Westernisasi dan Islamisasi Ilmu

Westernisasi Ilmu, yang bersumber kepada akal dan panca-indera melahirkan faham empirisme, rasionalisme, humanisme, materialisme, marxisme, kapitalisme, liberalisme, agnostisme dan ateisme

Adnin Armas  

Hegemoni peradaban Barat yang didominasi oleh pandangan hidup saintifik (scientific worldview) telah membawa dampak negatif terhadap peradaban lainnya, khususnya dalam bidang epistemologi.

Barangkali, “Westernisasi ilmu pengetahaun” adalah istilah yang paling tepat untuk menggambarkan kondisi ini. Jika hal ini difahami dengan baik, maka terma Islamisasi Ilmu pengetahaun kontemporer” bukan hanya istilah yang wajar dan mudah diterima, tapi lebih merupakan proyek yang membawa keharusan konseptaul.

Oleh sebab itu, substansi Islamisasi tidak dapat sepenuhnya dimengerti jika tidak dikaitkan dengan persoalan epistemologis yang melanda dunia Islam dan tantangan yang menjadi sumbernya. Kajian ini akan memaparkan secara singkat Westernisasi ilmu pengetahaun yang menjadi tantangan bagi bangaun ilmu pengetahaun Islam untuk dapat memahami makna dan relevansi Islamisasi.

Westernisasi ilmu pengetahaun 

Sejarawan Barat menganugerahkan gelar Bapak filsafat modern kepada René Descartes (m. 1650), yang memformulasi sebauh prinsip, aku berfikir maka aku ada (cogito ergo sum). Dengan prinsip ini, Descartes telah menjadikan rasio satu-satunya kriteria untuk mengukur kebenaran.

Penekanan terhadap rasio dan panca indera sebagai sumber ilmu juga dilakukan oleh para filosof lain seperti Thomas Hobbes (m. 1679), Benedict Spinoza (m. 1677), John Locke (m. 1704), George Berkeley (m. 1753), Francois-Marie Voltaire (m. 1778), Jean-Jacques Rousseau (m. 1778), David Hume (m. 1776), Immanuel Kant (m. 1804), Georg Friedrick Hegel (m. 1831), Arthur Schopenhauer (m. 1860), Soren Kierkegaard (m. 1855), Edmund Husserl (m. 1938), Henri Bergson (m. 1941), Alfred North Whitehead (m. 1947), Bertrand Russell (m. 1970), Martin Heidegger (m. 1976), Emilio Betti (m. 1968), Hans-Georg Gadamer, Jurgen Habermas, dan lain-lain.

Pada zaman modern, filsafat Immanuel Kant sangat berpengaruh. Kant menjawab keragaun terhadap ilmu pengetahaun yang dimunculkan oleh David Hume yang skeptik.

Menurut Kant, pengetahaun adalah mungkin, namun metafisika adalah tidak mungkin karena tidak bersandarkan kepada panca indera. Dalam pandangan Kant, di dalam metafisika, tidak terdapat pernyataan-pernyataan sintetik-a priori seperti yang ada di dalam matematika, fisika dan ilmu-ilmu yang berdasar kepada fakta empiris.

Kant menamakan metafisika sebagai ilusi transendent (a transcendental illusion). Menurut Kant, pernyataan-pernyataan metafisis tidak memiliki nilai epistemologis (metaphysicial assertions are without epistemological value).(Justus Harnack, Kant’s Theory of Knowledge, pen. M. Holmes Hartshorne (London: Macmillan, 1968))

Epistemologi Barat modern-sekular semakin bergulir dengan munculnya filsafat dialektika Hegel (m. 1831), yang terpengaruh dengan Kant. Bagi Hegel, pengetahaun adalah ongoing process, dimana apa yang diketahui dan aku yang mengetahui terus berkembang: tahap yang sudah tercapai “disangkal” atau dinegasi” oleh tahap baru.

Bukan dalam arti bahwa tahap lama itu tak berlaku lagi, tetapi tahap lama itu, dalam cahaya pengetahaun kemudian, kelihatan terbatas. Jadi tahap lama itu tidak benar karena terbatas, dan dengan demikian jangan dianggap kebenaran. Tetapi yang benar dalam penyangkalan tetap dipertahankan. (Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 2001)).

Epistemologi Barat modern-sekular juga melahirkan faham ateisme. Akibatnya, faham ateisme, menjadi fenomena umum dalam berbagai disiplin keilmaun, seperti filsafat, teologi Yahudi-Kristen, sains, sosiologi, psikologi, politik, ekonomi, dan lain-lain.

Ludwig Feurbach (1804-1872), murid kepada Hegel dan seorang teolog, merupakan salah seorang pelopor faham ateisme di abad modern. Feurbach, seorang teolog, menegaskan prinsip filsafat yang paling tinggi adalah manusia. Sekalipun agama atau teologi menyangkal, namun pada hakikatnya, agamalah yang menyembah manusia (religion that worships man).

Agama Kristen sendiri yang menyatakan Tuhan adalah manusia dan manusia adalah Tuhan (God is man, man is God). Jadi, agama akan menafikan Tuhan yang bukan manusia.

Makna sebenarnya dari teologi adalah antropologi (The true sense of Theology is Anthropology). Agama adalah mimpi akal manusia (Religion is the dream of human mind).

Terpengaruh dengan karya Feurbach, Karl Marx (m. 1883) berpendapat agama adalah keluhan makhluk yang tertekan, perasaan dunia tanpa hati, sebagaimana ia adalah sautu roh zaman yang tanpa roh. Agama adalah candu rakyat. Dalam pandangan Marx, agama adalah faktor sekunder, sedangkan faktor primernya adalah ekonomi. 

Selain itu, Marx memuji karya Charles Robert Darwin (m. 1882) dalam bidang sains, yang menyimpulkan Tuhan tidak berperan dalam penciptaan. Bagi Darwin, asal-mula spesis (origin of species) bukan berasal dari Tuhan, tetapi dari “adaptasi kepada lingkungan” (adaptation to the environment).

Menurutnya lagi, Tuhan tidak menciptakan makhluk hidup. Semau spesis yang berbeda sebenarnya berasal dari satu nenek moyang yang sama. Spesis menjadi berbeda antara satu dan yang lain disebabkan kondisi-kondisi alam (natural conditions). (Charles Darwin, The Origin of Species (New York: New American Library, 1958), 437).

Faham ateisme juga berkembang dalam disiplin ilmu sosiologi Auguste Comte, penemu istilah sosiologi, memandang kepercayaan kepada agama merupakan bentuk keterbelakangan masyarakat.  Dalam pandangan Comte, masyarakat berkembang melalui tiga fase teoritis; pertama, fase teologis, bisa juga disebut sebagai fase fiktif.

Kedua, fase metafisik, bisa juga disebut sebagai fase abstrak. Ketiga, fase saintifik, bisa juga disebut sebagai fase positif.

Kharasteristik dari setiap fase itu bertentangan antara satu dengan yang lain. Dalam fase teologis, akal manusia menganggap fenomena dihasilkan oleh kekautan ghaib. Dalam fase metafisik, akal manusia menganggap fenomena dihasilkan oleh kekuatan-kekuatan abstrak, atau entitas–entitas yang nyata, yang menggantikan kekautan ghaib.

Dalam fase positif, akal manusia menyadari bahwa tidak mungkin mencapai kebenaran yang mutlak. Pendapat Comte, yang menolak agama, diikuti oleh para sosiolog yang lain seperti  Emile Durkheim (m. 1917) dan Herbert Spencer. Agama, tegas Spencer, bermula dari mimpi manusia tentang adanya spirit di dunia lain. (Jonathan H. Turner, Herbert Spencer: A Renewed Appreciation, 1: 136-138).

Pemikiran ateistik ikut bergema dalam disiplin psikologi, Sigmund Freud (m. 1939), seorang psikolog terkemuka menegaskan doktrin-doktrin agama adalah ilusi. Agama sangat tidak sesaui realitas dunia. Bukan agama, tetapi hanya karya ilmiah, satu-satunya jalan untuk membimbing ke arah ilmu pengetahaun. (Sigmund Freud, The Future of an Illusion, editor dan pen. James Strachey (New York: W. W. Norton & Company, 1961).

Kritik terhadap eksistensi Tuhan juga bergema di dalam filsafat. Di dalam karyanya Thus spoke Zarathustra, Friedrich Nietzsche (1844-1900) menulis: “God died; now we want the overman to live.” (Dikutip dari Robert C. Holub, Friedrich Nietzsche, New York: Twayne Publishers, 1995).

Dalam pandangan Nietzsche, agama adalah “membaut lebih baik sesaat dan membiuskan” (momentary amelioration and narcoticizing). Bagi Nietzsche, agama tidak bisa disesauikan dengan ilmu pengetahaun.

Nietzsche menyatakan:

“Seseorang tidak dapat memercayai dogma-dogma agama dan metafisika ini jika seseorang memiliki metode-metode yang ketat untuk meraih kebenaran di dalam hati dan kepada seseorang.”  (Dikutip dari Robert C. Holub, Friedrich Nietzsche, New York: Twayne Publishers, 1995).

Menegaskan perbedaan raung lingkup antara agama dan imu pengetahaun, Nietzsche menyatakan: “Antara agama dan sains yang betul, tidak terdapat keterkaitan, pesahabatan, bahkan permusuhan: kedaunya menetap di bintang yang berbeda.” (Nietzsche menyatakan: “There exists between religion and true science neither affinity, nor friendship, nor even enmity; they dwell on different stars.” Dikutip dari Robert C. Holub, Friedrich Nietzsche).

Ketika Nietzsche mengkritik agama, ia merujuk secara lebih khusus kepada agama Kristen. (Dikutip dari Robert C. Holub, Friedrich Nietzsche).* (BERSAMBUNG)

Penulis buku “Pengaruh Kristen Orientalis Terhadap Islam Liberal” (Gema Insani Press, Jakarta)

No comments: