Umat yang Tunggal Ini Kenyataannya Terpecah, Begini Penjelasan Cak Nur

Umat yang Tunggal Ini Kenyataannya Terpecah, Begini Penjelasan Cak Nur
Perang Jamal: kenyataan historis pertama tentang agama Islam ialah bahwa umatnya telah terpecah. Foto/Ilustrasi: Ist

Cendekiawan Muslim, Prof Dr Nurcholish Madjid, MA (1939-2005) atau populer dipanggil Cak Nur , mengatakan kenyataan historis pertama tentang agama Islam ialah bahwa umatnya telah terpecah dan bahkan saling menumpahkan darah sejak masa-masa amat dini perjalanan sejarahnya.

"Seorang muslim yang serius dan prihatin tentu merasakan adanya semacam anomali dalam kenyataan sejarah itu," ujar Cak Nur dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah".

"Apalagi al-Qur'an sendiri sejak dari semula menyatakan dan memperingatkan, tidak saja kepada kaum muslim tetapi juga kepada para penganut agama para Nabi dan Rasul Allah keseluruhannya, agar waspada terhadap bahaya perpecahan dan pertentangan," lanjutnya.
Salah satu firman suci dalam al-Qur'an yang relevan dengan masalah ini terbaca:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلرُّسُلُ كُلُوا۟ مِنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَٱعْمَلُوا۟ صَٰلِحًا ۖ إِنِّى بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
وَإِنَّ هَٰذِهِۦٓ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَٰحِدَةً وَأَنَا۠ رَبُّكُمْ فَٱتَّقُونِ

"Wahai para Rasul, makanlah dari yang baik-baik, dan berbuatlah kebajikan. Sesungguhnya Kami (Tuhan) maha mengetahui akan segala sesuatu yang kamu kerjakan. Dan ini adalah umatmu semua, umat yang tunggal, sedangkan Aku adalah Pelindungmu semua, maka bertakwalah kamu sekalian kepada-Ku." [ QS al-Mu'minun/23 :51-52]

Menurut Cak Nur, tafsir atas firman itu tidak bisa lain dari pada penegasan bahwa semua Nabi dan Utusan Tuhan itu membentuk persaudaraan umat yang tunggal, sebab Pesan Suci mereka pun tunggal, yaitu mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa yang mencintai dan melindungi mereka.

Ini menjadi dasar pandangan tentang Kesatuan Kenabian (Wahdat al-Nubuwwah) dan Kesatuan Risalah atau pesan suci (Wahdat al-Risalah), yaitu pesan suci keprasahan yang tulus kepada kehendak Ilahi (al-islam dalam makna generiknya). Dan inilah pula dasar pandangan tentang Kesatuan Kemanusiaan (al-Wahdat al-Insaniyyah).

Namun, kata Cak Nur, justru secara historis masalah kesatuan itulah di antara hal-hal yang amat sulit dicapai oleh manusia. Lebih menarik lagi sebagai bahan kajian bahwa manusia cenderung berpecah-belah justru setelah mereka menerima ajaran Tuhan yang dibawa oleh para Utusan-Nya.

Keadaan yang menyimpang dari seharusnya ini tidak saja karena berbagai usaha mereka memahami ajaran Tuhan dan menerapkannya dalam kehidupan nyata, tapi juga karena variasi cara pendekatan kepada ajaran itu membuahkan variasi dalam interpretasi.

Maka dalam gabungannya dengan nafsu benar sendiri dan sektarianisme yang jelas selalu mengancam setiap orang atau golongan tanpa kecuali variasi pendekatan dan interpretasi itu, meskipun disertai dengan penuh niat baik dan tulus, acapkali malah menjuruskan orang banyak kepada perpecahan dan pertentangan.

Perpecahan dan pertentangan itu semakin destruktif sifatnya karena pembawaannya yang sering bergaya absolutistik dan tak kenal kompromi akibat watak dasar suatu keyakinan keagamaan. Keadaan menyedihkan ini pun secara ringkas digambarkan dalam Kitab Suci:

كَانَ النَّاسُ اُمَّةً وَّاحِدَةً ۗ فَبَعَثَ اللّٰهُ النَّبِيّٖنَ مُبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَ ۖ وَاَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيْمَا اخْتَلَفُوْا فِيْهِ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ فِيْهِ اِلَّا الَّذِيْنَ اُوْتُوْهُ مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَتْهُمُ الْبَيِّنٰتُ بَغْيًا ۢ بَيْنَهُمْ ۚ فَهَدَى اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لِمَا اخْتَلَفُوْا فِيْهِ مِنَ الْحَقِّ بِاِذْنِهٖ ۗ وَاللّٰهُ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ اِلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ

Pada mulanya manusia adalah umat yang tunggal. Kemudian Allah mengutus para Nabi untuk membawa berita gembira dan peringatan, dan Dia menurunkan bersama para Nabi itu Kitab Suci dengan sebenarnya untuk memutuskan perkara antara umat manusia berkenaan dengan masalah yang mereka perselisihkan. Dan mereka yang menerima Kitab Suci itu tidaklah berselisih mengenai sesuatu (masalah Kebenaran) kecuali setelah datang berbagai penjelasan, karena rasa permusuhan antara sesama mereka. Maka Allah pun, dengan izin-Nya, memberi petunjuk tentang kebenaran yang mereka perselisihkan itu kepada mereka yang beriman. Allah memberi petunjuk ke arah jalan yang lurus kepada siapa yang menghendakinya (atau, yang dikehendaki-Nya). [ QS al-Baqarah/2 :213]

Cak Nur mengatakan jika harus menyebutkan bukti kebenaran firman itu, maka barangkali kita hanya harus menyebutkan kenyataan tentang semua agama, yang jelas tanpa kecuali terbagi-bagi dan terpecah-pecah menjadi berbagai golongan dan sekte.

Lebih dari itu, kerapkali persengketaan di antara sesama mereka, termasuk yang ada dalam satu agama pun, diselesaikan dengan pertumpahan darah dan penindasan.

Menurut Cak Nur, barangkali, dari perspektif pesan suci semula agama bersangkutan sendiri, tidak ada yang lebih absurd daripada penyelesaian perselisihan paham keagamaan melalui penindasan dan penumpahan darah. "Namun inilah yang sebenarnya terjadi dalam pengalaman hidup umat manusia," tuturnya.

Selanjutnya Cak Nur mengatakan mungkin kita harus mencoba mencari keterangan lain untuk membuat semuanya itu "make sense." Mungkin keterangan itu dapat diperoleh dari beberapa firman Ilahi juga, yang melengkapi firman-firman terkutip di atas sehingga menjadi pandangan dan pengertian yang bulat. Firman itu ialah, misalnya:

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ () إِلَّا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

"Kalau seandainya Tuhanmu menghendaki, maka tentunya Dia jadikan manusia umat yang tunggal. Tetapi mereka itu akan tetap selalu berselisih, kecuali mereka yang mendapatkan rahmat dari Tuhanmu, dan untuk itulah Dia menciptakan mereka." [ QS Hud/11 :118-119]

Juga firman Allah:

وَمَا كَانَ النَّاسُ اِلَّآ اُمَّةً وَّاحِدَةً فَاخْتَلَفُوْاۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ فِيْمَا فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ

Manusia itu tidak lain kecuali umat yang tunggal, kemudian mereka berselisih. Jika seandainya tidak karena adanya "Sabda" (Kalimah) yang telah lewat dari Tuhanmu, maka tentulah diputuskan (sekarang juga) antara mereka berkenaan dengan perkara yang mereka perselisihkan itu.[ QS. Yunus/10 :19]

Cak Nur mengatakan firman-firman itu membuka kemungkinan berbagai interpretasi tentang apa yang ada dalam ajaran Kitab Suci mengenai hakikat manusia sebagai makhluk sejarah berkenaan dengan perkara persatuan dan perpecahan.

Menurutnya, mengenai "Sabda" (Kalimah) dalam QS Yunus/10:19, misalnya, ditafsirkan sebagai berarti "Keputusan" Tuhan, yang merupakan ekspresi Iradat dan Hikmat-Nya yang universal dalam peristiwa tertentu.

Cak Nur lalu mengutip A Yusuf Ali dalam The Holy Qur'an, Translation and Commentary (Jeddah: Dar al Qibla, 1403 H) sbb:

"Here we have again the mystic doctrine of "the Word."..."Word" is the Decree of God, the expression of His Universal Will or Wisdom in a particular case. When men began to deverge from one another..., God made their very differences subserve the higher ends by increasing emulation in virtue and piety, and thus pointing back to the ultimate Unity and Reality."

Di sini (dalam ayat ini), kata Cak Nur, kita mendapatkan lagi doktrin kesufian tentang "Sabda." "Sabda" adalah Keputusan Tuhan, pernyataan Iradat atau Hikmat-Nya yang universal dalam suatu masalah tertentu. Ketika manusia telah bersimpangan jalan satu dari yang lain, Tuhan membuat justru berbagai perbedaan mereka itu membantu mengarahkan manusia kepada tercapainya tujuan-tujuan yang lebih tinggi dengan meningkatnya perlombaan dalam kebaikan den kesalahan, dan dengan mengarah kembali kepada Kesatuan den Wujud yang mutlak

Ayat suci dan tafsirnya itu mengingatkan kita kepada sebuah hadis yang sering dikutip orang bahwa perselisihan di antara orang yang beriman adalah suatu rahmat.

Sabda Nabi yang terbaca, Ikhtilaf ummati rahmah (Perbedaan pendapat ummatku adalah rahmat). Cukup ironis bahwa justru hadis ini pun diperselisihkan, baik dari kesahihan sanadnya maupun dari segi lafalnya yang lebih persis. Lafal lain terbaca, misalnya, Ikhtilaf al-a'immah rahmah li al-ummah (Perbedaan pendapat para imam adalah rahmat untuk ummat).

Akan tetapi betapa pun diperselisihkan hadis itu nampaknya banyak dipercayai para ahli. Rasyid Ridla, misalnya, memberi pengantar dengan semangat hadit itu untuk penerbitan risalah Ibnu Taimiyah, Khilaf al-Ummah fi al-Ibadat wa Madzhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah (Perselisihan umat dalam ibadat dan Madzhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah), (Cairo: Mathba'at al-Manar, 1326 H.).

Cak Nur melanjutkan, dan ayat suci itu bersesuaian dengan ayat suci yang lain, yang menyebutkan adanya Kehendak Ilahi tentang perbedaan antara sesama manusia, dan adanya Kehendak agar dengan perbedaan itu manusia berlomba-lomba ke arah berbagai kebaikan (istibaq al-khayrat, emulation in virtue and piety). Ayat suci itu ialah firman-Nya:

"Jika seandainya Allah menghendaki, maka pastilah Dia menjadikan kamu sekalian umat yang tunggal. Tetapi (Dia tidak menghendakinya) karena Dia hendak menguji kamu semua berkenaan dengan sesuatu yang diberikan-Nya kepadamu. Karena itu berlomba-lombalah kamu semua (dengan menggunakan kelebihan itu) untuk berbagai kebaikan. Kepada Allah-lah tempat kembalimu semua, kemudian Dia akan menerangkan kepada kamu tentang segala sesuatu yang pernah kamu perselisihkan. [ QS al-Ma'idah/5 :48]
(mhy)Miftah H. Yusufpati

No comments: