Pengetahuan tentang Diri yang Sebenarnya Menurut Imam Al-Ghazali

Pengetahuan tentang Diri yang Sebenarnya Menurut Imam Al-Ghazali
Imam al-Ghazali mengatakan pengetahuan tentang diri adalah kunci pengetahuan tentang Tuhan. Foto/Ilustrasi: Ist
Imam al-Ghazali mengatakan pengetahuan tentang diri adalah kunci pengetahuan tentang Tuhan , sesuai dengan Hadits: "Dia yang mengetahui dirinya sendiri, akan mengetahui Tuhan."

Di dalam al-Qur'an Allah SWT berfirman: "Akan Kami tunjukkan ayat-ayat kami di dunia ini dan di dalam diri mereka, agar kebenaran tampak bagi mereka."

"Nah, tidak ada yang lebih dekat kepada anda kecuali diri anda sendiri. Jika anda tidak mengetahui diri anda sendiri, bagaimana anda bisa mengetahui segala sesuatu yang lain," tutur Imam al-Ghazali dalam bukunya berjudul "The Alchemy of Happiness" yang diterjemahkan Haidar Bagir menjadi " Kimia Kebahagiaan ".

Menurut Imam al-Ghazali, jika anda berkata: 'Saya mengetahui diri saya'- yang berarti bentuk luar anda; badan, muka dan anggota-anggota badan lainnya - pengetahuan seperti itu tidak akan pernah bisa menjadi kunci pengetahuan tentang Tuhan.

"Demikian pula halnya jika pengetahuan anda hanyalah sekadar bahwa kalau lapar anda makan, dan kalau marah anda menyerang seseorang; akankah anda dapatkan kemajuan-kemajuan lebih lanjut di dalam lintasan ini, mengingat bahwa dalam hal ini hewanlah kawan anda?" lanjut Imam Ghazali.

Pengetahuan tentang diri yang sebenarnya, kata Imam al-Ghazali, ada dalam pengetahuan tentang hal-hal berikut ini:

Siapakah anda, dan dari mana anda datang? Ke mana anda pergi, apa tujuan anda datang lalu tinggal sejenak di sini, serta di manakah kebahagiaan anda dan kesedihan anda yang sebenarnya berada?

Sebagian sifat anda adalah sifat-sifat binatang, sebagian yang lain adalah sifat-sifat setan dan selebihnya sifat-sifat malaikat. Mesti anda temukan, mana di antara sifat-sifat ini yang aksidental dan mana yang esensial (pokok). "Sebelum anda ketahui hal ini, tak akan bisa anda temukan letak kebahagiaan anda yang sebenarnya," ujar al-Ghazali.

Pekerjaan hewan hanyalah makan, tidur dan berkelahi. Oleh karena itu, jika anda seekor hewan, sibukkan diri anda dengan pekerjaan-pekerjaan ini.

Setan selalu sibuk mengobarkan kejahatan, akal bulus dan kebohongan. Jika anda termasuk dalam kelompok mereka, kerjakan pekerjaan mereka.

Malaikat-malaikat selalu merenungkan keindahan Tuhan dan sama sekali bebas dari kualitas-kualitas hewan. Jika anda punya sifat-sifat malaikat, maka berjuanglah untuk mencapai sifat-sifat asal anda agar bisa anda kenali dan renungi Dia Yang Maha Tinggi, serta merdeka dari perbudakan nafsu dan amarah.

Juga mesti anda temukan sebab-sebab anda diciptakan dengan kedua insting hewan ini: mestikah keduanya menundukkan dan memerangkap anda, ataukah anda yang mesti menundukkan mereka dan - dalam kemajuan anda - menjadikan salah satu di antaranya sebagai kuda tunggangan serta yang lainnya sebagai senjata.
Langkah pertama menuju pengetahuan tentang diri adalah menyadari bahwa anda terdiri dari bentuk luar yang disebut sebagai jasad, dan wujud dalam yang disebut sebagai hati atau ruh.

"Yang saya maksudkan dengan 'hati' bukanlah sepotong daging yang terletak di bagian kiri badan, tetapi sesuatu yang menggunakan fakultas-fakultas lainnya sebagai alat dan pelayannya," ujar Imam al-Ghazali.

Pada hakikatnya dia tidak termasuk dalam dunia kasat-mata, melainkan dunia maya; dia datang ke dunia ini sebagai pelancong yang mengunjungi suatu negeri asing untuk keperluan perdagangan dan yang akhirnya akan kembali ke tanah asalnya. Pengetahuan tentang wujud dan sifat-sifatnya inilah yang merupakan kunci pengetahuan tentang Tuhan.

Hakikat Hati

Beberapa gagasan tentang hakikat hati atau roh bisa diperoleh seseorang yang mengatupkan matanya dan melupakan segala sesuatu di sekitarnya selain individualitasnya.

Dengan demikian, ia juga akan memperoleh penglihatan sekilas akan sifat tak berujung dari individualitas itu. Meskipun demikian, pemeriksaan yang terlalu dekat kepada esensi roh dilarang oleh syariat.

Di dalam al-Qur'an tertulis: "Mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakan: Roh itu adalah urusan Tuhanku." (QS 17:85).

Menurut Imam al-Ghazali, yang bisa diketahui adalah bahwa ia merupakan suatu esensi tak terpisahkan yang termasuk dalam dunia titah, dan bahwa ia tidak berasal dari sesuatu yang abadi, melainkan diciptakan.

Pengetahuan filosofis yang tepat tentang roh bukanlah merupakan pendahuluan yang perlu untuk perjalanan di atas lintasan agama, melainkan muncul lebih sebagai akibat disiplin-diri dan kesabaran berada di atas lintasan itu, sebagaimana dikatakan dalam al-Qur'an: "Siapa yang berjuang di jalan Kami, pasti akan Kami tunjukkan padanya jalan yan glurus." (QS 29:69).

Menurutnya, untuk melanjutkan peperangan rohaniah demi mendapatkan pengetahuan tentang diri dan tentang Tuhan, jasad bisa digambarkan sebagai suatu kerajaan, jiwa (roh) sebagai rajanya serta berbagai indera dan fakultas lain sebagai tentaranya.

Nalar bisa disebut sebagai wazir atau perdana menteri, nafsu sebagai pemungut pajak dan amarah sebagai petugas polisi. Dengan berpura-pura mengumpulkan pajak, nafsu terus-menerus cenderung untuk merampas demi kepentingannya sendiri, sementara amarah selalu cenderung kepada kekasaran dan kekerasan.

Pemungut pajak dan petugas polisi keduanya harus selalu ditempatkan di bawah raja, tetapi tidak dibunuh atau diungguli, mengingat mereka memiliki fungsi-fungsi tersendiri yang harus dipenuhinya.

Selanjautnya Imam al-Ghazali berkata: "Tapi jika nafsu dan amarah menguasai nalar, maka - tak bisa tidak - keruntuhan jiwa pasti terjadi."

Jiwa yang membiarkan fakultas-fakultas yang lebih rendah untuk menguasai yang lebih tinggi ibarat seseorang yang menyerahkan seorang bidadari kepada kekuasaan seekor anjing, atau seorang muslim kepada tirani seorang kafir.

Penanaman kualitas-kualitas setan, hewan ataupun malaikat menghasilkan watak-watak yang sesuai dengan kualitas tersebut - yang di Hari Perhitungan akan diwujudkan dalam bentuk kasat-mata, seperti nafsu sebagai babi, ganas sebagai anjing dan serigala, serta suci sebagai malaikat.

"Tujuan disiplin moral adalah untuk memurnikan hati dari karat-nafsu dan amarah, sehingga bagaikan cermin yang jernih, ia memantulkan cahaya Tuhan," demikian Imam al-Ghazali.

(mhy) Miftah H. Yusufpati

No comments: