Keteguhan Pejuang Palestina Melawan Israel Sama Seperti Perang Diponegoro Melawan Belanda
Keteguhan rakyat dan pejuang Palestina melawan Israel patut diapresiasi dan didukung umat Islam. Jika mereka berhenti berjihad melawan Zionis Israel, mungkin besok tidak ada lagi yang namanya Palestina.
Pernah gak membayangkan tekanan opini yang terus dialami para pejuang? Meski banyak korban jatuh, rakyat Palestina tetap teguh mengobarkan semangat perjuangan. Sebagaimana dalam Perang Diponegoro, sama dengan dalam Perang Surabaya. Seperti dalam Serangan Oemoem 1 Maret di Yogyakarta.
"Bahwa terorisme Israel harus dihentikan. Karena kalau dia berhenti menyerang membabi buta, insya Allah menjadi keamanan bagi semua. Tapi kalau pejuang Palestina yang disuruh berhenti bertempur, besok takkan ada lagi yang namanya Palestina," kata Ustaz Salim A Fillah dalam postingannya di kanal IG.
Ustaz Salim menceritakan, dalam Perang Diponegoro atau dikenal dengan Perang Jawa (1825-1830), sebanyak 15.000 serdadu Belanda tewas dan Kerajaan Belanda nyaris bangkrut. Tapi kita jiga tahu, 200.000 penduduk Jawa gugur dalam pertempuran, penyiksaan, kelaparan dan penyakit selama perang. Sekitar 2,5 juta warga Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, nyaris separuh populasi saat itu, terdampak.
Para buzzer penjajah zaman itu mengampanyekan bahwa Diponegoro adalah pemberontak dan perusuh penyebab penderitaan rakyat. Sebagian besar rakyat tetap mencintai beliau, tapi yang goyah di dalam barisannya juga ada.
Setelah Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy'ari memaklumkan Resolusi Jihad 22 Oktober 1945, meletuslah pertempuran Surabaya. Pasukan sekutu Inggris dkk kehilangan 1.600 prajurit militernya. Korban pejuang Indonesia dan penduduk Surabaya mencapai 20.000 orang, dan lebih dari 150.000 jiwa kehilangan tempat tinggal.
"Kita juga tahu buzzer penjajah pada zaman itu habis-habisan menyebut Bung Tomo dan kawan-kawan yang memekikkan Takbir dalam perjuangan sebagai teroris dan fanatik Islam penyebab penderitaan rakyat," terang Dai yang juga penulis buku-buku Islami itu.
Hari ini, Gaza dan Palestina bersama gerakan perlawanan dan para pejuang Hamas telah bergerak pada 7 Oktober 2023, sebagaimana Serangan Oemoem 2 Maret 1949 untuk membuktikan pada dunia bahwa perjuangan Palestina masih kokoh.
Beberapa bulan sebelumnya, Netanyahu telah mempresentasikan peta baru Timur Tengah dengan sepenuhnya negara Israel tanpa Palestina. Dia juga meyakinkan negara-negara Arab bahwa normalisasi hubungan dengan Israel adalah keniscayaan.
Kini, klaim yang nyaris sukses itu terbantahkan dan negara-negara Arab punya alasan untuk menghindari normalisasi diplomatik dengan penjajah Zionis itu. Maka, meski banyak korban jatuh di pihak Palestina, insya Allah mereka akan terus teguh bersama perjuangan, sebagaimana dalam Perang Diponegoro. Sama seperti Perang Surabaya dan Serangan Oemoem 1 Maret di Yogyakarta.
(rhs)Rusman Hidayat Siregar
No comments:
Post a Comment