Kebijakan 2 Khalifah Dinasti Umayyah yang Tetap Berpengaruh hingga Kini

Kebijakan 2 Khalifah Dinasti Umayyah yang Tetap Berpengaruh hingga Kini
Umar bin Abdul Aziz pelopor gerakan penulisan hadis. Foto/Ilustrasi: Ist

Ada dua khalifah di era Bani Umayyah yang dicatat sejarah paling legendaris, selain Muawiyah. Jasa mereka dikenang dan masih membekas sampai kini. Mereka adalah Khalifah Abd al-Malik dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz .

Abd al-Malik (692-705) adalah anak Marwan bin Hakam, yang oleh Hodgson disebut sebagai khalifah Islam terbesar ketiga setelah Umar bin Khattab dan Mu'awiyah bin Abu Sofyan . Menurut Cendekiawan Muslim, Prof Dr Nurcholish Madjid, MA (1939-2005) atau populer dipanggil Cak Nur , segi kebenaran Abd al-Malik ialah bahwa ia berhasil mengakhiri fitnah (kedua), dengan melakukan berbagai akomodasi. Yang disebut fitnah kedua adalah tragedi terbunuhnya Husain bin Ali bin Abi Thalib.

Menurut Cak Nur dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah", dengan tegas Abd al-Malik mendasarkan sistemnya di atas konsep kekuatan (force). Maka negara menjadi negara kekuasan (machtstaat), dan paham keagamaan diperhitungkan hanya setelah jelas siapa yang unggul melalui kekuatan itu.

Juga penggantian kekhalifahan dengan tegas didasarkan kepada pewarisan, dalam bentuk suksesi melalui penunjukan oleh khalifah yang terdahulu.

Kebesaran Abd al-Malik ibn Marwan yang lain terletak dalam kegairahannya untuk menegaskan supremasi Islam terhadap yang lain. Di sisi lain tindakannya bisa disebut sebagai sejenis nasionalisme Arab.

Ketika Abd al-Malik mengganti mata uang logam Yunani yang bergambar kepala raja mereka dengan mata uang logam khas Arab dan Islam dengan simbol kalimah syahadat, maka efeknya ialah penegasan kedaulatan Islam.

Menurut Cak Nur, berbeda dengan pandangan keagamaan kaum Khawarij dan Syi'ah pandangan keagamaan kaum Umawi memang sangat berat berwarna ke-Arab-an.

Bagi mereka Islam adalah lambang Arabisme yang dipersatukan, dan berfungsi terutama sebagai kode etik dan ajaran disiplin bagi kekuatan elite penakluk dan penguasa.

Berdasarkan pandangannya itu Abd al-Malik melihat pentingnya usaha lebih lanjut mempersatukan orang-orang Arab di bawah bendera Islam melawan kecenderungan kesukuan yang sampai saat itu masih menunjukkan potensi latennya.

Solidaritas Arab berdasarkan Islam melawan kecenderungan kesukuan lama (Jahiliyah) ini kemudian menjadi dasar ide tentang Jama'ah, suatu konsep atau idiologi yang meletakkan nilai-nilai persatuan dan kesatuan di atas semangat kesukuan dan bahkan di atas paham-paham keagamaan faksional.

Sebagai dukungan asasi bagi konsep Jama'ah-Nya itu, dengan dibantu oleh keahlian dan kesarjanaan al-Hajjaj ibn Yusuf, bekas guru madrasah di Thaif, pada kalangan Banu Tsaqif, yang sebelumnya telah membantu menaklukkan Mekkah, membunuh Ibn al-Zubair, dan menghancurkan Ka'bah serta membangunnya kembali, Abd al-Malik meneruskan usaha mempersatukan ummat Islam berkenaan dengan Kitab Suci mereka.

Abd al-Malik memperbaiki cara penulisan kitab suci dan memastikan harakat bacaannya melalui penambahan beberapa diakritik dan vokalisasi (harakat).

Cak Nur mengingatkan, bahwa meskipun al-Qur'an telah dipersatukan kodifikasinya oleh Utsman namun orang masih mengalami kesulitan untuk memastikan pembacaannya, kecuali mereka yang benar-benar mengenal bahasa Arab karena dibesarkan sebagai orang Arab.

Sedangkan mereka yang tidak demikian keadaannya akan terbentur kepada sistem huruf Arab, sama dengan huruf-hurut Semitik yang lain, yang hanya mengenal konsonan, tanpa huruf hidup.

Dampak amat penting tindakan ini ialah penyatuan yang lebih meyakinkan seluruh kekuatan Islam (dan Arab), yang menjadi dasar kebesaran kekuasaan Umawi. Lebih tepat, Marwani, sebagaimana sebutan pilihan sementara ahli sejarah Islam.

Melalui kebijaksanaan Abd al-Malik ibn Marwan ini maka al-Qur'an mempunyai fungsi lain, yaitu sebagai lambang persatuan dan kesatuan (Jama'ah) yang tak tergugat.

Kemudian dorongan untuk memahami lebih baik dan melaksanakan ajarannya secara lebih tepat tumbuh dengan pesat di kalangan umum.

Maka dalam usaha memahami lebih baik Kitab Suci itu dan melaksanakannya dalam kehidupan nyata, kaum Muslimin, terlebih lagi para penguasa Umawi, semakin banyak merasakan perlunya bahan rujukan dari kebiasaan mapan (sunnah) masa lalu Islam, yang sebenarnya belum lama berselang itu.

Menurut Cak Nur, tampaknya masa lalu Islam itu yang paling otoritatif, sudah tentu, ialah masa Nabi sendiri. Tetapi, sepanjang mengenai pelaksanaan pemerintahan sehari-hari, masa Umar ibn al-Khathab nampak paling banyak dijadikan rujukan. Maka kaum Umawi di Damaskus itu, dalam masalah pemerintahan menurut pengertian seluas-luasnya, jika pemerintahan itu harus dijalankan dengan norma-norma keislaman, banyak melanjutkan rintisan dan percontohan Umar ibn al-Khathab, dengan berbagai modifikasi dan penyesuaian.

Oleh karena itu ketika para qadli sebagai pemegang semacam kekuasaan yudikatif di daerah-daerah (Abd al-Malik adalah orang pertama melembagakan jabatan qadli itu), banyak referensi dilakukan kepada preseden yang ada dalam sejarah Islam. Maka dengan begitu secara berangsur tumbuhlah yurisprudensi Islam, yang kelak melahirkan disiplin terpisah dalam ilmu-ilmu keagamaan Islam, yaitu ilmu fiqh.

Menurut Cak Nur, perkataan Arab "fiqh" sendiri berarti "paham" (dalam makna "mengerti"). Penggunaan perkataan "fiqh" sebenarnya merujuk kepada beberapa firman Allah, antara lain, "Kami (Tuhan) telah merinci berbagai ayat untuk kaum yang mengerti" (ber-fiqh) ( QS al-An'am 6 :98), dan. "... Maka hendaklah dari setiap golongan ada satu kelompok orang yang pergi (mencurahkan perhatian) untuk memahami agama secara mendalam (ber-tafaqquh) ..." ( QS al-Taubah/9 :122.

Jadi yang dimaksudkan dengan perkataan fiqh dalam firman-firman itu pendalaman ajaran keagamaan secara menyeluruh. Tapi karena dominasi dan supremasi persoalan penataan kembali masyarakat saat-saat dini sejarah Islam, khususnya pada masa dinasti Marwani itu (antara lain karena urgensi mengatasi dan menyudahi fitnah yang berkelarutan), maka segi hukum dari agama juga amat dominan dan supreme, sehingga pengetahuan mengenai masalah-masalah hukum pun dianggap fiqh par excellence.

Keadaan serupa itu bertahan hampir sepanjang sejarah Islam sesudah masa Marwani, sampai sekarang. Ini tercermin dalam bagaimana sebagian besar kaum Muslim mempersepsi agamanya sebagai terutama sistem hukum.

Keperluan kepada bahan rujukan dari masa lalu (preseden) untuk menetapkan hukum lambat-laun tumbuh manjadi kesadaran tentang otoritas tradisi (sunnah) yang sah (valid). Maka perhatian kepada cerita, anekdot, dan penuturan tentang para tokoh masa lalu itu, khususnya tentang Nabi sendiri dan para Sahabat, tapi juga tentang tokoh-tokoh generasi ketiga umat Islam, menjadi semakin besar. Ini semua kelak disistematisasi dan dikritik, untuk selanjutnya dikodifikasi, oleh para sarjana hadits seperti al-Bukhari, Muslim, dll.

Umar bin Abdul Aziz

Para ahli mengatakan bahwa gerakan perorangan untuk mencatat hadis telah terjadi sejak masa sangat awal sejarah Islam, rupanya malah sejak masa nabi sendiri. Tapi sejarah mencatat bahwa dorongan paling kuat ke arah sana itu dimulai oleh Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (ibn Marwan) yang dikenal sebagai Umar II (memerintah 717-720) karena mengingatkan orang kepada Khalifah Umar ibn al-Khattab.

Umar II sebenarnya hanya melanjutkan kecenderungan yang sudah ada pada kaum Marwani atau Umawi, khususnya sejak kekhalifahan Abd al-Malik ibn Marwan. Dorongan yang amat kuat untuk menyudahi berbagai fitnah yang telah meninggalkan kesan-kesan penuh trauma itu telah mengharuskan kaum Marwani atau Umawi untuk menunjukkan sikap-sikap yang lebih akomodatif dan kompromistis.

Dalam rangka ini, tindakan terpenting ialah mengakui Ali sebagai khalifah yang sah, pada urutan keempat. Menurut Cak Nur, artinya, Utsman, anggota-anggota klan mereka, tetap lebih unggul daripada Ali, namun Ali lebih unggul daripada Mu'awiyah, juga anggota klan mereka tapi menjadi musuh Ali.

Dengan begitu kaum Marwani atau Umawi meletakkan landasan dialog intern Islam yang meliputi semua, yang di situ setiap kelompok memperoleh kehormatannya, sedikit atau pun banyak.

Tradisi ini berkembang dan tumbuh kuat, dan menjadi dasar paham yang kini merupakan anutan terbesar kaum Muslim di dunia, yaitu paham yang menggabungkan antara ideologi Jama'ah (persatuan dan kesatuan) dan ideologi Sunnah (paham yang memandang otoritas masa lalu dan tradisi yang sah sebagai bahan rujukan), maka disebut Ahl al-Sunnah wa 'l-Jama'ah, biasa disingkat dengan Ahl al-Sunnah, lebih singkat lagi, golongan Sunni.

Muawiyah bin Abu Sofyan

Selain 2 khalifah tersebut, sudah barang tentu leluhur mereka, Muawiyah bin Abu Sofyan adalah khalifah yang tak kalah hebatnya. Muawiyah disebut-sebut lebih piawai dibanding pendahulunya, Ali bin Abi Thalib.

Ibnu Taimiyah dalam polemiknya dengan kaum Syi'ah, sebagaimana dikutip Cak Nur, masih sempat menunjuk kepada kenyataan bahwa sementara Ali mendapat dukungan bagi kekhalifahannya hanya dari sebagian umat Islam, Mu'awiyah mendapat dukungan yang boleh dikata universal.

Ini, dalam pandangan Ibnu Taimiyah, menunjukkan segi tertentu kelebihan Mu'awiyah atas Ali, meskipun ia tetap secara keseluruhan mengunggulkan Ali atas lawannya itu.

Menurut Cak Nur, sangat menarik sebagai bahan studi lebih mendalam mempelajari berbagai polemik sekitar Ali dan Mu'awiyah ini. Misalnya, Ibnu Taimiyah, salah seorang pemikir Sunni mazhab Hanbali yang sangat polemis terhadap golongan Syi'ah, mengatakan, "Perilaku Mu'awiyah terhadap rakyatnya adalah termasuk sebaik-baik perilaku para penguasa, dan rakyatnya mencintainya."

Padahal telah mantap dalam al-Shahihayn (Bukhari-Muslim) dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda, 'Sebaik-baik para pemimpinmu ialah yang kamu cinta kepada mereka dan mereka cinta kepada kamu dan berdo'a untuk kebaikanmu. Sedangkan seburuk-buruk pemimpinmu ialah yang kamu benci kepada mereka dan mereka benci kepadamu, serta kamu mengutuk mereka dan mereka mengutuk kamu." (Minhaj al-Sunnah).

Sebaliknya tentang Ali, Ibn Taimiyah masih sempat mencatat demikian, "... Dan tatkala dia (Ali) melamar anak perempuan Abu Jahal, beliau (Nabi) bersabda, Bani al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan anak perempuan mereka kepada Ali. Dan sungguh aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan!

Kecuali jika anak Abu Thalib itu menceraikan anak perempuanku (Fathimah) dan kemudian kawin dengan anak perempuan mereka. Demi Allah, tidak akan berkumpul menjadi satu anak perempuan Rasulullah dengan anak perempuan musuh Allah pada satu orang lelaki.'"

Cak Nur menyebut, dalam kutipan pertama Ibnu Taimiyah ingin mengesankan bahwa Mu'awiyah bertingkah laku sesuai dengan Sunnah, dan dalam kutipan kedua ia mau memperlihatkan betapa Ali pernah membuat hal yang menyakiti hati Nabi.

(mhy)Miftah H. Yusufpati

No comments: