapa laki-laki yang membacakan ayat-ayat suci Al-Quran sebagai pembuka acara, lalu dilanjutkan dengan nyanyian serta pujian rohani Katolik, bahkan ada juga yang membaca sepatah kata berisi doa dengan menggunakan bahasa Ibrani seperti simbol-simbol pada agama Yahudi.

bang memasuki abad ke-20 menjadi semacam teosofis atau filsafat keagamaan. Mereka juga menggunakan ritus yang biasanya digunakan oleh kaum Illuminasi.

Para Freemason kerap melakukan ritual aneh yang terkadang diselipkan pemujaan terhadap makhluk astral atau gaib sebagai kekuatan semesta. Dengan berbagai simbol dan ritual yang campur-aduk dan beragam itu, sejak zaman Hindia Belanda kerap dijuluki sebagai “rumah setan”, khususnya di daerah Sukabumi.

Diskusi dan dialog di kalangan penganut Freemason tak lepas dari tema-tema ilmu pengetahuan, okultisme, magis, supranatural dan spiritual.

Peran besar seorang pendeta bernama Albertus Samuel Alting, telah dibuktikan dengan gagasannya mendirikan majalah Indische Macconiek Tijdschrift, yang menjadi saluran komunikasi antar anggota Freemason di seluruh Hindia Belanda.

Pendeta Albertus juga turut andil dalam pembangunan Loji Agung Provinsial Hindia Belanda.

Hal ini tentu mengundang reaksi dari organisasi-organisasi Islam di Indonesia, karena misi Freemason yang menargetkan para bangsawan dan saudagar pribumi agar dapat direkrut sebagai anggota perkumpulannya.

Bahkan, seorang bangsawan di daerah Bandung, Soeriamihardja, termasuk pelukis terkenal, Raden Saleh, juga tak lepas dari keanggotaan organisasi tersebut.

Lalu, bagaimana dengan keluarga besar Jokowi di sekitar keraton Surakarta? Apakah motif terpasangnya lambang segitiga bermata satu di dinding Toko Markobar (Martabak Kota Barat) milik Gibran Rakabuming di Kota Solo itu ada hubungan dengan gerakan ini? Wallahu a’lam.*/Alim Witjaksono, pemerhati sastra Indonesia, menulis esai dan prosa di berbagai media. Isi artikel tidak mewakili kebijakan redaksi

No comments: