Syaban Bulan Arwah dan Konsep Roh Imam Al-Ghazali

Syaban Bulan Arwah dan Konsep Roh Imam Al-Ghazali
Salah satu tradisi ruwahan adalah nyadran. Foto/Ilustrasi: inilahjogja
Bulan Syaban menempati posisi yang cukup penting bagi masyarakat Islam Jawa. Sebagian mereka menyebut bulan Syaban dengan nama Ruwah. Di bulan ini ada tradisi ruwahan. Mereka menggelar ruwahan dan nyadran. Tradisi ini menggabungkan konsep kepercayaan adat dengan ajaran agama Islam.

Ruwahan merupakan tradisi kebudayaan Jawa untuk mendoakan orang yang telah meninggal dunia. Sedangkan nyadran adalah rangkaian budayanya, mulai dari pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan kenduri.

KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha menjelaskan Syaban disebut Ruwah di masyarakat Jawa berasal dari kosakata Arab, yakni 'arwah'. Selanjutnya istilah ini berdasarkan penuturan lisan Jawa menjadi ‘Ruwah'.

“Saya masih ingat betul ketika Mbah Moen mengajar dan di antara yang diterangkan itu mengapa Syaban disebut Ruwah, Ruwah itu dari Bahasa Arab arwah, terus dijawakan menjadi Ruwah," tutur Gus Baha, dikutip dari kanal Kalam-Kajian Islam dalam jaringan Youtube.

Lantas Gus Baha juga menjelaskan bulan Syaban sebagai bulan 'arwah' ini berkaitan dengan tradisi masyarakat Indonesia, khususnya Jawa yang mengunjungi makam-makam untuk mendoakan arwah para leluhur.

Aktivitas ruwahan lainnya kirim doa, dan bersedekah. Mereka, yang meninggal, yang menjadi tujuan utama ruwahan juga tidak terkhusus pada kerabat saja, melainkan para ulama dan wali yang dianggap suci.

Menurut Gus Baha, tradisi ini bermula dari tradisi Yaman yang setiap tahunnya pada bulan ini mengadakan haul Nabi Hud. Sehingga kiai-kiai Jawa mengirimkan doa ketika bulan Sya’ban atau bulan Ruwah. Maka muncullah istilah tradisi ruwah atau ruwahan, yang tidak asing di telinga masyarakat Jawa.

“Karena di antara tradisi di Indonesia mengikuti Yaman. Dan di Yaman itu ada khoulnya Nabiyullah Hud dan itu pada waktu Sya’ban. Sehingga kiai-kiai Jawa kalau kirim doa itu dibarengkan pas Sya’ban atau Ruwah,” terang Gus Baha.

Konsep Imam al-Ghazali

Berbeda dalam pemahaman masyarakat muslim Jawa, Imam Al-Ghazali dalam Al-Araba‘in fi Ushul al-Din memahami roh sebagai al-jauhar al-‘arif al-mudrik min al-insan.

Dalam struktur penyusun kehidupan manusia, roh (unsur batin) ini menurut Al-Ghazali memiliki posisi yang lebih penting ketimbang jasad (unsur fisik). Hal ini sebagaimana telah diisyaratkan dalam surah Shad [38] ayat 71-72 dan surah Al-isra’ [17] ayat 85, sekira Allah menyandarkan keberadaan roh kepada-Nya.

إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِيْنٍ. فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ رُوْحِيْ.

Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Kemudian apabila telah Aku sempurnakan kejadiannya dan Aku tiupkan roh (ciptaan)-Ku kepadanya.”

قُلْ الرُّوْحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّيْ

Katakanlah (Muhammad): “Roh itu termasuk urusan Tuhanku.””

Implementasi roh dalam pemaknaan ini oleh Al-Ghazali dipahami dengan adanya aktivitas tazkiyah al-nafs atau pembersihan hati, seperti telah disebutkan dalam rangkaian surah Asysyams [91] ayat 7-10,

وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا. فَأَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوَاهَا. قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا. وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا.

“Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)-nya, maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya, sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.”

Sebagai catatan, Al-Ghazali menjelaskan bahwa kata roh dan nafs dalam ketiga ayat di atas merupakan muradif atau sinonim. Menariknya, aktivitas tazkiyah al-nafs yang diisyaratkan surah Asysyams di atas merupakan aktifitas yang menurut Allah sangat penting.

Buktinya, dalam rangkaiannya, ia diperkuat dengan tujuh sumpah yang dikaitkan dengan seluruh entitas bumi dan langit beserta seluruh elemen di dalamnya, yakni ayat 1-7.

Lebih jauh, tazkiyah al-nafs sebagai implementasi pemaknaan roh ini oleh Al-Ghazali secara khusus ditekankan dalam aplikasi husn al-khuluq atau etika yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Rasulullah SAW bersabda,

بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ

“Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak-akhlak yang mulia.”

Tazkiyah al-nafs dan husn al-khuluq adalah dua aktivitas berbeda yang harus berjalan beriringan. Ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Tazkiyah al-nafs adalah membersihkan hati dari segala etika buruk. Sedangkan husn al-khuluq adalah menghias hati dengan etika yang baik. Dalam bahasa lain, dua aktivitas ini disebut dengan takhalliy dan tahalliy.

No comments: