Abbas Hassan: Duka Ria Dai Zaman Kolonial Belanda dan Jepang

 

Beratnya perjuangan para mubaligh dan dai di masa penjajah Belanda dan Jepang; mulai kekurangan finansial hingga ancaman fisik, tercatat dalam sejarah

DAKWAH pada masa kolonial tidak semudah sekarang. Para dai sering menghadapi kesulitan dan kesusahan, namun tetap ikhlas dalam menyebarkan ajaran Islam.

Abbas Hassan, seorang dai, penulis produktif yang mengalami langsung masa-masa sulit ini, menceritakan beberapa kisah mengharukan yang menggambarkan duka lara dai di era kolonial.

Kisah-kisah ini mencerminkan tantangan besar yang dihadapi oleh para mubaligh dalam menjalankan misi mereka. Sebelum menjelaskan lebih jauh beberapa contoh konkret pengalaman dai pada masa itu.

Ada baiknya penulis kemukakan penjelasan Abbas Hassan mengenai kondisi perjuangan dakwah dan dai pada masa kolonial.

Pada zaman penjajahan Belanda, ketika kaum pergerakan mengobarkan semangat perjuangan untuk membela tanah air, mereka (para dai atau muballigh) menyusup ke tengah-tengah jamaah dan memberikan ide-ide kepada mereka.

Mereka mendorong agar cita-cita kemerdekaan yang tumbuh di hati jangan dilepaskan dari ajaran agama. Semangat ini memberikan jiwa pada setiap pidato dari para pemuka pergerakan, dan mengarahkan umat ke jalan yang benar. Dengan kehadiran mereka, pergerakan berkembang subur dan rakyat di desa-desa dengan mudah dapat diatur.

Di era penjajahan Jepang, meskipun suasananya tidak revolusioner, para muballigh tetap menjunjung tinggi suara suci. Mereka tidak membiarkan orang-orang gugur sia-sia, tetapi mengobarkan semangat jihad untuk membela cita-cita mulia.

Para prajurit tidak didorong untuk membalas dendam, tetapi dipompa semangat jihad siang dan malam.

Para muballigh ini bergerak siang dan malam, meskipun banyak orang mengira mereka hanya bersenang-senang di siang hari dan sekedar mengajar di malam hari.

Pada kenyataannya, malam hari adalah waktu ketika mereka kebanyakan menjalankan tugas. Mereka terus maju dengan caranya sendiri.

Di saat para pemuka politik yang mengklaim konsisten terhadap cita-cita mulai berdiam diri, dan kaum pergerakan yang hanya mencari kesempatan mulai bekerjasama dengan Jepang, para muballigh kita yang tekun tetap memperingatkan umat terhadap bahaya paham Majusi dan penyembahan dewa.

Ketika Jepang menganjurkan “kere”, mereka menerjemahkan “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in” dengan mendalam. Ketika “saikere” dipopulerkan oleh kaum kolaborator, mereka menjelaskan bahwa umat Islam hanya boleh rukuk dan sujud kepada Allah semata.

Di zaman Jepang itu, ketika banyak orang telah hanyut dalam arus Dai Toa Senso, para muballigh kita tetap menjalankan tugas suci mereka, membentengi jiwa rakyat dari ancaman keyakinan kepada Maha Tenno Heika, sang Anak Dewa Matahari.

Kemudian, tibalah zaman merdeka. Pada saat-saat yang kritis dan gawat itu, para muballigh kita tetap tampil ke depan, meskipun diejek sebagai kolot. Namun, pada hakikatnya, sepanjang hari siang dan malam mereka tidak pernah berhenti bertugas.

Setelah menjelaskan suasana pelik dan sulit yang dihadapi oleh para dai atau muballigh masa kolonial, berikut ini adalah akan disebutkan beberapa kisah yang diceritakan oleh Abbas Hassan dalam majalah Majalah Kiblat No. 19 (XV/1968: 32-34).

Kisah Pertama: Perjalanan ke Solok

Pada tahun 1911, Injik Menan Balingka, seorang mubaligh terkenal, diundang dari Bukittinggi ke Solok. Dalam perjalanan, mereka mengalami berbagai kesulitan, mulai dari kekurangan uang hingga ketidakmampuan untuk membeli makanan.

Injik Menan bahkan harus menjual jubahnya untuk membayar makanan di warung. Namun, semangat dakwah mereka tetap berkobar. Malamnya, tabligh akbar yang mereka selenggarakan berlangsung ramai dan penuh semangat, meski harus tidur di masjid dengan kondisi yang serba kekurangan.

Kisah Kedua: Undangan ke Lubuk Sikaping

Pada tahun 1944, di zaman Jepang, Abbas Hassan dan Duski Samad diundang ke Lubuk Sikaping. Perjalanan mereka yang panjang dan melelahkan diwarnai dengan kekurangan makanan dan kesulitan finansial.

Mereka harus tidur di masjid dengan tikar seadanya, sementara rekening makan di warung belum juga dibayar oleh panitia. Meski demikian, semangat dakwah mereka tidak surut.

Kisah Ketiga: Perjalanan ke Desa di Pajakumbuh

K.H. Rusli Abd. Wahid bersama temannya diundang ke sebuah desa sekitar 25 km dari Pajakumbuh. Meski mereka dapat menumpang bendi tanpa biaya saat pergi, mereka harus berjalan kaki saat kembali karena pengurus yang mengundang tidak terlihat.

Dalam perjalanan, mereka mengalami kejadian lucu namun menyedihkan, di mana mereka disangka sedang berpuasa oleh orang-orang yang sedang menikmati cendol di suatu kelokan jalan.

Kisah Keempat: Perjalanan ke Sibaladung

Abbas Hassan bersama Darwis Hamidy diundang untuk memberikan ceramah di Sibaladung, sekitar 15 km dari Pajakumbuh. Meski tabligh yang mereka selenggarakan ramai, mereka harus tidur di masjid dengan tikar-tikar yang dijadikan alas tidur.

Keesokan harinya, mereka disangka sebagai penjual tikar oleh penduduk setempat karena tidur di atas banyak tikar.

Kisah Kelima: Kesalahpahaman di Padang Jepang

Dalam suatu perjalanan di luar Padang Kota, Abbas Hassan sering menyebut-nyebut nama desa kelahirannya, Padang Jepang. Hal ini menyebabkan tentara Jepang marah karena mengira beliau adalah mata-mata Amerika.

Akibatnya, beliau mendapatkan perlakuan kasar dari tentara Jepang, termasuk dipukul dan dianiaya.

Kisah Keenam: Makan di Restoran Selamat

Seorang mubaligh Islam mengalami kejadian tak terduga saat makan di restoran Selamat di Bukittinggi. Beliau membagi makanannya menjadi dua untuk disimpan makan sore.

Namun, ketika meminta bungkusan tersebut, beliau mendapati bahwa bungkusan itu telah dicampur dengan sisa makanan lain oleh pemilik restoran, yang mengira makanan itu untuk anjing.

Kisah Ketujuh: Buja A.R. St. Mansur di Masa Jepang

Buja A.R. St. Mansur, bekas Ketua P.B. Muhammadiyah, memiliki siasat untuk menjamin hidup para mubaligh yang tinggal bersamanya di Padang Panjang. Beliau sering diundang untuk memberikan ceramah di desa-desa sekitar kota dan selalu meminta untuk membawa dua atau tiga orang temannya sebagai pengiring.

Meski hanya beliau yang memberikan ceramah, teman-teman pengiring juga menikmati berkah dari undangan tersebut.

Kisah-kisah di atas menggambarkan betapa beratnya perjuangan para mubaligh di masa kolonial Belanda dan Jepang. Mereka menghadapi berbagai tantangan, mulai dari kekurangan finansial hingga ancaman fisik, namun tetap menjalankan tugas dakwah dengan penuh keikhlasan. Pengalaman ini tidak hanya menjadi catatan sejarah, tetapi juga menjadi inspirasi bagi para dai masa kini untuk terus berjuang dalam menyebarkan kebaikan.*/Mahmud Budi Setiawan

No comments: