Keyakinan Mengerikan

Sikap tanpa kompromi dan negosiasi, di satu sisi membuat kekuatan Daulah Bani Umayyah menjadi semakin stabil, namun di sisi lainnya banyak memakan korban nyawa

Tohir Bawazir DALAM sebuah kisah yang shahih dan popular, dikisahkan ada seorang sahabat nabi yang baru saja terkena musibah, kepalanya retak tertimpa batu. Ketika dalam tidurnya, pemuda yang terluka tadi ternyata bermimpi basah.

Pada pagi harinya, sahabat muda tersebut bingung menghadapi kenyataan tersebut, dan bertanya kepada teman-temannya, bagaimana hukumnya  apakah dia harus mandi junub, padahal kepalanya berdarah dan  penuh luka?

Ternyata teman-temannya ‘berfatwa’ dia tetap harus mandi junub agar dirinya suci kembali. Sahabat muda pun akhirnya mengikuti anjuran temannya dengan melakukan mandi junub.

Akibatnya fatal! Pemuda tersebut meninggal  sehabis mandi. Mendengar kejadian tersebut, Rasulullah ﷺ marah besar dan berkata, yang artinya; “Mereka telah membunuhnya! Kalau dia tidak tahu, seharusnya mereka bertanya. Padahal seharusnya dia  cukup dengan bertayamum.” (HR. Dawud, dari Jabir bin Abdullah ra. ).

Akibat ‘fatwa’ kurang ilmu, seseorang dapat meninggal dunia yang membuat Rasulullah ﷺ marah besar.  Ini baru akibat penghilangan nyawa seseorang tanpa sengaja, hanya karena kecerobahan semata, lalu bagaimana halnya kalau “penghilangan nyawa”  dilakukan secara sengaja, terus-menerus, berskala massif dan menimbulkan korban nyawa sangat besar dari bagian umat Islam? Dan keyakinan itu dianggap sebagai kebijakan politik yang harus ditempuh demi menjaga kekuasaan seorang khalifah?

Fenomena ini benar-benar terjadi sekitar enam puluh tahun sepeninggal Nabi ﷺ. Ketika Khalifah Abdul Malik bin Marwan diangkat sebagai Khalifah ke-4 Dinasti Bani Umayyah menggantikan ayahnya Marwan bin Hakam, dunia Islam terjadi dualisme kekhalifahan.

Kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan berkedudukan di Damaskus, dan Kekhalifahan Abdullah bin Zubair (salah satu sahabat Nabi) yang berkedudukan di kota suci Makkah.

Para ulama menganggap kedua kekhalifahan dianggap sah karena memiliki pendukung dan pengaruh yang kuat di dunia Islam. Bahkan kalau dilihat dari segi kelayakannya, Abdullah bin Zubair memiliki keunggulan dari segi akhlak dan kedudukannya.

Pada saat terjadinya dualisme kekhalifahan tersebut, Khalifah Abdul Malik bin Marwan dikenalkan dengan seorang pemuda yang berasal dari Taif yang bernama Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi.

Hajjaj dikenal sebagai pemuda yang bersikap keras, pandai berpidato dan hapal Al-Qur’an. Ditambah lagi memiliki mental dan ketegasan yangl luar biasa.

Ternyata semua karakter yang dimiliki Hajjaj bin Yusuf sangat dibutuhkan Khalifah Abdul Malik bin Marwan, yang membutuhkan pemimpin yang tegas dan keras untuk menghadapi lawan-lawannya baik yang internal umat Islam maupun ekternal umat. Khalifah sangat menginginkan menyelesaikan urusannya dengan khalifah tandingan yang ada di Makkah.

Dengan sigap, Hajjaj bin Yusuf membuat maklumat kepada seluruh penduduk Damaskus untuk ikut wajib bela negara bagi setiap pemuda yang ada di Damaskus.

Bagi yang enggan atau bersembunyi dan lari dari instruksi Hajjaj, maka rumah-rumahnya akan dibakar, tidak peduli ada penghuninya atau tidak. Seruan dan maklumat itu ternyata sangat efektif untuk memaksa setiap pemuda ikut bela negara.

Dalam tempo singkat, armada militer Khalifah Abdul Malik bin Marwan naik signifikan dan itu digunakan untuk menyerbu Kekhalifan Abdullah bin Zubair di Makkah. Tidak lama kemudian armada Damaskus berhasil membumihanguskan kekuatan Khalifah Ibnu Zubair.

Hajjaj sudah tidak peduli lagi terhadap kesucian kota suci Makkah dan Baitullah, Hajjaj juga tidak peduli bahwa musuhnya adalah seorang sahabat Nabi, anak dan cucu sahabat besar yaitu Zubair bin Awwam Ra dan cucu Abu Bakar Shiddiq Ra. Bahkan kesucian Baitullah ikut ternoda dengan api dan darah di dinding Ka’bah.

Pembantaian yang sangat kejam, juga disaksikan langsung oleh dua sahabat Nabi yang masih hidup, Anas bin Malik Ra. dan Abdullah bin Umar Ra. Namun Hajjaj bin Yusuf sedikit pun tidak memberi rasa pemuliaan kepada sahabat Nabi tersebut.

Bagi Hajjaj yang penting sudah menunaikan tugas khalifah dengan sukses.

Sebagai imbalan atas keberhasilan menaklukan Makkah, Hajjaj bin Yusuf mendapat imbalan sebagai gubernur Hijaz yang membawahi Kota Makkah, Madinah dan Taif.

Semenjak Hajjaj berkuasa di Hijaz, suasana Makkah sudah berubah drastis karena kebijakan gubernur baru yang sangat keras. Sikap yang kelewat keras dari Gubernur Hajjaj membuat para ulama di Hijaz mengajukan keberatan kepada Khalifah Abdul Malik agar gubernurnya diganti.

Untungnya pengaduan tersebut disetujui oleh Khalifah, dan Hajjaj mendapat tugas baru sebagai gubernur di Iraq, sebuah wilayah yang paling sulit dikendalikan Damaskus.

Selama bertugas di Iraq, Hajjaj telah berhasil menunjukkan taringnya untuk menundukkan wilayah Iraq yang gampang bergejolak. Berbagai pemberontakan yang dating silih berganti selalu dengan sukses berhasil diatasi dan dihancurkan oleh Gubernur Hajjaj.

Sikap tanpa kompromi dan negosiasi, di satu sisi membuat kekuatan Daulah Bani Umayyah menjadi semakin stabil, namun di sisi lainnya terlalu banyak memakan korban nyawa.

Kemampuan orasi yang dimiliki oleh Hajjaj, juga digunakan untuk meneror rakyatnya agar taat terhadap kebijakan khalifah, seolah tiada ruang untuk berbeda pendapat dengan penguasa (khalifah).

Sebagai contoh ketika Hajjaj memasuki masjid besar di Kufah,  untuk menunjukkan kewibawaannya, dia tidak segan-segan membuat maklumat di depan jama’ah masjid;

“Saya perintahkan  kalian, rakyat saya, untuk keluar masjid ini dari pintu sebelah kanan, barangsiapa yang berani keluar masjid melalui pintu sebelah kiri, maka akan saya penggal lehernya!”

Sudah tentu maklumat ini sangat mencekam rakyatnya. Untuk hal yang sangat sepele saja, urusan nyawa bisa melayang. Bagi Hajjaj , taat kepada pemimpin, baik itu khalifah maupun gubernur adalah harga mati, walaupun untuk hal yang remeh temeh sekali pun.

Apakah Hajjaj bin Yusuf termasuk pemimpin yang baik dan sukses? Bagi Khalifah Bani Umayyah, dia merupakan jenderal dan gubernur yang sangat berprestasi dan efektif untuk menjaga kedaulatan penguasa, bahkan Hajjaj mampu memperluas kekuasaan khalifah ke wilayah-wilayah baru yang ditaklukannya.

Namun bagi rakyat dan para ulama di masanya, dia adalah algojo yang haus darah, pemimpin yang dzalim dan gampang menumpahkan  darah rakyatnya sendiri. Hajjaj juga dikenal tidak memiliki belas kasihan walau terhadap kaum wanita sekalipun sekiranya menunjukkan pembangkangan.

Hajjaj bin Yusuf tidak mengenal bahasa persuasif, namun hanya ada bahasa pedang. Seolah Hajjaj orang yang tidak beragama, padahal Hajjaj tidak sekedar pandai terhadap syariat, bahkan dia hapal ayat suci Al-Qur’an, dan dia juga sangat peduli terhadap Al-Qur’an dan sangat dermawan kepada para pecinta Al-Qur’an.

Namun bagi Hajjaj nyawa rakyat seolah murah di matanya. Menurut para sejarawan, sudah sekitar seratus ribu nyawa umat Islam yang melayang selama sekitar dua puluh tahun  Hajjaj diberi kekuasaan akibat kebijakan represifnya.

Satu hal yang mengherankan, selaku orang mengerti syariat Islam, Hajjaj bin Yusuf tidak pernah menganggap pembunuhan dan kekerasan yang dilakukan Hajjaj terhadap rakyatnya, bukan dianggap persoalan besar.

Selama untuk kepentingan menjunjung kekuasaan khalifah dan dianggap sebagai tugas “bela negara”, itu dianggap bukan kekejaman dan dosa yang perlu dirisaukannya.

Ketika Hajjaj mengayunkan pedangnya ke leher seseorang, selama bukan karena urusan pribadi, tetapi urusan menjaga ulil amri (khalifah),  itu bukan tangan Hajjaj yang bekerja tapi kepanjangan tangan khalifah. Sehingga Hajjaj merasa yakin bahwa Allah SWT pasti memahami dan mengerti hal itu dan bukan dosa yang perlu ditakutinya. Walaupun. Jadi berapapun nyawa yang jadi korban kekuasaannya, itu semua semata-mata tangan khalifah yang bekerja.

Sayangnya Hajjaj tidak pernah menyadari, ketika dia menebas leher seseorang, yang mati tidak hanya seorang rakyat sekaligus musuh khalifah, namun sekaligus yang mati adalah seseorang ayah yang  ingin membesarkan anak-anaknya, seorang suami  yang menyayangi  istrinya, seorang anak yang masih dicintai kedua orangtuanya, seorang hamba Allah yang  masih memiliki harapan dan peran hidup di dunia yang lebih panjang untuk hidup dan beramal  kepada Rabbnya, tetapi semuanya harus diakhiri kehidupannya oleh Hajjaj.

Kalau Hajjaj selalu berkilah yang menebas leher bukan Hajjaj selaku individu tetapi hanya seorang aparat khalifah, harusnya yang dibunuh hanya seorang rakyat pembangkang saja, tapi ternyata berakibat seorang yang membuat anak-anaknya menjadi yatim dan istrinya menjadi janda dan orangtua yang melahirkannya menjadi kehilangan anaknya?

Apakah Hajjaj sudah pernah mengkaji ‘ijtihad’ politiknya yang berkeyakinan bahwa hanya demi alasan menjaga marwah khalifah, apapun boleh dilakukan, walaupun harus membunuh sekali pun?

Apakah Hajjaj tidak pernah berpikir bahwa urusan nyawa begitu berharganya di mata Allah selaku pemilik alam semesta, namun oleh seorang hamba yang bernama Hajjaj bin Yusuf seolah begitu murah harganya?

Apakah Hajjaj pernah mencoba mendiskusikan keyakinannya terhadap para ulama di zamannya, apakah sudah benar sesuai syariat Islam? Bagaimana mau mendiskusikannya, ketika para ulama di zamanya sudah dijadikan musuh politiknya?

Apakah Hajjaj tidak pernah belajar tentang peristiwa ‘fatwa serampangan’ di masa kehidupan para sahabat yang membuat Rasulullah ﷺ begitu marahnya, karena mengakibatkan kematian seorang sahabat Nabi yang disuruh mandi junub dan berakibat kepada kematian? Itu hanya urusan seorang nyawa saja?

Begitu pula Khalifah Abdul Malik bin Marwan pun tidak bisa berpangku tangan atas dosa-dosa pembunuhan yang dilakukan oleh gubernur dan algojonya tersebut, kemudian berdalih itu atas improvisasinya sendiri,  karena Hajjaj melakukan hal itu atas kekuasaan dan wewenang yang diberikan oleh khalifahnya, bahkan Hajjaj terang-terangan bersandar terhadap semua tindakannya kepada khalifahnya.

Mereka berdua layak dan harus “berbagi tanggungjawab” terhadap rentetan kekerasan dan dosa pembunuhan atas tewasnya puluhan ribu rakyatnya.

Jejak “kekejaman” Hajjaj bin Yusuf akhirnya harus berakhir ketika melakukan eksekusi pembunuhan terhadap ulama tabi’in Said bin Jubair. Sebelum Said bin Jubair dibunuh, beliau berdoa kepada Allah agar pembunuhan ini merupakan kisah pembunuhan Hajjaj bin Yusuf yang terakhir dalam hidupnya.

Biarlah beliau bersiap agar darahnya yang menetes menjadi darah terakhir yang tertumpah. Doa beliau dikabulkan oleh Allah SWT. Menurut riwayat tiga hari kemudian Hajjaj mengalami sakit yang menyakitkan yang berakibat kepada kematiannya.

Kematian yang disambut dengan sukacita dan sujud syukur oleh semua rakyatnya. Riwayat kehidupan dan kekuasaan Hajjaj bin Yusuf akan abadi dalam tinta sejarah sebagai salah satu bagian kelam dari kekuasaan Dinasti Bani Umayyah.*

Penulis adalah pengelola Penerbit Al-Kautsar

No comments: