Penganut Agama atau Penganut Tafsir Agama?

Tren relativisme beragama membolehkan semua melakukan tafsiran-tafsiran agama. Relativisme adalah paham kuno, yang kini dibungkus dengan kemasan modern

Dr. Kholili Hasib

“KITA ini sebenarnya bukan penganut agama. Tetapi penganut tafsir-tafsir agama!,” demikian kata salah seseorang. Benarkah demikian?

Di balik pernyataan tersebut sesungguhnya mengandung kampanye relativisme beragama. Hal itu dapat diidentifikasi dari keterangan lanjutan dari orang tersebut. Menurutnya, Syiah, Sunni, NU, Muhammadiyah, Madzhab, aliran dan lain-lain itu adalah tafsir agama.

Jika tafsir agama, maka tidak perlu saling menyalahkan. Tidak ada yang mutlak dari golongan-golongan tersebut. Jadi sunni maka jangan menyalahkan yang lain. Inilah relativisme beragama.

Berangkat dari hal ini, maka sesungguhnya pernyataan orang tersebut juga sejatinya tidak mutlak. Relative. Bisa benar, bisa salah. Tetapi saya berkeyakinan, pernyataan tersebut salah dan jahil.

Menurut Imam al-Ghazali kejahilan itu adalah meyakini sesuatu yang salah dan bertindak tidak tepat. Relativisme beragama termasuk bentuk kejahilan dalam beragama di era modern.

Persis seperti pernah seorang akademisi mengatakan: “Adapun keberagamaan, adalah penyikapan atau pemahaman para penganut agama terhadap doktrin, kepercayaan, atau ajaran-ajaran Tuhan itu, yang tentu saja menjadi bersifat relative, dan sudah pasti kebenarannya bernilai relative”. Tidak jauh berbeda dengan pernyataan di atas.

Orientalis dalam meneliti Islam di antaranya menggunakan pendekatan “Islam Historis”. Memaknai Islam sebagai produk sejarah.

Bentuk Islam yang historis ini diyakini sebagai pemahaman yang relatif. Jika begitu, pemahaman para tabiin dan para ulama setelahnya adalah relatif. Jika relative, tidak bisa dijadikan pegangan.

Kesalahan fatalnya adalah meletakkan Islam yang bersifat final, sebagai bagian dari sejarah. Islam bukanlah agama budaya, hasil kreasi manusia, agama wahyu yang sempurna sejak awal.

Dari pemahaman seperti inilah lahir statemen bahwa pemikiran dan penafsiran terhadap keagamaan itu relative ketika dijelmakan ke dalam kehidupan sehari-hari.

Statemen tersebut belumlah jelas. Apakah yang dimaksud penafsiran dalam hal ini?

Syiah, Liberal, Mutazilah, Khawarij, dan lain-lain bukan bentuk penafsiran agama. Tetapi penyimpangan agama. Tafsir yang sesat terhadap agama itu disebut penyimpangan agama.

Sementara Rasulullah ﷺ adalah penafsir paling otoritatif terhadap al-Qur’an dan ajaran Islam. Berikutnya di bawah Rasulullah, penafsir otoritatif adalah pembesar-pembesar sahabat.

Agama ini memerlukan tafsir. Sejak awal turun Islam.

Tetapi penafsiran itu ada metodologi dan kaidahnya. Agar tidak semua orang ngawur melakukan tafsiran-tafsiran.

Sama halnya tidak semua orang diakui pemahamannya terhadap KUHP atau Pancasila. Rusak negeri ini jika semua dibebaskan oleh Presiden menafsirkan KUHP dan Pancasila.

Tren relativisme beragama itu membolehkan semua melakukan tafsiran-tafsiran. Relativisme ini sesungguhnya paham kuno. Tapi kini dibungkus lagi dengan kemasan modern.

Para ulama salaf seperti al-Taftazani, Imam al-Ghazali dan Abdul Qahir al-Baghdadi telah membahasnya. Ulama kontemporer yang mengkajinya di antaranya Syed Muhammad Naquib al-Attas.

Dalam istilah para ulama salaf kelompok yang menganut tren paham ini disebut sufasta’iyyah (sopist). Dari kaum sopist inilah akar pemikiran relativis berkembang.

Kaum Sopist dibagi menjadi tiga;

Pertama, kelompok al-la adriyah (agnostik) yaitu orang yang selalu ragu-ragu tentang keberadaan sesuatu sehingga menolak kemungkinan seseorang meraih ilmu pengetahuan. 

Kedua, al-‘indiyah yaitu mereka yang selalu bersikap subjektif. Mereka menolak tujuan ilmu pengetahuan dan kebenaran. Bagi mereka, tujuan ilmu pengetahuan dan kebenaran adalah subjektif, bergantung kepada pendapat masing-masing.

Ketiga, kelompok al-inadiyah, yaitu mereka yang keras kepala, yang menafikan realitas segala sesuatu dan menganggapny sebagai fantasi dan khayalan semata-mata.

Mereka ini disebut golongan anti–Ilmu. Ilmu tidak ada kaitan dengan agama dan amal.

Seperti tersebut dalam definisinya, relativisme adalah bahwa apa yang dikatakan benar atau salah; baik atau buruk tidak bersifat mutlak, tapi senantiasa berubah-ubah dan bersifat relative tergantung kepada individu, lingkungan maupun kondisi sosial.

Mereka kaum la adriyah kontemporer cenderung menyempitkan ruang lingkup agama pada permasalahan iman saja, tanpa amal. Mereka percaya bahwa iman adalah masalah hati, dan karenanya bersifat pribadi.

Artinya tidak seorangpun yang dapat mengatakan kepada orang lain bahwa imannya salah atau benar. Sedangkan para ulama berpendapat bahwa din (agama) adalah gabungan antara iman dengan Islam dan menerima bahwa ilmu pengetahuan dan amal sholeh merupakan bagian yang tak terpisahkan dari iman.

Imam al-Ghazali menyebut golongan yang menolak ilmu dengan kejahilan tingkat tinggi yang susah untuk menyembuhkannya. Beliau mengatakan bahwa kejahilan paling besar adalah rojulun la yadri, wa la yadri annahu la yadri (orang yang bodoh, tapi tidak tahu bahasannya dia itu tidak tahu).

Terhadap golongan ini, Imam al-Ghazali memberi saran agar seorang Muslim tidak mendekatinya. Atau dengan kata lain, tinggalkanlah.

Allah menurunkan wahyu, melalui Nabi Muhammad ﷺ dengan misi untuk menjelaskan kepada manusia agar memahami mana perkara yang benar dan mana perkara yang sesat. Otoritas tertinggi dalam Islam yaitu al-Qur’an dan Hadis.

Maka setiap Muslim berkewajiban mengikuti ketentuan yang tertera dalam kedua sumber hukum tersebut agar tidak tersesat. Untuk memahami al-Qur’an, tidak diperkenankan orang-orang yang tidak memiliki kemampuan ilmu untuk mentafsirkan.

Islam memiliki konsep otoritas, tidak seperti paham liberalisme yang mencoba menghapus otoritas, sebagaimana paham relativisme. Dalam al-Qur’an Allah memberintahukan:

فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43).

Imam al-Qurtubi menjelaskan, bahwa yang dimaksud ”ahl al-Dzikri” dalam ayat tersebut adalah manusia yang memiliki ilmu. Ibnu Abbas mengatakan “ahlul Dzikri” adalah orang memiliki pengetahuan tentang al-Qur’an, yakni pengetahuan-pengetahuan dari Rasulullah ﷺ tentang hukum-hukum.

Adapun perbedaan yang berada dalam manhaj ikhtilaf furuiyyah dapat ditoleransi dan tidak dapat dikategorikan dalam kajian relativisme. Sebab, relativisme ini mengatakan bahwa tidak ada kebenaran mutlak, semua sama, tidak salah tidak benar.

Sedangkan perbedaan ulama dalam soal furuiyyah dalam kaitannya dengan dalil dzanniyat masih memiliki otoritas, bersatu di dalam kebenaran pokok-pokok Islam (ushuliyah). Jadi paham relativisme membongkar segala perbedaan, baik ushul maupun furu’, bahkan ushul dan furu’ dinafikan.

Kelihatannya doktrin relativisme itu bijak namun sebenarnya bertabrakan dengan ilmu. Ernest Gellner mengatakan bahwa relativisme itu mengarahkan kepada penyelidikan yang buruk, mengkhawatirkan dan mengkaburkan. Ia berkesimpulan bahwa relativisme itu kesia-sian berfikir.*

Direktur Institut Pemikiran dan Peradaban Islam (InPAS), dosen IAI Dalwa Bangil

Rep: Ahmad
Editor: -

No comments: