Sejarah Kekhalifahan Kordoba: Era Spanyol, Prancis, dan Portugal di Bawah Kekuasaan Muslimin

Sejarah Kekhalifahan Kordoba: Era Spanyol, Prancis, dan Portugal di Bawah Kekuasaan Muslimin
Sejarah kekhalifahan Cordoba, era Spanyol, Prancis, dan Portugal di bawah kekuasaan kaum muslimin dimulai ketika Abdurrahman ad-Dakhil membentuk pemerintahan dalam pelariannya pasca runtuhnya Bani Umayyah. Foto/Ilustrasi: Ist
Sejarah kekhalifahan Cordoba, era Spanyol , Prancis , dan Portugal di bawah kekuasaan kaum muslimin dimulai ketika Abdurrahman ad-Dakhil membentuk pemerintahan dalam pelariannya pasca runtuhnya Bani Umayyah . Wilayah kekuasannya meliputi hampir seluruh Semenanjung Liberia. Negeri ini terletak di ujung baratdaya Eropa, dan terdiri dari Spanyol, Portugal, Andorra, dan Gibraltar dan sedikit Prancis.

Abdurrahman ad-Dakhil membentuk keemiran di Cordoba, bukan kekhalifahan. Dialah peletak dasar bagi berdirinya Dinasti Umayyah di Spanyol, setelah sempat mengembara selama lima tahun karena diburu tentara Dinasti Abbasiyah. Dia mengembara Palestina, Mesir, Afrika Utara, dan akhirnya berakhir di Spanyol. Berkali-kali ia terkepung oleh tentara dari Bani Abbasiyah namun berhasil lolos.

Setelah Dinasti Umayyah berkuasa selama 90 tahun, akhirnya runtuh oleh sebuah keluarga yang merupakan keturunan dari paman Nabi Muhammad SAW, Abbas bin Abdul-Muththalib . Setelah itu, yakni pada tahun 750, lahirlah yakni Abbasiyah. Ketika peristiwa penggulingan, Abbasiyah membantai hampir seluruh keluarga Umayyah, dan kemudian membangun ibu kota baru di Baghdad pada tahun 762 M.

Hanya saja ada seorang anak lelaki berusia 19 tahun keturunan Bani Umayyah yang bernama Abdurrahman ad-Dakhil berhasil lolos.

Setelah menyeberangi Selat Gibraltar, dan tiba di Andalusia, Abdurrahman ad-Dakhil bergabung dengan sekitar 500 pendukung Umayyah.

Eamon Gearon dalam bukunya berjudul "Turning Points in Middle Eastern History" menyebut dengan bantuan mereka, dan dengan memanfaatkan persaingan lokal antara suku Berber dan kelompok-kelompok Arab yang beragam, Abdurrahman ad-Dakhil mampu mengangkat dirinya sendiri menjadi penguasa di Cordoba pada tahun 756 M.

Abdurrahman ad-Dakhil menjadi Amir pertama Cordoba dan kepala keluarga Umayyah di pengasingan. Keputusan Abdurrahman untuk membatasi dirinya pada gelar Amir (atau pangeran) ketimbang sebagai khalifah (atau pengganti Nabi) adalah keputusan yang cerdas.

Dia berpikir, dengan situasinya pada waktu itu, tidak ada gunanya menciptakan lebih banyak musuh di wilayah itu daripada yang sudah ada, terutama di antara mereka yang telah bersumpah setia kepada khalifah baru, Abbasiyah di Baghdad.

Dengan preferensi keagamaannya yang toleran terhadap agama lain, Abdurrahman ad-Dakhil sebagai Amir di Cordoba, sedang mulai menapaki tangga kejayaannya.

Pemerintahan Abdurrahman adalah pemerintahan yang memberi ruang kebebasan beragama. Toleransi dijunjung tinggi. Tidak menonjolkan suku Arab. Maklum saja, ibu Abdurrahman ad-Dakhil berasal dari suku Berber, sebuah suku asli asal Afrika Utara. Suku Berber memiliki bahasa dan kebudayaannya tersendiri sebelum wilayah Afrika Utara ditaklukkan oleh Arab.

Sejak kecil Abdurrahman ad-Dakhil sudah terbiasa dengan keberagaman bahasa, etnis, dan agama. Selain itu, Abdurrahman juga menikahi seorang perempuan Kristen.

Masa Pembangunan
Abdurrahman ad-Dakhil mampu menguasai Spanyol setelah mengalahkan Yusuf al-Fihri, Gubernur Andalusia (nama Spanyol saat itu). Masa pemerintahannya dikenal oleh para ahli sejarah dengan masa pembangunan besar-besaran.

Dia membangun kota menjadi lebih indah, membuat pipa air agar masyarakat ibu kota memperoleh air bersih, kemudian mendirikan tembok yang kuat di sekeliling kota Cordoba dan istana.

Abdurrahman Ad Dakhil juga membuat taman yang dinamakan Al-Rusafah di luar kawasan Kordoba, menjadikan Kordoba sebagai pusat pendidikan dan kebudayaan yang paling menarik di wilayah Eropa, dan sebagai tandingan dari Baghdad yang berada di bagian Timur.

Kontribusi yang diberikan olehnya dalam bidang penulisan ilmu menarik orang-orang untuk belajar ke istananya. Selain itu, Abdurrahman Ad Dakhil juga mendirikan beberapa universitas, di antaranya Universitas Cordova, Universitas Toledo dan Universitas Sevilla, juga membangun masjid Cordoba yang megah. Pada tahun 1236 masjid ini dijadikan gereja yang kini dikenal dengan nama La Mazquita.

Gambaran Cordoba
Sedikit gambaran tentang Cordoba: Di abad ke-10, populasi Cordoba mencapai 500 ribu jiwa. Bandingkan dengan jumlah penduduk Paris yang hanya 38 ribu saat itu.

Kota Cordoba memiliki 700 masjid, 60 ribu rumah mewah dan 70 perpustakaan. Perpustakaan ini dikelola secara profesional dengan mempekerjakan para peneliti dan memiliki 500 ribu manuskrip. Cordoba saat itu memiliki 900 tempat mandi umum dan jalanan Cordoba tercatat sebagai jalanan pertama di Eropa yang memiliki penerangan kota.

Lima mil dari kota terdapat kediaman khalifah, Madinat al-Zahra. Bangunan ini dibangun dari batu-batu berkelas seperti onyx. Pembangunannya membutuhkan waktu 40 tahun dengan biaya sepertiga dari penerimaan Cordoba. Sebelum dihancurkan di abad ke-11, tempat ini tercatat sebagai salah satu keajaiban era tersebut.

Ketika Hisham II, yang merupakan cucu Abdurrahman, mewarisi tahta tahun 976 pada usia 12 tahun, tugas tersebut diwalikan kepada Ibnu Abi Amir. Ia dikenal juga dengan nama Al Mansur dan memegang hak tersebut selama tahun 981-1002. Selama 20 tahun, kekuasaan utama kekhalifahan ada di tangan penguasa diktator ini.

Kekhalifahan Cordoba tidak berlangsung lama dalam kepemimpinan Al Mansur. Lawan politik mulai menuntut hak atas tahta. Demikian juga dengan para bangsawan dan komandan tentara. Tuntutan ini menceraiberaikan kekuasaan Cordoba atas Spanyol. Beberapa wilayah seperti Sevilla, Granada, Valaencia, dan Zaragoza menjadi lebih kuat. Meski demikian pergolakan di antara mereka semakin menguat.

Sementara di sisi lain, kekuasaan wilayah Kristen kian menguat. Pada tahun 1469, terjadi pernikahan antara Ferdinand dari Aragon (1452-1516) dan Isabella dari Castile (1451-1504). Pernikahan ini mengukuhkan kekuatan kelompok Kristen.

Sejarah sendiri mencatat Ferdinand dan Isabella sebagai pasangan yang memulai penghancuran Islam di Spanyol. Tahun 1492, Ferdinand dan Isabella menguasai Granada dan mengukuhkan diri mereka sebagai Raja Katolik. Tahun ini juga ditandai sebagai tahun pengusiran orang Islam keturunan Arab di Spanyol.

Sebenarnya, dibanding negara Eropa lainnya saat itu, Spanyol adalah negara yang heterogen. Dan heterogenitas ini dijaga dengan baik pada masa kejayaan Islam. Tapi, ketika kekuasaan Islam jatuh, masyarakat Muslim khususnya di Granada diberikan pilihan. Meninggalkan tempat tinggalnya, atau pindah menjadi pemeluk Kristen.

Ketika pilihan tersebut diberikan, banyak kaum Yahudi yang memilih untuk memeluk Kristen. Meski demikian masih banyak Muslim yang bertahan dengan keyakinannya walaupun itu dilakukan diam-diam. Selama beberapa generasi mereka hidup sebagai petani dan tukang kayu.

Setelah tahun 1525, seluruh penduduk Spanyol secara resmi sudah memeluk agama Kristen. Tapi perpindahan agama yang sifatnya memaksa, melahirkan peleburan yang tidak menyeluruh di kalangan masyarakat Spanyol.

Selain itu ada regulasi bernama Pureza de Sangre, yakni keharusan berdarah asli Spanyol untuk bisa menduduki posisi penting di pemerintahan dan gereja. Kebijakan ini dimaksudkan untuk mencegah munculnya kembali kekuatan lama di Spanyol.

Islam Masuk Spanyol
Hanya saja, Islam pertama kali masuk ke Spanyol sejatinya ketika negara tersebut diduduki umat Islam pada zaman khalifah Al-Walid (705-715 M), salah seorang khalifah dari Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus. Damaskus adalah tempat umat Islam menguasai Afrika Utara sebelumnya. Sejarah mengenal tiga nama dalam penaklukan Spanyol. Yakni Tharif ibn Malik, Thariq ibn Ziyad, dan Musa ibn Nushair.

Di awal abad ke-8, pasukan dari Afrika Utara datang di Spanyol. Penduduk Eropa Barat menyebutnya sebagai bangsa Moor, yang tak lain adalah orang Arab. Mereka ini menyapu Afrika Utara dari tanah airnya di Timur Tengah. Termasuk mengislamkan penduduk Maroko. Tahun 711, Tariq ibn Ziyad, gubernur Tangier, menyeberangi Spanyol beserta 12 ribu tentaranya. Mereka mendarat di Gibraltar.

Tempat ini juga disebut Jabal Tariq atau Gunung Tariq, sebagai bentuk penghormatan pada dirinya. Mereka datang atas undangan masyarakat Visiogothic untuk membantu melawan Raja Roderic. Roderic meninggal dalam peperangan tersebut dan Spanyol berakhir tanpa pemimpin. Tariq kembali ke Maroko. Tapi setahun kemudian yakni tahun 712, Musa ibn Nushair, salah satu gubernur Muslim di Afrika Utara, datang di Spanyol bersama tentaranya. Dengan tujuan untuk menduduki kawasan tersebut.

Dalam waktu tiga tahun, Nushair menaklukkan seluruh wilayah pegunungan di bagian utara. Ia kemudian melanjutkan penaklukannya ke Prancis, tapi terhenti di Poitiers pada tahun 732. Al Andalus, demikian orang Islam Spanyol kerap disebut. Mereka ini terorganisasi di bawah pemerintahan sipil yang religius dari khalifah di Damaskus.

Gubernur Spanyol umumnya orang Suriah, yang kerangka dan referensi politiknya sangat dipengaruhi praktik-praktik masa Bizantium. Pada masa itu, pemeluk Islam bertambah. Termasuk di antaranya masyarakat Spanyol sendiri. Demikian juga dengan penduduk di kawasan perdesaan. Meski demikian, masih ada komunitas Kristen Roma yang menetap di perkotaan.

Selain itu tercatat juga masyarakat Yahudi. Populasi mereka mencapai lima persen dari total penduduk. Masyarakat Yahudi ini memainkan peran yang penting dalam perdagangan hingga pendidikan kala itu. Pada tahun 756, Dinasti Ummayah di Damaskus berakhir dan kekhalifahan dialihkan ke Baghdad oleh Dinasti Abbasiyah.

Nah, dari sinilah Abdurrahman al-Dakhil pergi ke Spanyol dan mendirikan kekhalifahan di Cordoba. Dinasti ini bertahan selama 250 tahun dan tercatat sebagai salah satu pemerintahan Islam yang gemilang.

(mhy)Miftah H. Yusufpati

No comments: