Teokrasi dan Demokrasi

Kota Madinah

Konsep teokrasi dan demokrasi sering menjadi diskusi, fase Negara Madinah, memberikan teladan mengelola keuangan, mengatur perang, musyawarah, mengangkat pejabat, mengatur pajak, sampai memberantas korupsi, dan memberantas minuman keras

Dr. Adian Husaini

MENTERI Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mohammad Mahfud MD pernah menyebut tidak terdapat ajaran bernegara dalam Islam dan tidak diperbolehkan meniru negara pada zaman Nabi Muhammad ﷺ. “Kita dilarang mendirikan negara seperti yang didirikan nabi karena negara yang didirikan nabi merupakan negara teokrasi di mana nabi mempunyai tiga kekuasaan sekaligus,” tutur Mahfud dalam diskusi “Harapan Baru Dunia Islam: Meneguhkan Hubungan Indonesia-Malaysia” di Gedung PBNU, Jakarta, Sabtu (25/1/2020).

Sayangnya, berita itu tidak menjelaskan, apa yang dimaksud dengan sistem teokrasi oleh Prof. Mahfud MD, sehingga belum bisa didapat gambaran yang memadai tentang makna ”sistem teokrasi”. Karena itu, tulisan singkat ini bukan mengomentari pernyataan Mahfud MD, tetapi sekedar mengutip pendapat dua cendekiawan muslim di Indonesia tentang sistem teokrasi dan demokrasi.

Dalam pidatonya di Majlis Konstituante, tahun 1955,  Mohammad Natsir mengritik sistem pemerintahan sekular dan juga mengkritik konsep pemerintahan teokratis.  ”Teokrasi adalah satu sistem kenegaraan dimana pemerintahan dikuasai oleh satu priesthood (sistem kependetaan), yang mempunyai hirarki (tingkat bertingkat), dan menjalankan demikian itu sebagai wakil Tuhan di dunia.  Dalam Islam tidak dikenal priesthood semacam itu. Jadi negara yang berdasarkan Islam sukanlah satu teokrasi.  Ia negara demokrasi.  Ia bukan pula sekuler yang saya uraikan lebih dahulu. Ia adalah negara demokrasi Islam  Dan kalaulah saudara Ketua hendak memberi nama yang umum juga, maka barangkali negara yang berdasarkan Islam itu dapat disebut Theistic Democracy.” (Lihat, Mohammad Natsir, Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, Jakarta: Media Dakwah, 2001).

Sementara itu, pakar hukum Islam Prof. TM Hasbi as-Shiddieqy, dalam bukunya, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam (1969), menyatakan, bahwa corak pemerintahan Islam berbeda dengan sistem teokrasi pada abad pertengahan Eropa. Hasbi juga mengupas sejumlah perbedaan dan persamaan antara Islam dan demokrasi. Tapi, tulisnya, “segi-segi perbedaan, lebih banyak daripada segi-segi persamaan.”

Pertama, dari segi konsep “rakyat”. Bagi demokrasi modern, rakyat dibatasi oleh batas-batas geografi yang hidup dalam suatu negara, anggota-anggotanya diikat oleh persamaan darah, jenis, bahasa, dan adat-istiadat. Ini berbeda dengan Islam.

Umat Islam bukanlah diikat oleh kesatuan tempat, darah, dan bahasa. “Tetapi, yang pokok ialah kesatuan akidah. Segala orang yang menganut akidah Islam, dari jenis mana, warna apa, dan tanah air yang mana, maka dia itu seorang anggota di dalam negara Islam,” tulis Hasbi, dalam buku yang pernah menjadi bahan kuliah di Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijogo, Yogyakarta.

Kedua, tujuan demokrasi Barat, baik yang modern, ataupun demokrasi kuno, adalah maksud keduniaan, atau tujuan material belaka. Tujuannya hanya mewujudkan kebahagiaan bangsa, yaitu menyuburkan kekayaan atau keagungan duniawi.

Ini berbeda dengan tujuan kenegaraan dalam Islam, sebagaimana dirumuskan oleh Ibn Khaldun: “Imamah itu, adalah untuk mewujudkan kemaslahatan akhirat dan kemaslahatan dunia yang kembali kepada kemaslahatan akhirat, karena segala kemaslahatan dunia dalam pandangan syarak harus diiktibarkan dengan segala kemaslahatan akhirat.”

Ketiga, kekuasaan rakyat dalam demokrasi Barat adalah mutlak. Di Barat, rakyat yang menentukan dan membuat Undang-undang. Tetapi di dalam Islam, kekuasaan rakyat dibatasi dengan aturan-aturan Islam yang bersumberkan kepada al-Quran dan Sunnah.

Karena ada perbedaan-perbedaan antara konsep Islam dengan konsep demokrasi Barat, Hasbi mengakui, belum ada istilah khusus untuk menyebut corak pemerintahan Islam. Sebab, konsep Islam itu tidak sama dengan sistem teokrasi di zaman pertengahan Eropa, yang menjadikan Paus (wakil Tuhan) sebagai pemegang otoritas tunggal keabsahan suatu pemerintahan; tidak sama pula dengan sistem demokrasi Barat yang menjadikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan mutlak, yang menafikan kedaulatan hukum Tuhan. Karena sifatnya inilah, maka sejumlah pakar  seperti Hasbi as-Shiddieqiy menyebutnya sebagai “Demokrasi Islam”.

Sedangkan Plato (429-347 BC), filosof Yunani Kuno, menyebut empat kelemahan demokrasi. Salah satunya, pemimpin biasanya dipilih dan diikuti karena faktor-faktor non-esensial, seperti kepintaran pidato, kekayaan, dan latar belakang keluarga.  Menurut Plato, negara yang ideal adalah yang dipimpin oleh orang-orang paling bijak (the wisest people)  di negara itu.

Kata Plato, “The wisest people is the best people in the state, who would approach human problems with reason and wisdom derived from knowledge of the world of unchanging and perfect ideas.”

*****

Lalu, bagaimana dengan sistem pemerintahan Nabi Muhammad ﷺ? Setiap muslim pasti yakin, bahwa Nabi Muhammad ﷺ adalah uswatun hasanah, suri tauladan terbaik, dalam seluruh aspek kehidupan. Bahkan, menurut pakar manuskrip kuno, Prof. Hamidullah, Negara Madinah adalah negara pertama di dunia yang memiliki konstitusi tertulis (Piagam Madinah).

Negara Madinah adalah negara model dalam berbagai aspek kehidupan. Nabi ﷺ  memberikan teladan dalam mengelola keuangan negara, mengatur dan memimpin perang, memimpin musyawarah, mengangkat gubernur, mengangkat petugas pajak, berhubungan dengan kepala negara lain, memberantas korupsi, memberantas minuman keras, menanamkan budaya literasi masyarakat, dan sebagainya.

Tentu, ada sejumlah tindakan Nabi ﷺ  yang tidak dapat dicontoh. Seperti menerima dan menyampaikan wahyu dari Allah. Itu tidak bisa dicontoh. Sebab, ucapan beliau adalah wahyu dari Allah SWT.

Tahun 1963, Bung Karno memulai tradisi penyelenggaraan perayaan Maulid Nabi di Istana Negara. Saat peringatan Maulid tahun 1963 itulah, Bung Karno mengajak umat Islam: “Bahkan harus kita mengatakan,  tidak ada pemimpin yang lebih besar dari pada Muhammad ﷺ !” (http://bironaskahpidato.blogspot.com/2013/11/isi-pidato-presiden-sukarno-pada.html).*/ Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 28 Januari 2020).

Penulis Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII)

Rep: Admin Hidcom
Editor: Insan Kamil

No comments: