Tjoa Hin Hoeij, Jurnalis Perempuan Indonesia yang Terlupakan

Dia dikenang sebagai perintis penerbitan majalah perempuan Cina peranakan. Sebuah tonggak penting dalam sejarah gerakan perempuan Indonesia.
majalah,istri,maanblad,hindia belanda,kemala atmojoSampul depan Maanblad Istri Nomor 3/Tahun I/November 1935. Inilah majalah bulanan yang ditujukan untuk perempuan peranakan Cina. Jurnalis perempuan Tjoa Hin Hoeij menjadi pendiri dan pemimpin redaksinya. Foto seizin Kemala Atmojo (koleksikemalaatmojo.blogspot.com)
“Orang prampoean ada 100 kalih lebih setia, lebih djoedjoer dari kaoem lelaki,” tulis Pemimpin Redaksi Tjoa Hin Hoeij dalam Maanblad Istri edisi September 1936.
Tampaknya, Tjoa ingin menjawab secara tak langsung atas sindiran dari para editor surat kabar soal resiko dalam mengelola penerbitan—hanya lantaran Tjoa seorang perempuan.
Pada awal abad ke-20, usaha penerbitan—terutama dalam masyarakat peranakan Cina—memang masih didominasi para lelaki. Nasib jurnalis perempuan pun kerap dipandang sebelah mata. Tjoa merasakan bahwa saat itu kaum lelaki tidak percaya atas kemampuan perempuan Cina dalam mengelola penerbitan majalah.
Faye Yik-Wei Chan dari Melbourne Law School , University of Melbourne, pernah berkorespondensi dan  mewawancarai Tjoa Hin Hoeij. Faye juga menulis profil jurnalis perempuan tersebut dengan uriannya yang padat dan kaya informasi dalam jurnal Archipel, Volume 42 yang terbit pada 1991, sekitar setahun setelah Tjoa wafat. Kisah dalam tulisan ini utamanya didasarkan pada pemerian Faye dalam jurnal tersebut.
Menurut Faye, para penulis perempuan Cina peranakan pada zaman Tjoa cenderung enggan menyatakan nama mereka yang sesungguhnya. “Mereka menggunakan nama samaran seperti Miss Agatha, Beautiful Girl, Spinster, Dahlia, Mrs Leader, dan banyak lagi,” tulisnya.
Majalah bulanan Istri ditujukan untuk perempuan Cina peranakan di Hindia Belanda. Edisi perdana September 1935, terbit pada 31 Agustus di Batavia. Rupanya, Tjoa sengaja untuk membuat majalah ini lahir bersamaan dengan perayaan ulang tahun Ratu Wilhelmina, raja perempuan yang pertama di Kerajaan Belanda. Harga langganan setahunnya dibanderol 4 gulden.
Penerbitan media perempuan memang sudah muncul pada 1930-an. Namun, saat itu belum ada majalah yang mengkhususkan pada segmen perempuan Cina peranakan di Indonesia, Istri adalah yang pertama.
Kantor redaksinya di utara Stadhuis Batavia. Sebuah bangunan tua yang beralamat di Prinsenlaan No. 69, Batavia. Kini, daerah itu dikenal dengan Jalan Tongkol, Kawasan Kota Tua Jakarta.
Penerbitan majalah Istri mendapat dukungan Kwee Hing Tjiat (1891-1939) yang sohor dengan julukan “Sang Naga Jurnalistik Melayu–Tionghoa” dan seorang dokter penyakit dalam Dr Loe Ping Kian (1902-1963). Kelak sang dokter itu menjadi direktur Rumah Sakit Sin Ming Hui, kini Sumber Waras.
Tjoa memilih menggunakan bahasa pengantar Melayu-Tionghoa ketimbang bahasa Belanda, sehingga majalah ini bisa dibaca para perempuan berpendidikan rendah.
Soal pemakaian bahasa Melayu-Tionghoa, Tjoa juga berdalih, tujuan utama majalah ini terbit untuk memberikan penyuluhan dan pendidikan bagi perempuan Cina peranakan supaya lebih maju. Meskipun demikian, dia punya tujuan lain untuk turut membangkitkan sikap perempuan Cina kelas atas yang selama ini terkesan apatis dalam membantu perempuan yang kurang beruntung.
Pada masa Tjoa terdapat emansipasi perempuan kelas menengah atas dan emansipasi perempuan kelas bawah, demikian papar Agni Malagina dalam surat elektroniknya kepada National Geographic. Dia merupakan sinolog dari Program Studi Cina, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia.
“Perempuan kelas menengah atas memperjuangkan kebebasan pendidikan, pekerjaan, kemandirian keuangan, dan kebebasan berinteraksi dengan lawan jenis.” Kemudian Agni melanjutkan, “Nah, kalau emansipasi perempuan kelas bawah yaitu perjuangan kebebasan dari diskriminasi dan kemiskinan. Mereka ini pun berjuang dibantu dan didorong oleh perempuan kelas menengah yang berpendidikan tinggi.”
Menurut hemat Agni, emansipasi dalam konteks tersebut bukan semacam gerakan femininisme, melainkan serupa dengan gerakan reformasi sosial di kalangan perempuan Cina yang ingin maju—menjadi lebih baik.
bogor,tjoa hin hoeij,klenteng,dhanagunKlenteng Dhanagun di kawasan pecinan Suryakencana Bogor, Jawa Barat, sekitar 1920-1930. Mungkin keluarga Tjoa Hin Hoeij kerap berkunjung di klenteng ini.
Kota Bogor merupakan tempat kelahiran Tjoa Hin Hoeij. Dia lahir pada 1907 sebagai anak sulung dari keluaga terpandang. Bakat tulis-menulisnya menurun dari ayahnya, Kwee Tek Hoay.

Sang ayah merupakan seorang penulis dan jurnalis sohor yang kerap mewartakan budaya, filsafat Cina, dan kritik sosial. Jika dua adik lelakinya lebih tertarik soal bisnis, Tjoa muda telah menunjukkan ketertarikannya tentang sastra. Setelah Tjoa menikah pada 1925, dia mengawali profesinya sebagai penulis lepas di majalah Moestika Romans dan Moestika Dharma. Keduanya merupakan penerbitan milik sang ayah.
Sebelum akhirnya menjadi pemimpin redaksi majalah Istri, Tjoa juga dipercaya sebagai penyunting rubrik perempuan di Sin Tit Po, sebuah harian yang terbit di Surabaya. Salah seorang redaksi harian ini adalah Kwee Thiam Tjing, dikenang sebagai pemilik nama samaran Tjamboek Berdoeri. Selain itu, Tjoa juga dipercaya untuk tugas penyuntingan di Mata Hari dan Keng Po.
Mungkin sebagian dari kita telah melalaikannya: Tjoa telah menjadi salah satu tokoh emansipasi perempuan di Hindia Belanda. “Dia berpendidikan Belanda, berorientasi Belanda,” ungkap Agni, “tapi ingin perempuan Cina di Hindia Belanda dan perempuan Hindia Belanda umumnya merasakan apa yang disebut kemadjoean”—alih-alih kata modern pada zamannya.
“Apa yg dilakukan oleh Nona Tjoa,” cetus Agni, “adalah hal yang sangat progresif pada masanya. Perannya dicatat sebagai salah  satu pionir perempuan jurnalis pada masa itu.”
(Mahandis Y. Thamrin/NGI)

No comments: